Senin, 14 Februari 2011

WAYANG ANIMASI

RINGKASAN HASIL STUDI
PENGGUNAAN TEKNOLOGI DIGITAL PRODUKSI “SENI PERTUNJUKAN WAYANG KULIT" UNTUK MENINGKATKAN APRESIASI DAN INDUSTRI KREATIF DI MASYARAKAT

Seni pertunjukan wayang kulit sebagai industry budaya di asumsikan mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai industry kreatif berbasis teknologi digital.Hal ini disamping untuk memberikan peluang kreatif kepada masyarakat, juga berpotensi meningkatkan jangkauan dan apresiasi masyarakat. Karena saat ini terdapat semacam paradok di masyarakat, bahwa wayang kulit hanya digemari kalangan tua. Generasi muda lebih menyukai kesenian musik, barat. Generasi muda tidak suka wayang kulit karena terkendala bahasanya. Bahasa pengantar seni wayang kulit bahasa ”jawa kawi” dengan sastra tinggi Maka tidak semua orang paham terhadap bahasa pewayangan ini. Sementara seni wayang kulit syarat “pakem pedalangan” yang masih dipatuhi oleh sebagian para dalang wayang kulit, yang harus dipenuhi. Konsep seni pedalangan yang bersifat formal inilah menyebabkan terjadinya kesenjangan apresiasi terhadap seni pertunjukan wayang kulit di masyarakat.
Pada hal seni pertunjukan wayang kulit itu sendiri memiliki potensi ekonomi untuk bisa dikembangkan menjadi industri budaya yang lebih kreatif dan inovatif di masyarakat. Misalnya ketika seni wayang kulit dilihat dari perspektif budaya popular, ia lebih memiliki peluang untuk dikembangkan menjadi sebuah industri kreatif, dari pada ketika seni wayang kulit dilihat dari perspektif budaya tradisi. Konsep dasar agar seni pertunjukan wayang kulit sebagai media tradisional bisa tetap bertahan dan laku dijual, maka perlu diproduksi sebagai industri budaya berbasis teknologi digital. Dengan ”digitalisasi, seni pertunjukan wayang kulit akan berkembang menjadi industri kreatif yang lebih mudah dikonsumsi oleh siapapun yang berminat. Tinggal bagaimana para kreator seni dan teknologi mampu berkolaborasi agar seni pertunjukan wayang kulit bisa dikonsumsi masyarakat secara Nasional maupun Internasional Disamping itu juga sekaligus untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap budaya seni wayang kulit itu sendiri.

Dari berbagai kesenjangan tersebut dilakukan kajian secara mendasar, untuk mencari titik temu atas dampak pergeseran pola representasi elemen-lemen seni wayang kulit tradisi kedalam seni wayang kulit produksi teknologi digital. Disamping itu juga mengidentivikasi tentang kesiapan pelaku seni wayang kulit (dalang, pengrawit, sinden, pelawak, pemusik dan lainnya) ketika seni wayang kulit di produksi dengan secara mekanis dengan teknologi digital, dan masuk ruang kaca atau ruang maya. Dampak di masyarakat dilihat dari apresiasi dalam berbagai ragam perspektif, (sosial, budaya, ekonomi, teknologi, komunikasi, sosiologi, pendidikan, dan konsumen). Berbagai permasalahan tersebut dieksplorasi dalam sebuah penelitian untuk mendapatkan pemaknaan dan sekaligus pengkayaan.

Tujuan : Di lihat dari tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah,: Pertama melakukan identivikasi terhadap pola-pola permasalahan yang berisi representasi elemen-elemen kreativitas seni wayang kulit tradisi sebagai seni pertunjukan panggung terbuka di masyarakat, menjadi seni wayang kulit kemasan produksi teknologi digital, baik yang di publikasikan di madia massa, maupun media maya. Kedua melakukan identivikasi seni wayang kulit yang bisa diperluas jangkauannya melalui penggunaan teknologi digital menjadi produk pengembangan industri kreatif yang mempunyai nilai tambah di masyarakat, dilihat dari berbagai ragam perspektif latar belakang ilmu pengetahuan. Manfaat : Sedangkan manfaat hasil kajian penelitian ini adalah untuk men-support dan memberikan rekomendasi terhadap produksi “seni pertunjukan wayang kulit tradisi menjadi sebuah industri kreatif yang di produksi dalam kemasan digital” agar bisa diterima pasar (konsumen tertentu). Di samping itu juga untuk meningkatkan apresiasi masyarakat (kalangan generasi muda) terhadap budaya wayang kulit yang cenderung semakin menurun. Manfaat secara akademis : untuk pengayaan ilmu pengetahuan dalam proses evolusi dan transformasi industri budaya tradisi ke-budaya teknologi digital (budaya virtual).

Metode penelitian yang dipilih deskriptif, dengan pendekatan kualitatif. Teknik Pengumpulan Data : Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan teknik, observasi berjarak, Focus Group Discussion (FGD), yang digunakan sebagai data primer, secara kualitatif. Adapun kelemahan kajian penelitian ini adalah baru bisa mengidentifikasi suatu gejala,sosial,budaya dan ekonomi dari ekses yang terjadi ketika “seni pertunjukan wayang kulit” diproduksi dengan menggunakan teknologi digital,dan di tayangkan di media televisi, maupun media maya.Tetapi belum bisa menjangkau pada teknik gerak, ketika “fisik wayang kulit” diproses secara mekanik untuk menghasilkan kualitas gambar pada produk teknologi digital tersebut.

Kesimpulan
(1). Dilihat dari aspek paradigmatik konsep dasar seni wayang kulit yang di produksi secara mekanik dengan menggunakan teknologi digital sudah seharusnya sejak dini meninggalkan paradigma budaya tradisi yang dibingkai dengan atribut budaya tinggi. Dalam konteks budaya masyarakat jawa di kenal dengan budaya adhiluhung. Produksi seni wayang kulit digital berangkat dari budaya kontemporer (popular cultural), dimana pihak prodosen di berikan kebebasan untuk berkreasi sesuai dengan kemampuannya dengan alat bantu teknologi digital. Dalam konteks penelitian ini, teknologi dipahami sebagai suatu alat bantu yang berfungsi mempermudah pekerjaan manusia. Dengan demikian mendigitalkan “seni wayang kulit” bukan dalam konteks untuk mematikan budaya aslinya, atau elemen budaya pendukung lainnya. Tetapi kehadirannya agar terdapat disharmonisasi diantara kedua budaya tersebut untuk memperluas jangkauan, dan apresiasi masyarakat terhadap seni budaya wayang kulit itu sendiri. Artinya seni wayang kulit tradisional biarlah tetap berjalan sebagaimana mestinya, dan seni wayang kulit produksi digital juga tetap di produksi dengan baik dan berkualitas, agar laku di pasaran.
(2). Di lihat dari aspek produksi pada “seni wayang kulit” digital masih di perlukan parameter tertentu. Parameter dalam produksi seni wayang kulit digital itu menyangkut penguasaan pengetahuan dari aspek seni, dan teknologi. Dari aspek seni, bahwa untuk memproduksi “seni wayang kulit” dengan teknologi digital perlunya perhatian ekstra terhadap alur ceritera dalam lakon “seni wayang kulit” produksi digital yang harus tetap kontekstual dengan budaya aslinya. Dalam hal ini seni kreator dalam wayang kulit (dalang) harus paham tentang teknologi digital. Begitu sebaliknya para teknisi yang menangani proses produksi seni wayang kulit digital harus paham tentang seni pertunjukan wayang kulit. Kolaborasi kedua pengetahuan tersebut agar dalam mengedit ceritera dalam lakon seni wayang kulit yang diproduksi dengan teknologi digital tidak kehilangan konteksnya, dan konsumen tetap bisa menikmati seni wayang kulit produksi digital yang identik dengan aslinya. Artinya produk seni wayang kulit digital tidak sampai kehilangan akar budayanya.
(3). Di lihat dari aspek pemasaran maka produksi seni wayang kulit digital harus senantiasa mempertimbangkan segmen pasar. Artinya proses produksi seni wayang kulit digital sebagai industry budaya di perlukan berbagai pertimbangan yang sangat spesifik. Misalnya untuk memenuhi selera konsumen di pasar, perlu adanya rekonstruksi secara holistic dan mmbudaya antara alur ceritera dalam lakon “seni wayang kulit” yang diproduksi secara digital dengan konteks realitas sosial yang berkembang di masyarakat saat ini. Hal ini untuk menghindari kejenuhan konsumen ketika mengkonsumsi produk seni wayang kulit digital. Karena yang di produksi dan di pasarkan benda seni maka kreativitas produksi sangat menentukan apakah produk ”seni wayang kulit” digital nantinya akan laku di pasaran, atau justru sebaliknya. Pemenggalan (editing) alur ceritera dalam lakon wayang kulit yang di produksi dengan teknologi digital dengan alasan efektifitas dan efisiensi jika tidak di pertimbangkan dan hati-hati justru menjadi bumerang pada produksi wayang kulit digital tersebut ketika di pasarkan ke-masyarakat. Artinya produk seni wayang kulit digital menyangkut alur ceritera yang utuh dalam lakon tertentu, bukan berupa potongan ceritera, atau gambar wayang kulit dalam berbagai situs internet yang bermunculan selama ini.
(4). Dilihat dari aspek sumber daya manusia (SDM), baik dalam proses manajemen, produksi, distribusi, dan pemasaran diperlukan tenaga ahli yang professional dibidangnya, baik seni budaya, teknologi dan marketing. Mereka perlu ada pemahaman yang sama bahwa yang di produksi, dan dijual adalah industry budaya yang telah mengakar begitu dalam di masyarakat. Pemahaman karakter produk ini menjadi penting karena masyarakat sebagai konsumennya telah memiliki pengetahuan yang mendasar tentang budaya wayang kulit, sebelum ia di produksi dalam teknologi digital. Kesalahan memilih jenis produk, dan segmen akan membawa kerugian besar dalam industry kreatif berbasis budaya tersebut.

Rekomendasi
Berangkat dari kesimpulan hasil kajian penelitian yang telah dilaksanakan ini dapat di rekomendasikan hal-hal sebagai berukut :
Untuk mengembangkan industry kreatif dalam produk “seni wayang kulit” yang menggunakan teknologi digital, prodosen disarankan harus berani bersikap untuk mininggalkan belenggu budaya tradisi pada seni wayang kulit. Karena kemanjuan teknologi (digital) berfungsi untuk membantu, meng-efektifkan dan mempermudah pekerjaan manusia. Memproduksi seni wayang kulit secara mekanik dengan teknologi digital bukan dalam konteks untuk mematikan budaya “seni wayang kulit tradisional”, maupun elemen budaya pendukungnya, tetapi justru dapat memperluas jangkauan dan memperkuat apresiasi masyarakat, terhadap budaya seni wayang kulit itu sendiri.
Untuk memproduksi seni wayang kulit dengan teknologi digital prodosen perlu memperhatikan karakteristik para tokoh dalam ceritera seni wayang kulit yang akan di produksi. Dalam pencermatan itu di perlukan parameter tertentu, baik dilihat dari aspek seni budaya, maupun teknologi. Dari aspek seni budaya bahwa “alur ceritera dalam lakon seni wayang kulit” yang diproduksi secara digital tetap dibuat secara konsisten, dan tidak melenceng jauh dari akar budayanya. Dari aspek teknologi pengeditan ceritera dengan tujuan (ekonomis, efektivitas dan efesiensi) jangan sampai mematikan kreasi seni yang terdapat pada budaya wayang kulit. Para creator dalam proses produksi hendaknya di awaki orang-orang yang memiliki kreasi tinggi (SDM yang profesional) yakni mereka yang menguasai teknologi digital, sekaligus yang memahami kreasi budaya tentang seni pertunjukan wayang kulit

Di dalam memproduksi seni wayang kulit sebagai sebuah industry budaya yang di pasarkan kepada masyarakat konsumen di rekomendasikan untuk mempertimbangkan hal-hal yang bersifat khusus tentang kualitas produk. Hal yang dianggap khusu dalam memproduksi seni wayang kulit dengan teknologi digital,menyangkut aspek seni tutur (bahasa lisan), seni gerak, dan konsistensi alur ceritera dalam sebuah lakon tertentu yang sedang di produksi. Hal ini penting untuk tujuan (promosi dan penjualan produk) di pasar. Meski konsumen hanya dapat melihat “seni wayang kulit” dalam bentuk symbol-simbol tertentu dalam teknologi digital, tetapi konsumen mendapatkan sebuah pemahaman kreasi budaya seni wayang kulit yang tidak jauh berbeda dengan budaya aslinya. Karena dalam sebuah produksi apapun kepuasan konsumen selalu mendapat tempat yang paling utama.


Tim Peneliti :
S. Arifianto, SE,MA. Drs.Sumarsono,Msi. Drs. Parwoko. Drs. Djoko Waluyo, Dr.Kanti Waluyo dan Drs.Heri Kristanto.

Tidak ada komentar: