Senin, 14 Februari 2011

SINETRON KOMEDI ISLAM KTP DI TELEVISI

KONSTRUKSI MAKNA
DALAM ”SINETRON KOMEDI ISLAM KTP”
DI TELEVISI

S. Arifianto

Abstraksi
Artikel ini difokuskan untuk mendiskusikan bagaimana makna Sinetron Komedi Islam KTP di-konstruksi. Islam sebagai agama “rahmatan lil alamin” yang, fleksibel, humanis dan adaptif dengan perubahan demokrasi di-citrakan dalam kontradiksi komodifikasi Islam televisi. Islam dikonstruksi untuk mengusung semangat kapitalistik dengan cara memunculkan simbol-simbol dan ikon Islamic untuk di-komodifikasi secara formalis. Konstruksi Islam itu cenderung ke-arah konsep hiperialitas televisi dalam upaya membangun citra untuk menarik simpati publik, sehingga muncul Islam televisi. Dalam Islam televisi, peran aktor (ustadz) tidak lebih sebagai agen kapitalis. Implikasinya kotbah yang ia lakukan hanya sebuah sandiwara yang tergantung dari pesanan dan honor yang ia diterima. Karena apa yang ia dakwahkan dalam “Sinetron Komedi Islam KTP” hanya untuk mendukung popularitas semu melalui tampilan Islam yang mencitrakan televisi untuk kepentingan financial, untuk membentuk Islam televisi. Apa yang ditampilkan Islam televisi merupakan sebuah hegemoni visual-ideologis yang mengkooptasi kesadaran religi Islam dalam sebuah konstruksi citra ceritera di televisi agar di ikuti oleh umat Islam mayoritas di Indonesia sebagai target pangsa pasar audience media televisi yang bersangkutan.**

Kata kunci : Islam televisi, hegemoni, kapitalis

PENDAHULUAN
Menurut Turow.J, televisi komersial baik sebagai industri informasi dan media sosial selalu mencari celah maupun strategi untuk menopang eksistensinya (Curran & Michel.G,1991). Ia selalu memanfaatkan peristiwa tertentu untuk mengaktualisasi program tayangannya. Seperti momentum Bulan Ramadahan yang dianggap sakral bagi umat muslim selalu mendapat perhatian khusus media televisi di Indonesia. Tulisan artikel ini berusaha menganalisis bagaimana tayangan ”Sinetron Komedi Islam KTP di SCTV selama Bulan Ramadhan 1431 H, di-konstruksi. Sinetron komidi religius ini menurut Syaiful Drajad (sutradara) ingin memotret kondisi realitas kehidupan masyarakat metropolitan Jakarta (Detik.com, 09/9/ 2010). Para pemain : Idrus Mardani (Ustadz Ali), Reza Aditya (Karyo), Qubil (Mahdit), Aiman Rizky (Mamat), Martina Aisyah (Sabina), Leonil Handrik (Jam’i). Sinetron komedi ”Isalam KTP” ini merupakan serial komedi religi yang di dalamnya menuturkan ”kelebihan yang dimiliki oleh seorang manusia pilihan. Biasanya kelebihan untuk menyadarkan umat semacam itu hanya di-miliki oleh seorang wali Allah. Penyadaran ditujukan kepada mereka yang mengalami salah jalan, yakni melakukan segala tindkan yang dilarang oleh ajaran Islam. Ustat Ali dalam Sinetron Komedi Islam KTP ini di-berikan peran sebagai sosok manusia yang mempunyai kelebihan tertentu (wali Allah). Tetapi ketika memberikan solusi pada setiap persoalan Ustadz Ali selalu bersikap unik, dan kadang tidak masuk logika akal sehat. Bahkan hampir semua jawaban atas pertanyaan umat tentang Islam, yang ia berikan sering bersifat kontroversial dengan realitas Islam yang sesungguhnya. Meski ceritera setiap episode tidak terlalu panjang (sekitar 30 menit), tetapi dianggap mempunyai makna filosofis tentang islam, sebagai referensi penyadaran. Misalnya bagaimana Ustadz Ali harus menyadarkan Mahdit tokoh yang mengaku terlanjur kaya, dan ahli sodhakoh tetapi menjalankan profesi yang bertentangan dengan Islam (praktik rentenir). Mamat dan Karyo seorang pengangguran atas sentuhan Ustadz Ali akhirnya sadar dan rajin beribadah. Bagaimana Ustadz Ali bersikap atas hubungan Jam’i (anak pengusaha sukses tetapi tidak simpati Islam), dengan teman kuliahnya Sabina, yang ternyata anak Ustadz Ali sendiri. ”Sinetron Islam KTP” yang ditayangkan SCTV menjelang buka puasa ini di-asumsikan mengandung banyak makna dan pesan religi terkait dengan kebebasan dan demokratisasi penyiaran media televisi, sehingga menarik untuk di-analisis. Metode pengumpulan data dilakukan dengan mencatat materi yang dianggap penting untuk di analisis. Pengamatan dimulai tanggal 11 Agustus, sampai dengan tanggal,09 September 2010, dengan pendekatan kualitatif. Dengan demikian data yang disajikan untuk mendukung penulisan artikel tersebut sudah di-olah terlebih dulu oleh penulis. Seperti telah dipaparkan pada bagian pendahuluan, pembahasan artikel ini lebih difokuskan untuk melihat ”bagaimana makna pesan religi dalam ”Sinetron Komedi Islam KTP” ini dikonstruksi dan ditransformasikan kepada khalayak masyarakat di Indonesia melalui media televisi.

SINETRON KOMEDI ISLAM KTP DI SCTV
Dari banyak penelitian tidak terbantahkan bahwa salah satu diantara media massa (radio, televisi, media cetak dan internet) yang banyak berpengaruh dan paling di sukai masyarakat adalah televisi (Thomson.J,2006). Sementara seiring dengan perkembangan teknologi yang menuju kearah konvergensi televisi menjadi semakin eksis karena mampu menjangkau khalayak secara nasional secara simultan (Kompas,13/4/2008). Sebagai sebuah institusi ekonomi media televisi mempunyai produk, informasi dan hiburan, yang dianggap dekat dengan komunitasnya di masyarakat, dimana salah satunya adalah sinetron komedi Islam KTP ini.


Pada sisi yang lain televisi mempunyai khalayak yang semakin luas di masyarakat. Ketika kita bicara masalah televisi maka yang terbayang dibenak kita adalah berbagai gagasan tentang sejarah perkembangan budaya televisi. Perkembangan budaya televisi itu sendiri tidak bisa terlepas dari institusi, produk dan audience yang menyangkut perubahan sosial dan budaya di-masyarakat dimana televisi berdomisili. Untuk memahami perkembangan budaya televisi harus juga memahami bagaimana setiap institusi televisi mengelola produknya. Jika dilihat secara kelembagaan visi dan misi media televisi (komersial) memiliki kecenderungan yang sama dan sebangun. Tetapi jika dilihat dari sisi bisnis di-masing-masing televisi (komersial) terdapat perbedaan yang signifikan. Perbedaan itu tampak pada strategi politik keredaksian didalam perebutan pangsa pasar iklan di masyarakat. Karena televisi komersial sebagai sebuah industri informasi dan hiburan harus bersaing secara kompetitif di pasar. Maka tidaklah heran jika pada momentum tertentu (bulan ramadhan) dibaca sebagai peluang untuk mencari penetrasi pangsa pasar. Sudah tradisi di Indonesia ketika bulan ramadhan menjadi berkah bagi pengelola media televisi komersial. Bulan ramadhan di manfaatkan untuk mengemas sebuah produk hiburan guna mendapatkan rating tertinggi (Sudibyo,2004). Realitasnya hampir semua media televisi komersial melakukan hal tersebut. Sejak pagi hari, siang, sore, malam dan menjelang makan saur, media televisi komersial senantiasa berdampingan dan berusaha untuk hadir dihadapan khalayaknya. Berbagai produk yang dikemas untuk menyemarakkan bulan ramadhan mereka sajikan. Mulai dari diskusi tentang Islam, pengajian, kuliah subuh, musik bernuansa Islam, dakwah, lawak bertemakan religi, sinetron komidi religi, kuis berhadiah dan lainnya. Salah satu diantara produk televisi komersial yang di bahas dalam artikel ini, adalah ”Sinetron Komedi Islam KTP” yang disajikan menjelang buka puasa pada bulan ramadhan 1431 H, di SCTV. Lantas bagaimana Sinetron komedi Islam KTP sebagai sebuah simbol religi dapat dipahami?. Ada beberapa pendekatan kritis terhadap kajian media dalam perkembangan kritik media, khususnya media televisi. Hampir semua pendekatan memberikan tekanan kepada pemahaman bisnis, prodosen media, teks media dan konstruksinya kepada audience dalam konteks sosial dan budaya (Kelner.D,1992). Pilihan tayangan produk SCTV berupa sinetron komidi, dengan tema ”Islam KTP” tentu bukan tanpa makna. Dalam konteks penulisan artikel tentang Sinetron Islam KTP di SCTV ini masalahnya bukan terletak pada ”apa yang kita lihat di televisi”, tetapi mengapa kita melihat televisi. Banyak orang berpendapat menonton televisi karena media televisi dianggap telah menjadi ikon dan medium transformasi budaya elektronik (Granham Nicollas,1997). Tanpa di sadari bahwa media televisi mampu mengatasi kesenjangan sekat-sekat budaya, sosial, ekonomi, politik dan agama dalam interkoneksi kepentingan ”pemilik modal televisi” dan khalayak pemirsanya di masyarakat (Chenny.D,2003). Persinggungan agama yang di simbolkan dalam ”Sinetron Islam KTP” dengan kepentingan pemilik modal (prodosen) dan televisi menjadi sebuah realitas yang sulit di hindari. Sebagai sistem peningkatan nilai-nilai moral persenyawaan antara agama (dalam Sinetron Islam KTP) dengan medium budaya televisi merupakan suatu keniscayaan. Bahkan tidak terkucali terjadinya pergulatan identitas keagamaan dengan budaya media televisi itu sendiri. Pada tataran tersebut ”Sinetron Komedi Islam KTP” di SCTV berusaha membahasakan, sekaligus menerjemahkan pesan-pesan moral agama dan kemanusiaan dalam relasi historisnya yang teraksentuasi dalam bentuk simbolisme. Hadirnya simbol-simbol kritik moral agama yang dikemas dalam ”Sinetron Komedi Islam KTP” merupkan upaya untuk melakukan pemaknaan atas sebuah meta realitas pada kehidupan masyarakat muslim di salah satu sudut kota metropolis Jakarta yang terjadi keseharian. Dalam konteks ini simbolisasi agama (dalam Sinetron Islam KTP) di sandingkan dengan karakteristik budaya televisi komersial. Karena pada hakekatnya ”muatan dalam media televisi merupakan sebuah rekayasa simbolik untuk membangun pencitraan virtual, imajinasi” yang semuanya menjurus pada komersialisasi. Maka dari itu eksistensi televisi menurut Baudrillard.J. (1988) tidak lebih dari dunia virtual yang mengandung simulacra. Media televisi tidak bisa dilepaskan dari sistem komersial. Realitas yang terjadi dominasi muatan televisi yang bercorak hiburan hampir menjadi karakteristik yang sangat melekat. Artinya format hiburan dalam televisi telah dinobatkan menjadi acuan dasar untuk menggambarkan eksistensi media televisi, khususnya di setiap bulan ramadhan. Dengan demikian makna religi yang dikomodifikasi pada tayangan ”Sinetron Komedi Islam KTP” bisa jadi hanya sebagai pemantik daya tarik konsumen, tetapi lepas dari makna dan akarnya sebagaimana yang diharapkan semua pihak termasuk para tokoh agama, pendidik,dan psikolog selama ini.

Fenomena, Komodifikasi dan Representasi
Fenomena televisi : Untuk mempertahankan eksistensinya televisi selalu berusaha untuk memproduksi berbagai ragam peristiwa, dan momentum bersejarah yang telah sedang dan akan terjadi. Misalnya peristiwa kelaparan, kecelakaan, bencana alam, kerusuhan masal, demontrasi, konflik pilkada, pengejaran tokoh terorisme, ritualitas tradisi adat istiadat, keagamaan dan lainnya. Bukan suatu hal yang aneh jika pada setiap ramadhan semua televisi tertarik untuk mengambil momentum tersebut. Untuk mensiasati momentum pada Bulan Ramadhan tersebut banyak diantara media televisi memasang iklan beraroma ke-agamaan, tetapi pararel dengan kepentingan konsumtif khalayak terhadap produk-produk para pemilik modal. Televisi berperan sebagai penyambung lidah para pemilik modal, melalui tayangan iklan komersial dan hiburan untuk menjerat serta menumbuhkan sikap dan perilaku konsumtif bagi khalayaknya. Misalnya pada setiap bulan Ramadhan banyak masyarakat muslim yang disuguhi jenis iklan, dan acara hiburan di televisi yang menggunakan simbol-simbol Islam. Secara kasat mata penggunaan simbol-simbol Islam dalam media televisi di-bulan Ramadhan grafiknya cenderung mengalami kenaikan di banding bulan lainnya. Kecenderungan ini menjadi indikator bahwa komersialisasi Islam menjadi pusat perhatian media televisi, apapun bentuknya. Momentum Ramadhan digunakan televisi untuk membangun citra (brain image) apa makna kesempurnaan puasa dan berbagai jenis ibadah lainnya. Pada titik inilah sadar, atau tidak sebenarnya telah terjadi ”komersialisasi nilai-nilai Agama Islam” itu sendiri. Beberapa sajian komersialisasi nilai-nilai Agama Islam di televisi dapat dicontohkan sebagai berikut. (1) Iklan kain sarung produk tertentu pada salah satu televisi komersial yang mengklaim ”sebagai sarung paling nyaman dan pantas jika dipakai untuk sholat Idulfitri ke-Masjid dan saat berlebaran”. (2). Iklan masakan merk mie instan tertentu untuk menjadi santapan lezat dan bergizi saat umat Islam berbuka puasa. (3). Iklan anjuran Ustad tertentu untuk selalu minum tablet x, jika terjadi gangguan mag pada saat menjalankan ibadah puasa. (4). Iklan produk tertentu untuk menjaga vitalitas dan kebugaran pada saat menjalankan ibadah puasa dan (5) Ikaln gaya fashion yang Islami, trendi, dan modern ketika menyambut Hari Raya Idulfitri. 6. Sinetron komedi yang berthemakan Islam, dan sejenisnya. Suguhan yang bernuansa terjadinya tarik menarik antara kepentingan memuliakan bulan Ramadhan dan kepentingan eksploitasi emosi pemirsa ”kaum muslim” demi kepentingan pasar menjadi sebuah fenomenal pada layar televisi komersial selama bulan Ramadhan tersebut. Pada saat yang sama sebenarnya peran televisi sebagai media yang dianggap mampu menggugah semangat serta membangun syiar Islam merupakan bagian yang sangat di idolakan masyarakat muslim. Tetapi sayangnya imajinasi televisi yang terbentuk berada diluar harapan tersebut. Media televisi relatif lebih mudah membius logika akal sehat khalayak yang seharusnya terfokus pada kegiatan ritual keagamaan tersebut. Maka fenomena yang selalu muncul dipermukaan adalah pemanfaatan ”simbol-simbol ”Islam” dalam upaya melipat gandakan keuntungan pemilik modal media televisi. Fenomena seperti itu tidak terbatas pada iklan komersial, tetapi juga berita, olah raga, film, sinetron, khususnya sinetron komedi Islam KTP yang menjadi topik diskusi dalam pembahasan artikel ini. Namun demikian dibalik itu media televisi juga memiliki hak kebebasan untuk bersiaran (UU No:32/2002/tentang Penyiaran). Dari yang tampak pada penyiaran televisi, aspek finansial cenderung lebih menonjol dibanding aspek kultural (Fiske,2008).

Komodifikasi : media televisi dianggap sebagai moda komunikasi massa dengan teknologinya yang mampu menghadirkan imajinasi dan citra’ bagi khalayak di tengah-tengah hiruk pikuknya nuansa Ramadhan dan mudik lebaran saat ini. Televisi merupakan kekuatan kultural dominan yang mampu mendatangkan profit dari bisnis periklanan sehingga yang kita saksikan betapa televisi komersial saling berlomba untuk menciptakan program-program yang mampu membuat penonton “duduk manis” dan tidak beranjak dari depan layar televisi pada saat bulan Ramadhan. Sebagian besar televisi komersial lebih banyak menawarkan program-program hiburan dari pada menggagas sebuah acara yang bisa memberikan informasi dan edukasi yang sehat untuk pencerahan kehidupan masyarakat. Dewasa ini penonjolan orientasi kapitalis telah menjadi ideologi yang mendasari semua program dalam televisi komersial (Morley David,1992). Meski dalam kontkes perkembangan industri budaya ideologi tersebut banyak pembenarannya. Demi mencari keuntungan dan kreatifitas bisnis itulah para kreator industri televisi selalu berusaha membuka peluang-peluang dengan membuat program-program baru yang diprediksikan diminati konsumen. Atau sebaliknya, mereka mengambil setiap momentum yang sedang terjadi dalam masyarakat komunal untuk dijadikan materi tayangan televisi. Dengan model jurnalistik televisi seperti itu terkesan masyarakat kepentingannya telah terakomodasi. Sementara realitas di masyarakat pada bulan Ramadhan bisa saja berupa masalah-masalah yang bertautan dengan kegiatan sosial, budaya, ekonomi, politik dan ke-agamaan. Dengan kata lain, hampir semua aspek kehidupan bisa menjadi komoditas yang cukup menjanjikan jika dikomodifikasi oleh pengelola media televisi, termasuk Islam. Kondisi tersebut akan terus bertahan sepanjang mampu memberikan konstribusi keuntungan bagi para pemilik modal televisi komersial yang berkembang selama ini.
Pada saat ini ranah agama dalam industri media, sudah tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang bersifat private atau yang berhubungan dengan komunitas pemeluknya (believer) sebagaimana dalam konsep awalnya. Karena secara realitas masalah agama sudah berkembang menjadi komoditas baru di layar televisi yang bisa ‘dinikmati’ banyak orang pada setiap bulan Ramadhan. Dalam konteks dunia pertelevisian agama bukan semata-mata menjadi sebuah nilai yang dianggap suci, sakaral dan terbebas dari campur tangan kekuatan-kekuatan di luarnya. Tetapi dalam konteks ini ”agama” telah berinteraksi dengan budaya televisi, yang pamilier dengan berbagai kegiatan seperti shooting, editing, producing, dan transmissing. Di era modern ini agama telah menjadi milik kaum kapitalis yang secara terus terang dieksploitasi dan dikomodifikasi menjadi produk industri televisi. Permasalahannya bagaimana Islam dikomodifikasi media televisi sehingga mengalami pergeseran orientasi dan nilai. Setelah mengalami komodifikasi, bukan tidak mungkin akan muncul representasi baru Islam dalam televisi. Dalam artikel ini sengaja memilih tayangan ”Sinetron Komedi Islam KTP” yang bernuansa Islamic di SCTV sebagai teks budaya yang mempunyai makna tertentu. Makna tertentu yang dimaksud penulis adalah yang bersinggungan dengan teori budaya komunikasi. Maka teori representasi dianggap yang paling dekat untuk digunakan sebagai kerangka analisis sehingga mendapatkan deskripsi makna-makna tersebut.
Representasi : representasi dalam cultural studies didefinisikan sebagai produksi makna yang diwujudkan melalui bahasa, termasuk di dalamnya bahasa visual. Banyak pemaknaan citra visual, dalam media televisi, yang bisa diasumsikan memunculkan representasi ideologis tertentu (Stuart Hall,1997a). Teori representasi memperlakukan tayangan televisi sebagai teks visual yang mempunyai makna tertentu yang bisa ditemukan seorang pengkaji. Makna yang ditemukan bisa saja berupa “pengetahuan” (knowledge) yang lebih mementingkan ideologi kelompok sosial tertentu (Hall,1997d). Maka yang menjadi asumsi dasar tulisan artikel ini, menganggap bahwa tayangan ”Sinetron komidi Islam KTP” di SCTV sebenarnya juga memunculkan mitos-mitos dan pengetahuan baru tentang Islam yang bisa berimplikasi kultural bagi kehidupan khalayak penontonnya di masyarakat. Pengetahuan tentang Islam yang selama ini hanya bisa didapatkan secara formal (di Sekolah Islam, Pondok Pesantren, Madrasyah, Masjid, Pengajian dan sejenisnya) sekarang bisa didapat secara bebas melalui tayangan media televisi. Tentu pengetahuan Islam yang didapatkan melalui media televisi, akan sedikit berbeda dangan yang diperoleh secara formal. Perbedaan itu terletak pada penyesuaian dengan karakteristik media televisi. Karena tayangan yang berkonsep Islamic di televisi bernuansa nilai komersial. Artinya sepanjang konsep Islamic tayangan televisi akan mendatangkan banyak penggemar (ratingnya tinggi), dan mendatangkan keuntungan bagi media televisi tentu akan di pertahankan apapun alasannya, dan begitu sebaliknya.

KONSTRUSI MAKNA ’SINETRON ISLAM KTP”

Konsep tentang teori komodifikasi (co-modification), standardisasi (standardization), dan massifikasi (massification) merupakan terminologi yang sering digunakan aliran kritis Mazhab Frankfurt, khususnya Theodor Adorno dan Max Hokheimer (1999) ketika mengkritisi perkembangan industri budaya (culture industry) di Eropa dan Amerika. Meski mereka tidak secara lugas menyebutkan istilah-istilah dalam kajian kritisnya. Tetapi sebenarnya mereka berusaha mengkontruksi pemikiran kritisnya tentang perkembangan industri budaya yang difokuskan pada industri media (hiburan) seperti dalam ketiga terminologi tersebut. Sementara Granham (1997) berpandangan bahwa industri budaya merujuk pada institusi dalam masyarakat yang mengelola produksi dan organisasi korporasi (televisi) guna memproduksi dan menyebarkan simbol-simbol dalam bentuk barang dan jasa industri budaya sebagai komoditas. Sejalan dengan pemikiran Adorno dan Hokheimer “komodifikasi” dalam konsep industri budaya bisa didefinisikan sebagai usaha pengelola media televisi untuk menjadikan ”Sinetron Islam KTP” sebagai realitas sosial dan budaya di masyarakat. Konsep komodifikasi itu mengacu pada bentuk produk media yang seragam, dengan lainnya. Sedangkan “massifikasi” merujuk pada produk media dalam jumlah yang cukup massif dan ditujukan bagi konsumen yang massif tetapi berorientasi pada keuntungan.
Konsep dasar dalam komodifikasi ”Sinetron Islam KTP” tidak lain adalah penciptaan citra (images) yang dikonstruksi sedemikian rupa untuk menimbulkan kesan yang bisa melebihi realitas sesungguhnya. Citra inilah yang kemudian disebut realitas semu (hyperreality). Dalam teori komunikasi massa mutakhir lebih banyak menggunakan realitas citra ini untuk menggambarkan sebuah “ciptaan fantasmis” (phantasmic creation) yang ‘lebih nyata’ dan ‘lebih otentik’ dari yang nyata itu sendiri. Tentang hal ini Baudrillard (1983a) mengatakan:
Realitas itu sendiri menemukan dirinya di dalam hiperrealisme, reduplikasi yang cukup detil dari yang nyata, yang lebih banyak ditemukan dalam medium lain, seperti fotografi. Dari medium ke medium, yang nyata menguap, menjadi alegori kematian. Namun, yang nyata juga terus di perkuat kembali, dalam makna, melalui kehancurannya sendiri. Yang nyata menjadi realitas demi dirinya sendiri, fetisisme objek yang hilang…..hiperriil.
Apa yang telah diungkapkan Baudrillard tersebut secara implisit di dalam media sebenarnya tidak terdapat “yang nyata” karena telah dihancurkan oleh realitas baru yang bernama hiperiil, sebagai produk perkembangan teknologi informasi komunikasi (TIK) yang lebih mempesona dibandingkan yang nyata. Dalam konteks ini produk industri media pada dasarnya tidak lebih dari realitas semu yang dikonstruksikan sebagai “yang nyata”. Nilai-nilai Islam (dalam Sinetron Islam KTP) merupakan objek komodifikasi yang dianggap paling laris pada media televisi. Hal ini terjadi karena Islam diasumsikan sebagai agama dengan pemeluk mayoritas di Indonesia. Atas dasar asumsi tersebut umat Islam merupakan audiens televisi yang paling banyak dibandingkan para pemeluk agama lain. Mayoritas jumlah pemeluk dan penonton maka asumsi bahwa tayangan-tayangan yang menyuguhkan simbol dan nilai Islam, seperti ”Sinetron Komedi Islam KTP” cenderung menarik minat penonton. Dengan banyaknya penonton akan lebih mudah untuk meyakinkan pemasang iklan. Konsekuensi dari komodifikasi simbol dan nilai-nilai Islam ini penonton televisi dari komunitas umat Islam disuguhi citra visual (visual image) dari apa yang mereka pahami dari ceritera ”Sinetron Komedi Islam KTP” pada setiap episode. Misalnya semacam penyadaran terhadap nilai-nilai Islam yang disampaikan oleh Ustadz Ali (Idrus Mardani). Dalam setiap epidode Ustazd Ali,selalu diberikan peran sebagai wali Allah, yang mampu memberikan pencerahan pada setiap masalah penyimpangan akidhah dari warga masyarakat, baik dalam keluarga (mpok Amsani dan Mamat), keluarga (Mahdit dan Jamilah), keluarga Jam’i, keluarga Karyo, keluarga ustazd Khodir dan lainnya. Memang dalam ”Sinetron Komedi Islam KTP” komodifikasi simbol dan nilai ajaran agama Islam tidak tampak adanya penyimpangan akidhah, seperti yang di sayari’atkan agama Islam secara ketat dan berlaku nuniversal. Tetapi komodifikasi simbol dan nilai-nilai Islam dalam ”Sinetron Komedi Islam KTP” disampikan secara unik, dan filosofis. Inilah barangkali keahlian yang dimiliki Ustazd Ali dalam sinetron komedi tersebut. Meski cara penyampaiannya unik, dan dengan kiasan tetapi makna kritiknya cenderung lebih dominan. Dalam setiap episode dakwah Islam senantiasa disampaikan dengan bahasa yang unik dan tajam. Tanpa disadari apa yang sering diucapkan oleh Ustadz Ali merupakan sebuah penyadaran pada Islam. Misalnya dalam komodifikasi yang berlangsung setiap ajaran Islam disampaikan dalam bahasa yang lugas dan unik. Keunikan itu cenderung menimbulkan tafsir yang berbeda dari pemaknaan senyatanya. Konsep pemaknaan dakwah Islam yang sering disampaikan oleh Ustadz Ali, se-olah olah Islam tidak memiliki ketegaran, sebagimana mestinya. Dalam konteks ini sebenarnya audiens muslim hanya mendapatkan ‘sesuatu yang kosong’ dari tayangan ”Sinetron Islam KTP” di televisi karena mereka hanya mengkonsumsi hiburan, yang dikemas dalam bentuk religius. Pada titik ini sebenarnya telah berlangsung negosiasi yang sinergis antara media televisi dengan para ustadz dalam tayangan-tayangan sinetron yang mengkomodifikasi ajaran Islam. Realitas ini bisa dibaca sebagai terciptanya representasi baru wajah Islam dalam konteks media yang cenderung mengarah pda sebuah gaya hidup yang penuh dengan simbol-simbol Islam dan bernuansa kapitalistik. Meski komodifikasi dalam format massif dan standard tetap saja menghasilkan tayangan yang cenderung melemahkan ajaran Islam bagi para audiens mayoritas muslim. Bahkan secara implisit para pelaku (artis dan aktor) yang terlibat di dalamnya tampak berusaha menjadikan ajaran Islam sebagai tampilan hegemonik di media televisi yang bersangkutan. Realitas tersebut merupakan karakter komodifikasi media dalam konteks industri budaya. Terhadap realitas media televisi seperti itu Thompson (1995) menjelaskan bahwa :
Kebanyakan industri budaya kurang berhasil menciptakan pretensi karya seni. Karena rata-rata produknya berupa konstruksi simbol yang dibentuk berdasarkan formula yang dibangun sebelumnya dan diisi dengan stereotip setting, karakter, dan tema tertentu. Ia tidak berlawanan dengan norma sosial yang ada, tetapi sebagai penegasan kembali norma itu dan mengecam tindakan dan perilaku yang dianggap menyimpang dari norma tersebut. Produk industri budaya menghadirkan dirinya sebagai refleksi langsung dan pengembangan terhadap realitas empiris, dan melalui pseudo-realisme produk-produk tersebut menormalisasikan status quo.
Jika kita merujuk pada logika tersebut, dakwah ajaran Islam dalam ”Sinetron Komedi Islam KTP” dapat dibaca sabagai usaha negosiasi ‘kelompok Islam ”sadar media” terhadap kehidupan masyarakat modern yang sudah termediasi tentang pencitra-an melalui media televisi. Hal ini tampak bahwa dalam pseudo-realis membuat setiap ajaran Islam tetap menjadi kekuatan hegemonik bagi kehidupan para pemeluknya yang semakin dipengaruhi budaya media sehingga mereka tetap taat dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan yang mereka yakini. Ketika kekuatan hegemonik Islam yang ditransformasikan melalui ”Sinetron Komedi Islam KTP” terus berlangsung, maka tanpa sadar umat digiring untuk mengkonsumsi ”realitas semu” yang tidak pernah mereka sadari. Mereka terlanjur masuk ke dalam permainan komodifikasi yang menjual ajaran agama dan simbol-simbol Islam yang sangat pragmatis, berupa tampilan simulasi hiperealitas televisi, tanpa diketahui asal usulnya. Menurut Yasraf.A.Piliang (2004) dengan mengadopsi pemikiran Baudrillard (1983a) mengatakan bahwa:
Penciptaan kebudayaan saat ini mengikuti model produksi simulasi penciptaan model yang nyata, tetapi tanpa asal-usul atau, hiperealitas. Melalui model simulasi manusia dijebak dalam satu ruang yang disadarinya sebagai realitas nyata, meskipun sesungguhnya itu realitas semu. Di dalam wacana simulasi, manusia berada dalam satu ruang realitas, di mana perbedaan antara yang nyata dan fantasi atau yang benar dan yang palsu menjadi sangat tipis,dan manusia hidup di ruang fantasi. Media televisi merupakan dunia fantasi, sama nyatanya dengan pelajaran sejarah atau etika di sekolah, yang sama-sama menawarkan informasi dan membentuk sikap dan gaya hidup.
Dalam praktiknya tampilan simulatif dalam ”Sinetron Komedi Islam KTP”di televisi di satu sisi ia tetap memberikan informasi tentang dakwah atau ajaran Islam secara humanis, dengan gaya yang sangat sederhana cair, santun jauh dari unsur kekerasan. Tetapi pada sisi lain, simulatif tentang dakwah Islam seperti yang di perankan ustadz Ali dalam ”Sinetron Komedi Islam KTP” bersifat unik. Keunikan itu sering kita lihat ”dari setiap penjelasan ustazd Ali, dimana antara yang larangan dan yang dibolehkan dalam konteks Islam bedanya sangat tipis”. Penonton diajak berpikir untuk menginterpretasikan makna dakwah Islam tersebut dengan logika dan pengetahuan religi yang dimilikinya. Demikian juga sikap dan perilaku yang diperankan oleh aktor lainnya. Realitas itulah yang kemudian menjadikan misi dakwah Islam yang disampaikan melalui ”Sinetron Komedi Islam KTP” cenderung tampak sangat lemah. Pada hal dalam Islam sendiri sudah ada standard materi, maupun komunikasi dalwah.
Islam yang disiarkan dalam tayangan ”Sinetron Komedi Islam KTP” di SCTV, telah menciptakan satu pemahaman Islam sebagai gaya hidup dalam bentuk hiburan bagi umat yang berorientasi pada ideologi kapitalis. Ideologi kapitalis ini bisa dibaca dari dua perspektif, yakni (1) perspektif stasiun televisi dan (2) perspektif para kreator film dan juga perusahaan garmen atau butik yang memproduksi pakaian-pakaian muslim/muslimah yang modis. Dari perspektif pihak televisi, keuntungan kapitalnya sudah sangat jelas, yakni meningkatkan pendapatan dari pemasangan iklan. Sementara dari pihak kreator film, mereka akan memperoleh keuntungan dari kontrak dengan pihak televisi. Sementara bagi pihak garmen ataupun butik, jelas mereka akan memperoleh keuntungan melimpah dari trend pakaian muslim/muslimah yang dikonsumsi para kreator film sinetron. Realitas di atas merupakan tanda kultural dari apa yang disebut “Islam televisi” dimana televisi telah menjadi ‘penuntun’ bagi lahirnya sebuah praktik baru dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam. Sebagai sebuah praktik beragama yang modern, Islam televisi ‘memberikan’ keluasaan untuk menjelajah keruang-ruang privasi asalkan tetap mau menonton ”Sinetron Komedi Islam KTP” di SCTV setiap hari. Islam televisi sebagai gaya hidup telah ‘membudidayakan’ proses simbolik dan sosial citra dan nilai-nilai terhadap ajaran permukaan (superficial doctrine) dari Islam yang bisa menjebak mereka dalam praktik-praktik model formalistik dalam hegemoni senyum, ujaran (bahasa), sikap dan perilaku para aktor dan artis ”Sinetron Komedi Islam KTP” di televisi. Generasi Islam televisi akan lebih mudah menyerap pengetahuan Islam dari budaya televisi, ketimbang ”pengetahuan yang biasa diperoleh dari pendidikan formal Islam” seperti di Sekolah Islam, Pesantren, Madrasah, Masjid dan lainnya. Secara konseptual televisi disamping memberikan pengetahuan, forsi yang lebih dominan adalah memberikan hiburan, sehingga lebih menyenangkan.

Representasi simbol & Umpatan menjadi Citra
Selama Bulan Ramadhan 1431 H ini disamping tayangan “Sinetron Komedi Islam KTP” dalam televisi yang sama juga ada sinetron komedi lain yang berperan membentuk Islam televisi. Dalam setiap sinema religius di televisi, disana pula terjadi proses komodifikasi sehingga cukup menarik untuk dianalisis. Ketika ajaran Islam dijadikan ide cerita dari sebuah produk sinetron di televisi. Umumnya ajaran Islam yang dikomodifikasi pihak production house adalah (1) bahwa Tuhan akan selalu memberikan balasan duniawi yang “kejam” kepada ummat-Nya yang berbuat kejam dan dzalim, (2) Tuhan akan memberikan hidayah kepada ummat-Nya yang tabah,sabar, dan tahan uji dalam menjalani setiap cobaan yang dihadapinya, dan (3) Tuhan akan memberikan balasan yang “kejam” kepada umat-Nya yang berbuat kejam untuk kemudian memberikan hidayah kepadanya. Hampir setiap episode yang ditayangkan dalam “Sinetron Komedi Islam KTP” di SCTV tidak lepas dari materi tersebut. Meski demikian masih banyak “ikon” dijadikan sebuah simbol dan pesan yang ingin dicitrakan oleh sutradara dalam “Sinetron Komedi Islam KTP” tersebut.
Misalnya, (1). sosok Bang Ali (Idrus Mardani) yang dalam sinetron tersebut diberikan peran sebagai seorang ustazd mumpuni, bahkan di sejajarkan dengan wali Allah, tetapi atas ke-salehannya tidak mau di sebut ustazd, ia lebih senang dipanggil “Bang Ali” saja. Bang Ali, mempunyai kebiasaan “siwak” yakni membersihkan giginya dengan potongan rotan kecil yang ujungnya ditumbuk (pengganti sikat gigi). Pada zaman kenabian Islam, alat kebersihan tersebut sangat dianjurkan. (2). Sosok Jam’i (Lionil Hendrik) anak pengusaha sukses, teman kuliah Sabina (Martina Aisyah) anak Bang Ali. Akhirnya Jam’i dan Sabina pacaran secara sembunyi-sembunyi. Ketika hubungan mereka diketahui Bang Ali, mereka disuruh nikah,dengan syarat Jam’i harus hafal Surat Yasin terlebih dulu. Jam’i di suruh pergi dari rumah orang tuanya, karena menjalankan syariat agama Islam, dan menghafalkan surat Yasin. Akhirnya Jam’i menjadi murid Bang Ali dan mengajar berbagai pengajian anak-anak jalanan. Dalam kesehariannya Jam’i selalu berbusana muslim, dan rajin sholat di Masjid bersama Bang Ali calon metuanya itu. (3). Sosok Mahdit (Qubil), di diperankan sebagai seorang ustadz ahli musyawaroh dan kaya, tetapi perilakunya menyimpang dari ajaran Islam. Kebiasaan Mahdit adalah selalu menghina orang miskin, memberikan sodakhoh tetapi dengan imbalan bunga (balas jasa), dan mengumpat dengan kata,”bahllul” (bodoh). Sementara sosok Karyo (Reza Aditya), dan Mamat (Aiman Rizky) adalah pengangguran yang kemudian dipekerjakan di toko Bang Ali. Sosok kedua anak muda ini meski menjadi muritnya Bang Ali, tetapi pendiriannya tentang Islam masih labil, dan sering tergoda dengan kebutuhan duniawi, dan glamornya kehidupan modern. Hampir semua komodifikasi pada sosok para aktor dan artis pemeran di “Sinetron Komedi Islam KTP” tersebut dicitrakan sebagai ikon dan simbol Islam untuk di trasformasikan kepada audience.
Jika kita analisis dari model alur cerita masing-masing evisode tayangan “Sinetron Komedi Islam KTP” di SCTV, bisa dilihat adanya kemiripan atau bahkan kesamaan. Yang membedakan hanyalah bentuk balasan dari Tuhan kepada masing-masing tokoh antagonis yang bersangkutan. Tidak bisa dipungkiri bahwa kecenderungan tampilan yang homogen merupakan karakteristik dari televisi di Indonesia ketika menjadi entitas televisi komersial. Mengenai realitas tersebut dalam bukunya Agus Sudibyo (2004) pernah menyatakan bahwa:
”Para pengelola televisi tampaknya kerepotan memenuhi tuntutan-tuntutan produksi ketika televisi telah menjadi entitas komersil. Mereka harus mempersiapkan banyak acara untuk mengisi jam siaran yang semakin hari semakin panjang. Padahal produktivitas industri-industri pendukung televisi (production house) belum bisa banyak diharapkan terutama karena keterbatasan SDM dan teknologi………………..Tanpa banyak disadari pemirsa, sinetron, komedi, dan acara televisi lainnya sebenarnya “serupa tapi tak sama”. Judul boleh berbeda, aktor boleh berganti, namun format cerita, logika kisah, plot, penokohan, dan setting cerita sesungguhnya serupa”.
Jika melihat realitas yang demikian, maka tidak mengherankan ketika semua tayangan sinetron religius di televisi mempunyai kemiripan satu sama lain. Di samping keterbatasan SDM teknologi, keseragaman format model tayangan sinetron religius tersebut juga dipengaruhi oleh trend tayangan televisi yang sedang berkembang saat ini. Dari sisi ideologi kapitalis, penayangan sinema religius semacam ini merupakan alat dominasi dari pengelola industri televisi untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan menarik perhatian ummat Islam untuk menaikkan rating.
Namun demikian jika dilihat dari sisi ideologi Islam, alur cerita sinetron religius serta tampilan visual cenderung bombastis. Dalam konteks kajian ini ”Sinetron Komedi Islam KTP” telah menghadirkan pemahaman-pemahaman baru tentang ajaran Islam, terutama tentang azab Tuhan kepada umat-Nya, yang sangat distortif. Misalnya dalam setiap evisode ”Tuhan”,lebih banyak digambarkan sebagai representasi yang bisa memberikan hukuman terberat bagi setiap umatnya yang menentang ajaran Islam. (Contoh : dalam episode tertentu, ketika ustazd Khodir mengalami kemajuan usaha warungnya, sibuk melayani langganan, ia melupakan sholat,mengajar ngaji bahkan anaknya yang sedang sakit keras dirumah. Ustazd Khodir baru sadar ketika anaknya yang semata wayang itu akhirnya meninggal (sebagai azab Tuhan) karena isterinya Minah terlambat membawanya ke Rumah sakit gara-gara tidak ada sarana angkutan). Ini merupakan sebuah hiperrealitas yang terlalu distortif dan bombastis karena pada dasarnya siksaan maupun azab seperti itu tidak pernah ditabsirkan secara vulgar di dalam kehidupan nyata. Dan ironisnya, peristiwa seperti itu selalu mendapat legalitas dari para ustadz (Bang Ali) yang selalu di berikan peran menutup cerita dengan wejangan-wejangan Islami tentang adegan visual yang ditayangkan. Lantas bagaimana audience harus memberikan makna terhadap semua evisode alur ceritera dalam teks ”Sinetron Komedi Islam KTP” selama ini? Dewasa ini memang banyak orang sukses yang berangkat dari bawah, tetapi seringkali mereka lupa bahwa usaha itu butuh waktu yang cukup lama untuk mewujudkannya. Keberhasilan seseorang dalam usaha tertentu bukan berasal dari pemberian orang kaya yang mirip sebagai Robbin Hood. Namun demikian karena mereka benar-benar berusaha bekerja keras untuk mencapainya. Bahkan, diantaranya banyak pula orang yang sudah bekerja keras dan tekun menjalankan ibadah tetapi belum juga mendapatkan rezeki berlimpah dari Tuhan. Dari paparan di atas, jelas kiranya, bahwa tayangan ”Sinetron Komedi Islam KTP” di SCTV cenderung mengusung representasi pengetahuan tentang Islam yang dimaknai secara hitam-putih. Kehidupan digambarkan sebagai relasi yang harus dipenuhi dengan hukum-hukum illahiyah yang begitu kaku dan formal. Dalam konteks ini wajah Islam dan kehidupan yang islami digambarkan dengan ”Islam” pada konsep kehidupan yang begitu formal, kaku, dan terbingkai dengan syariat Islam secara rigit. Padahal tidak selamanya hukum Islam harus dimaknai secara kaku dan hitam-putih.

PENUTUP
Sebelum masuk pada materi dasar sebenarnya prodoser memberikan judul sinema komedi tersebut bukan tanpa makna. Mengapa harus ”Islam KTP”?.Islam KTP sendiri merupakan apologi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Meski dalam BPS kisaran 90 % pemeluk Agama Islam, tetapi masih terbuka ruang untuk di diskusikan. Dari sudut pandang statistika data tersebut benar. Tetapi dari sudut pandang Islam belum tentu benar. Perbedaan itu terdapat pada media yang digunakan untuk mengukur ”pemeluk agama Islam versi statistik dan pemeluk agama islam versi Islam sendiri. Maka ”Sinetron Islam KTP” bagi masyarakat awam bisa ditabsirkan ke-Islamannya sebatas di KTP, ia tidak atau belum melakukan Islam sebagaimana mestinya. Kemudian apa makna konstruksi teks budaya dalam tayangan ”Sinetron Komedi Islam KTP” di SCTV . Teks budaya itu dapat dimaknai bagaimana Islam sebagai agama yang ”rahmatan lil’alamin” sangat fleksibel, lugas dan adaptif dengan semangat perubahan dan demokrasi yang dicitrakan dalam kontradiksi komodifikasi Islam di-televisi. Pada satu sisi, Islam adalah ajaran yang cinta damai, harmonis, humanis, modis, dan sekaligus formalis. Islam dalam tayangan Sinetron Komedi Islam KTP jelas-jelas mengusung semangat kapitalistik dengan cara memunculkan simbol-simbol Islamic yang di komodifikasi secara formalis. Pada hal sebenarnya pemunculan ikon dan simbol Islamic tersebut tidak lebih merupakan sebuah hiperialitas dari konsep media televisi untuk membangun sebuah citra, guna menarik simpti publik pada setiap ritual Bulan Ramadhan.
Dalam konteks penulisan artikel ini pemeran ustadz (aktor) dalam ”Sinetron Komedi Islam KTP” dapat tabsirkan sebagai agen kapitalis dimana ‘senyum dan imannya’ yang mampu membangkitkan relasi imajiner penonton untuk meniru gaya hidup dan perilakunya sebagai guru ngaji yang modis dan gaul tersebut. Semua kotbah yang mereka lakukan tak lebih dari sebuah sandiwara yang bisa dimainkan setiap saat, tergantung dari pesanan dan honor yang mereka terima. Bahkan apa yang mereka dakwahkan (omongkan di televisi) belum tentu mereka laksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Karena Ia hanya mencari popularitas melalui tampilan islami yang dicitrakan sedemikian rupa oleh televisi untuk selanjutnya mengeruk keuntungan dari semua pencitraan tersebut. Dengan kata lain, Islam televisi adalah Islam yang kapitalistik karena motivasi ekonomi dari para ustadz (sebagai aktor) lebih dominan dibanding memberikan pencerahan yang lebih agamis kepada umatnya. Islam televisi tampak lebih keras (radikal) karena sering kali Tuhan dilukiskan sebagai pemberi hukuman terhadap kesalahan seseorang secara vulgar dan mengerikan. Hal tersebut secara ideologis menjadi pesan yang bisa membuat orang takut dan selalu patuh dalam menjalankan ajaran agama. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa seseorang menjalankan agama takut hukuman Tuhan, bukan karena keyakinan akan Tuhan itu sendiri. Bisa jadi Tuhan, hanya dijadikan simbol bagi kepentingan-kepentingan duniawi kelompok-kelompok yang menggu nakan televisi sebagai media untuk meraih keuntungan ideologis maupun ekonomi. Kalau demikian halnya maka apa yang ditampilkan Islam televisi tidak lebih dari sebuah hegemoni visual-ideologis yang akan mengko optasi kesadaran religius ummat Islam dalam sebuah absurditas citra dan cerita. Citra dan cerita yang disuguhkan merupakan konstruksi yang sengaja dihadirkan sebagai pengetahuan yang diharapkan untuk diikuti oleh ummat Islam sebagai audience. Namun, sesungguhnya semuanya kembali kepada ummat, apakah mereka akan menerima atau menolak citra dan cerita tersebut. Maka, kajian resepsi audiens terhadap nilai-nilai Islam televisi secara lebih komperhensif masih sangat diperlukan. Karena penulisan artikel ini hanya sebuah awal dari eksplorasi panjang terhadap budaya media televisi yang sekarang berkembang pesat secara dinamis.

Daftar Bacaan
Theodor Adorno and Max Hokheimer (1999), The Culture Industry: Enlightenment as Mass Deception, dalam During S.ed (1999) The Cultural Studies Reader,Second edition Ruutledge : London
Baudrillard, Jean.1988. Jean Baudrillard, Selected Writing (ed. Mark Posnter). Stanford: Stanford University Press.
Chaney, David.2003. Life Styles, Sebuah Pengantar Komperhensif (terj. Nuraeni). Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.
Fiske.(1987). Dalam Storry (2008) Cultural Studies, dalam Kajian Bubaya Populer,Pengantar Konprehensip Teori dan Metode, Penerbit, Jalasutra Yogyakarta.
Granham, Nicholas. “On the Cultural Industries”, dalam Paul Marris & Sue Torham (eds).1997. Media Studies: A Reader. Edinburg: Edinburg University Press.
Hall, Stuart. “Work of Representation”, dalam Stuart Hall (ed). 1997a. Representation, Cultural Representations and Signifying Practice. London: Sage Publication in assosiation with The Open University Press.
________(ed) 1997d.Race Cultural and Communications in J.Storry (ed) What is Cultural Studies? London : Routledge
Kellner, Douglas.1992,Popular Cultural and the Construction of Postmodernity and Identity.Oxford: Blackwell
Morlly David.(1992). Television Audience and Cultural Studies, Routledge : London
Piliang, Yasraf Amir.2004. Dunia yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Yograkarta: Penerbit Jalasutra.
Sudibyo, Agus.2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta: LKiS bekerjasama dengan ISAI.
Thompson, John B.2006. Kritik Ideologi Global, Teori Sosial Kritis tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi Massa (alih bahasa Haggul Yaqin). Yogyakarta: Penerbit: Ircisod.
Turow, Joseph. “A Mass Communication Perspective on Entertainment Industries”, dalam James Curran & Michael Gurevitch (eds.).1991. Mass Media and Society. London: Edward Arnold.
Harian Kompas, Edisi Penerbitan tanggal,13 April 2008

Tidak ada komentar: