Senin, 14 Februari 2011

MITHOS KERIS & KOMUNIKASI MARKETING

MITHOS KERIS DAN KOMUNIKASI
MARKETING

S. Arifianto

Pengantar
Keris di zamannya selain berfungsi sebagai senjata tikam,juga sekaligus dijadikan simbol (piayandel) pusaka kebesaran kerajaan.Kerajaan akan kehilangan makna kepercayaan rakyatnya jika tidak mempunyai ”keris pusaka” kerajaan yang konon bisa diandalkan kesaktiannya. Begitu sebaliknya kerajaan yang mempunyai ”keris pusaka” andalan pasti dihormati dan disegani kerajaan kerajaan lainnya. Bahkan citranya cenderung meningkat, dan menjadi ”panutan” bagi kerajaan taklukan disekitarnya. Jenis pusaka yang lazim dimiliki kerajaan tempo dulu adalah ”keris atau tombak” pusaka. Keris yang biasanya di simbolkan menjadi pusaka kerajaan adalah keris-keris bertuah yang dianggap mempunyai kekuatan magis, atau kesaktian tertentu. Sekitar abad ke VIII di Jawa hampir semua kerajaan besar dan kecil memiliki keris pusaka tersebut. Mithos keris tersohor yang pernah diangkat dalam sejarah Indonesia misalnya ”Keris Mpu Gandring”.dari Kerajaan Singosari di Malang, Jawa Timur.
Keris Mpu Gandring merupakan pusaka andalan kerajaan”Singosari”di daerah Malang Jawa Timur. Keris tersebut menjadi sangat terkenal karena kutukan pembuatnya yakni seorang sakti Mpu Gandring. Singkat ceritera Ken Arok seorang penyamun memesan keris kepada Mpu Gandring dengan waktu satu malam saja. Pesanan keris itu oleh Mpu Gandring disanggupinya. Kemudian dibuatlah keris dengan cara hanya dipijit-pijit sambil memasukkan mantra saktinya. Tetapi sayang ketika mau diambil pemesannya keris itu belum jadi secara sempurna.Ternyata kerangkanya belum jadi, maka marahlah ”Ken Arok” karena Mpu Gandring tidak menepati janjinya. Akhirnya ditusuklah Mpu Gandring dengan keris buatannya sendiri itu. Tetapi sebelum ajalnya Mpu Gandring berpesan kepada Ken Arok jika kelak 7 orang anak turunnya akan mati tertikam keris buatannya itu, dan hal ini terbukti 7 keturunan Ken Arok akhirnya terbunuh oleh keris sakti Mpu Gandring tsb

Dalam ceritera pewayangan banyak tokoh tertentu memiliki keris sakti sebagai pusaka andalannya. Misalnya Arjuna memiliki keris pulanggeni, sarutama, Pendeta Durna memiliki keris cunda manik,Prabu Baladewa memiliki nanggala, Prabu Krisna memiliki sanjata cakra dsb. Tradisi kepemilikan keris pusaka seperti itu bisa kita dapatkan pada sebagian komunitas masyarakat jawa. Mereka berkeyakinan dengan memiliki keris yang baik (bertuah) akan terjaga keselamatan dan kelancaran rezekinya. Sampai dengan era digital ini sebagian komunitas masyarakat Jawa masih ada yang menganggap keris pusaka memiliki makna tertentu. Interpretasi makna simbolik ”keris sebagai benda pusaka” memang banyak variannya. Misalnya seseorang yang membawa atau memiliki keris kepercayaan dirinya meningkat, (kesaktian, kelancaran bisnis, pemikat wanita , tampilan diri) maka keris pusaka itu dikoleksinya (M.T.Arifin,2004 :1-2). Benda keris pusaka itu dikoleksi semata-mata hanya untuk memenuhi kepen tingan tersebut. Sedangkan kepemilikannya di masyarakat terbatas pada strata sosial tertentu. Diantaranya komunitas bangsawan (kerabat keraton), pengusaha dan kolektor. Kebanyakan keris di miliki untuk simbol status sosial, dimana antara orang yang satu dengan lainnya bervariatif. Karena secara filosofis ”keris pusaka” di buat harus sehati (sajiwo) dengan pemiliknya. Maka ada ”keris pusaka” yang cocok untuk dimiliki seseorang, belum tentu cocok dan bisa di miliki oleh orang lain. Kini fenomena tentang keris telah pergeser baik secara sosial, ekonomi dan budaya. Misalnya orang memburu keris karena motif kepentingan ekonomi (bisnis). Artinya keris yang baik dalam ukuran sekarang adalah yang mempunyai nilai ekonomi (harga) tinggi, sedangkan nilai lainnya hanyalah sebagai pendukung semata. Keris pusaka yang dianggap baik banyak dimiliki oleh para pengusaha dari berbagai etnis. Meski demikian jenis ”keris pusaka” sampai saat ini masih saja menjadi incaran orang-orang tertentu baik kolektor, pengusaha, maupun pembisnis keris pusaka itu sendiri. Dengan latar seperti itu menjadikan pengetahuan interpretasi masyarakat terhadap ”keris pusaka” semakin bervaritif. Apakah ”keris pusaka” dianggap sebagai artefak budaya, simbol sosial, motif ekonomi atau benda seni. Di tataran Kenegaraan ”benda keris” sering diberikan sebagai suvenir kepada tamu negara, sehingga keris diasumsikan memiliki makna budaya bangsa. Bagi konglomerasi tertentu dan komunitas lingkungan keraton ”keris pusaka” mempunyai makna ideologis.Ia merasa aman dan percaya diri (confidence) jika membawa keris pusaka tertentu. Tetapi bagi kolektor dan komunitas pembisnis, ”benda keris” lebih dilihat sebagai motif ekonomi. Disparitas tersebut mengakibatkan cara pandang masyarakat terhadap ”benda keris” beragam. Misalnya, ”komunitas masyarakat strata menengah dan atas di perkotaan yang bergerak di bidang praksis, ekonomi, sosial, dan pemerintahan mempunyai relasi dengan patron tradisi pusat kebudayaan jawa. Mereka biasanya memahami ”keris pusaka” dari lingkungan terdekatnya. Mereka memiliki ”keris pusaka” karena alasan tradisi pewaris leluhur, atau keperluan praksis. Jaringan kelompok tersebut teridentifikasi dari banyaknya orang-orang yang menjadi kolektor ”keris pusaka”1. Mereka tidak terbatas dikalangan masyarakat secara umum, tetapi juga pejabat tinggi pemerintahan/negara dan kalangan pengusaha. Keris pusaka yang lebih dikenal dengan sebutan khasnya “tosanaji” itu mereka anggap sebagai barang antik (kuno), karya seni dan daya spiritual tertentu. Nilai seni pada ”keris pusaka” terdapat pada ukiran serta lukisan logam yang terdapat pada bilah keris (pamor). Misalnya ukiran dan bahan yang dipakai pada pegangan keris, jenis logam mulia yang ditempel pada sarung (warangka), serta tahun pembuatannya. Meski ”keris pusaka” teksturnya jelek tetapi jika pernah dimiliki oleh punggawa kerajaan seperti Patih Gadjah Mada di zaman kerajaan Majapahit harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Keris kuno semacam itu menjadi buruan para kolektor benda kuno karena memiliki nilai jual tinggi dan sangat langka di pasaran. Mahal tidaknya harga ”keris pusaka” sangat relatif tergantung dari kecocokan atau keyakinan calon pembeli. Tidak ada standard harga yang baku seperti harga jual produk industri korporasi. Keris pusaka dianggap baik jika bisa menyatu dengan jiwa pemiliknya. Ukuran menyatu atau tidaknya ”keris pusaka” bagi seseorang ditentukan untuk kepentingan apa keris pusaka itu dimiliki. Misalnya ”keris pusaka” yang cocok untuk pertanian, bisnis, jabatan tertentu, perang, keselamatan diri dan lainnya. Kreteria seperti itu hanya bisa ditentukan oleh Mpu (pembuat keris) atau orang yang memiliki keahlian tentang ”keris”. Jaringan kolektor ”keris pusaka” kuno itu terdapat di (Nganjuk, Blitar, Pacitan, Surakarta, Magelang, Bantul, Yogyakarta, Cirebon, Tuban, Bali, Lombok, Padang, Aceh dan lainnya). Kota yang terdapat jaringan perdagangan ”keris pusaka” itu tergabung dalam asosiasi kolektor benda benda kuno. Dalam setiap even tertentu mereka mengadakan pameran dan penjualan koleksi keris pusaka tersebut. Tempat yang sering di gunakan untuk ruang pameran kolektor keris kuno misalnya Balai Pemuda Surabaya, Gedung Kebudayaan Trowulan, Mojokerto, Gedung Wanita Yogyakarta. Di samping itu mereka juga telah menggunakan teknologi internet untuk memperluas jaringan pemasarannya secara global. Berangkat dari latar belakang sejarah tersebut, artikel ini lebih di-fokuskan bahasannya pada, estetika dan mithos keris, dan keris terkomodifikasi sebagai industri budaya berbasis ekonomi.

Estetika Dalam Keris
Sampai abad informasi global ini ”keris pusaka” tertentu oleh sebagian pihak masih dianggap menyimpan nilai-nilai spiritual yang bersifat simbolik tetapi belum banyak terungkap di permukaan. Maka tidak jarang perlakuan terhadapnya di bedakan dengan benda pusaka lain sejenisnya. Contohnya pada setiap tanggal 1 Syuro (tahun saka ) dalam penanggalan jawa ”keris pusaka” dimandikan air kembang seperti layaknya manusia. Etika maupun estetika pemeliharaan ”keris pusaka” seperti itu masih di jalankan di abad modern ini. Menurut Wiryodirjo (1993) terdapat tiga perbedaan pandangan terhadap ”keris pusaka” dilihat dari sisi estetika, diantaranya : (1). ”keris pusaka” dianggap sebagai hasil kebudayaan, atau sebuah karya seni. (2).”keris pusaka” dianggap sebagai senjata pusaka dikarenakan mempunyai daya gaib, atau tuah yang dimilikinya. (3). ”keris pusaka” di anggap sebagai pusaka dengan bervariasi pemaknaannya dan dinyatakan dengan istilah-istilah yang hanya dikenali oleh kalangan tertentu2. Kajian terhadap ”keris pusaka” dalam konteks yang pertama yakni keris dipandang sebagai ”benda seni” masih diperlukan eksplorasi lebih mendalam lagi. Hal ini untuk mengungkap pandangan istetika para ahli dibidang keris serta wujud keris yang ada dikomunitas masyarakat. Disamping itu eksplorasi juga akan bermanfaat untuk mendapatkan data baru. Data itu bisa berupa historiscel dari berbagai varian keris secara diakronik. Varian diakronik berupa pandangan para narasumber sebagai subyek maupun obyek kajian yang bersangkutan. Pandangan itu dapat mempermudah konsep pemaknaan dalam katagori identivikasi terhadap berbagai genre keris. Ketika ”keris pusaka” dianggap mempunyai makna tertentu, maka kajian yang menggunakan pendekatan strukturalis menjadi sangat penting. Kajian ini untuk mengetahui dan mengungkap makna mithos dibalik fakta realitas yang sebenarnya terjadi pada ”keris pusaka” ini. Sebab bagaimanapun juga sebagian diantara ”keris pusaka”tertentu tidak sekedar diyakini sebagai barang seni yang mempunyai nilai jual tinggi, tetapi juga masih ada yang dianggap sakral, karena mempunyai kekuatan magis yang dimithoskan oleh komunitas masyarakat tertentu.
Maka pendekatan teori tertentu diharapkan bisa mengungkap berbagai makna pada ”keris pusaka”, baik sebagai benda pusaka maupun sebagai benda seni. Dengan begitu akan lebih mempermudah untuk memberikan pemaknaan pada masing masing tanda yang terdapat pada keris. Hal ini untuk mengungkap nilai estetika yang terdapat pada karakter ”keris pusaka”. Pada dasarnya ”keris pusaka” merupakan perwujudan konsep estitika. Dimana dalam istilah jawa disebut dengan kewangunan. Artinya antara Mpu dan pengguna keris yang berada dibawah naungan kosmologi pengetahuan dan pemahaman tentang keris berada pada komunitas yang sama. Dalam konteks budya jawa disebut ”kawruh paduwungan” yang sejati (punya pengetahuan tentang keris yang senyatanya). Jadi konsep estetika dalam keris yang dikenal dengan kewangunan itu tidak lain adalah estetika yang di-integrasikan secara parsial maupun integral dengan berbagai orientasi pada tujuan kepemilikan keris. Karena ada diantara pemilik yang menganggap bahwa ”keris pusaka” sebagai ajimat (piandel). Artinya dengan ”keris pusaka” di-miliknya ia menjadi kebal. Bahkan diantara mereka ada yang menggunakan ”keris pusaka” sebagai alat mediasi untuk membantu penyembuhan penyakit, mencari barang yang hilang dan sejenisnya. Konsep estetika atau kewangunan (jawa) seperti itu selanjutnya oleh Mpu (pembuat keris) diwujudkan dalam bentuk reka-rupa keris. Hasilnya berupa bentuk keris yang tersusun dari berbagai unsur kerupaannya seperti, ”dapur, pamor, guwayaning tosan, condong leleh dan lainnya yang masing-masing mempunyai varian makna. Dalam banyak hal pembuat keris (Mpu) yang paling tahu dan menentukan nilai estetik sebilah keris. Ketika ia mendapat pesanan keris sudah harus berfikir untuk tujuan apa keris dibuat. Kemudian setelah semua informasi didapatkan dari pemesan berulah dibuatnya. Mereka inilah sebenarnya yang paham tentang dunia keris, bukan pengguna atau pemilik keris.
Pengguna dan pemilik keris adalah orang yang sudah kesekian kali mendapat pengetahuan tentang keris dari seorang pembuat keris. Namun demikian baik pengguna maupun pemilik keris masih lebih mengetahui nilai estetik dalam varian keris ketimbang orang awam seperti kita ini. Estetika dalam keris pusaka, sangat erat kaitannya dengan estetika jawa. Dimana estetika itu merupakan bagian dari kebudayaan Timur. Estetika jawa dapat dilihat dari berbagai bentuk karya seni, baik seni bangunan, seni sastra, dan seni keris, yang umumnya mengandung makna tertentu bagi komunitas masyarakat jawa. Kebudayaan jawa, itu sendiri menurut Budiono (1987)3 memiliki ciri estetika khusus,: (1).Bersifat kontemplatif trasidental, yakni masyarakat jawa ketika mengungkapkan rasa keindahan selalu mengkaitkannya dengan perenungan (kontemplasi) baik kecintaannya kepada Tuhan, Raja, Negara, penghayatan pada alam dan dunia mistis. Artinya apapun yang diungkapkan selalu mengandung makna, dan tindakannya banyak dipengaruhi oleh berbagai hal (lingkungannya). Misalnya pengaruh dogma agama, adat, kebiasaan, teknik, pakem dan sejenisnya. (2). Bersifat simbolik, masyarakat jawa dalam setiap berekspresi selalu mengandung makna simbolistik. Seperti dalam filosofi pedalangan wayang kulit purwa, yang pada dasarnya merupakan rangkuman dari tindakan simbolis terpadu. Misalnya dalam penanggapan pentas pertunjukan wayang kulit untuk nadhar, dengan lakon tertentu dan menampilkan tokoh pewayangan tertentu, merupakan simbolisme falsafah masyarakat jawa. Tindakan simbolis lain pada penabuh gamelan dan sinden harus hadir sebagai pengiring (dengan kostum khas jawa) untuk menghidupkan suasana serta mencerminkan kehidupan manusia. Begitu dalang duduk ditempat, dan ketika gending lagu pantaloon dibunyikan berarti ruh atau jiwa manusia yang akan menghidupi wayang telah memasuki zat kehidupan,4 dan tidak lupa Ki Dalang menggunakan “keris pusaka” sebagai simbulisme identitas budaya jawa. (3). Bersifat Filosofis, masyarakat jawa dalam segala tindakannya selalu didasarkan atas sikap tertentu yang dijabarkan dalam berbagai ungkapan hidup.
Ungkapan itu misalnya, “ojo dumeh” artinya jangan sok, ”ngono yo ngono ning ajo ngono” begitu ya begitu tapi jangan begitu, “mamayu hayuning bawono” artinya memelihara perdamaian dunia dan lainnya. Berbagai ungkapan filosofis seperti itu pada dasarnya merupakan sebuah sikap masyarakat jawa atau estetika masyarakat jawa yang dikenal adhiluhung itu. Hampir semua estetika jawa tersebut tercermin dalam pusaka tosan aji atau “keris pusaka” yang umumnya menjadi “piandel”(penjaga diri) bagi mereka yang mengagumi “seni keris” baik sebagai koleksi, bisnis, ajimat atau benda seni lainnya. Bagi mereka yang patuh dengan estetika seperti itu dapat dilihat dari penampilan, sikap, cara bertutur dan berperilaku. Mereka akan meresa percaya diri jika mempunyai keris pusaka. Khususnya bagi mereka yang tinggal di lingkungan kraton,(kerabat keratin) bahwa “keris pusaka” menjadi asesoris kelengkapan pakaian pria yang tidak bisa terpisahkan,estetika dan mithos tersebut.


Memahami Mithos Keris Pusaka
Pada bagian lain tulisan ini telah dipaparkan bahwa seni keris erat kaitannya dengan estetika budaya jawa. Maka dari itu memahami mithos keris tidak semudah yang diduga sebelumnya. Untuk memahami mithos keris orang perlu mengenal karakteristik jenis-keris dan filosofinya. Karena masing-masing jenis ”keris pusaka” mempunyai estetika dan varian mithos. Perbedaan mithos pada “keris pusaka” itu tergantung dari untuk apa keris itu di fungsikan oleh pemiliknya. Barangkali itu adalah pertanyaan pertama dari Mpu pembuat keris. Kemudian untuk memahami keris secara fisik perlu pahan tentang beberapa komponen keris. Komponen keris terdiri dari: mata bilah keris, keadaan mata bilah, panjang mata bilah, tabiat, warangka keris dan lainnya (M.T.Arifin,2004:6). Misalnya di Minangkabau ”keris pusaka” merupakan visualisasi, nilai-nilai, norma-norma, sehingga kehadirannya sebagai atribut pakaian adat merupakan tanda yang mengandung makna tertentu.5
Dilihat dari fisiknya masing-masing tabiat dan mata bilah keris mempunyai makna yang berlainan. Perbedaan itulah yang memperkaya mithos keris untuk dikembangkan dalam rangka tujuan apa sebuah keris diproduksi. Pada dasarnya keris menyimpan nilai-nilai mithos sebagai barang antik, karya seni, serta benda pusaka. Berbagai kelengkapan bahan yang digunakan untuk membuat keris sering dianggap memiliki daya spiritual tertentu. Misalnya nilai seni itu bisa berbeda pada ukiran dan lukisan logam (pamor) bilahnya. Pemahaman untuk mengenal karakteristik keris ini menjadi penting sebelum mempelajari tentang mithos keris dan maknanya yang lebih mendasar lagi. Pertanyaan selanjutnya dimana keris itu dibuat, karena daerah merupakan koloni, yang menentukan corak keris. Contohnya: keris Minangkabau, keris Jawa, keris Bali, keris Bugis, keris Aceh dan lainnya. Keris dapat dianggap sebagai identitas budaya lokal (local of identity cultural) dari sebuah bangsa. Pada saat ini pembuat keris tidak hanya didominasi di Jawa tetapi juga terdapat di luar Jawa, seperti Sumatera, Kalimantan, Bali, Madura, Sulawesi dan tempat lainnya. Setahu penulis prodosen keris di jawa antara lain di Blitar, Pacitan, Nganjuk, Pamekasan, Surakarta, Bantul, dan Jogyakarta. Seperti di ungkapakan Hardono (56 th) pembuat keris di ”Banyu Sumurup” Bantul, bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara pembuatan keris di zaman kerajaan, zaman kemerdekaan,dan di era modern sekarang ini (wawancara,16/6/2008). Di zaman kerajaan pembuatan keris erat kaitannya dengan kepentingan negara atau kerajaan. Keris dibuat untuk senjata pusaka kerajaan jika sewaktu-waktu kedatangan musuh dari luar kerajaan (untuk perang). Pada saat itu produksi keris tergantung kondisi kebutuhan perang atau tidak. Jika kerajaan akan melakukan penyerangan untuk menaklukkan kerajaan lainnya dibutuhkan banyak keris sebagai senjata andalan. Guna memenuhi kebutuhan itu Mpu di perintahkan untuk membuat keris sebanyak mungkin. Tetapi jika kerajaan dalam posisi damai produksi keris menjadi berkurang, dan para Mpu pembuat keris banyak yang istirahat.
Pada saat ini pembuatan ”keris pusaka” seperti di Banyu Sumurup Bantul dan Yogyakarta lebih berorientasi pada pengrajin benda seni yang bermotifkan ekonomi,atau benda souvenir. Mereka memproduksi keris bukan untuk senjata tetapi sebagai barang seni yang akan dijual ke pasaran, baik berupa pesanan maupun atas prediksi pengrajin sendiri. Ketika kajian ini dilakukan pengrajin keris banyak yang mengeluh karena pembelian bahan baku (logam besi dan baja sebagai campuran) saat ini sudah mahal. Sedangkan penjualan hasil produksinya terasa sepi dari pemesan. Disamping menjadi prodosen keris souvenir terdapat diantara mereka juga menjadi agen penjualan keris kuno. Jika dalam satu bulan bisa memproduksi 10 keris dan terjual sudah dianggap bagusketika itu. Kondisinya sangat berbeda dengan para kolektor keris kuno. Mereka umumnya mencari keris-keris kuno yang sudah tidak terawat. Kemudian ia lakukan perawatan setelah baik menjualnya dengan harga yang sangat mahal. Bahkan bisa lima kali lipat dari keris produksi pengrajin. Disamping itu ada juga keris yang dikeramatkan, misalnya keris yang ada di Keraton Yogyakarta, dan Surakarta. Keris pusaka sejenis ini sangat terjamin perawatan dan ke-antikannya. Keris tersebut tidak boleh diperdagangkan karena keberadaannya dilindungi undang undang cagar budaya. Kalau ada dipasaran barang tersebut pasti elegal dan diperjual belikan secara sembunyi sembunyi. Pada zaman prakolonial sebagian besar masyarakat keluarga suku Jawa rata-rata mempunyai keris pusaka. Sekarang hanya para kolektor keris dan sebagian kecil keluarga pewaris nenek moyang yang masih menyimpannya. Menurut pengakuan Mulyono Adi (43 th) kolektor keris yang tinggal di Alon-alon utara Jogyakarta (wawancara,17/6/2008) banyak diantara keris antik (kuno) yang dijual kepada orang asing di luar negeri. Mereka biasanya memesan melalui jaringan perantara atau melalui internet. Para kolektor keris di Yogyakarta banyak yang memiliki situs-situs di jaringan internet. Teknologi internet itu mereka gunakan untuk bisnis keris kuno. Jaringan internet itu mereka gunakan untuk menawarkan keris antik pada konsumen di luar negeri. Meski sekarang banyak pembuat keris tetapi diproduksi seperti pandai besi.
Cara membuatnya seperti memproduksi alat pertanian, pertuksngsn dan sejenisnya. Sedangkan Mpu ”keris pusaka” yang masih memegang teguh etika (dunia perkerisan) pembuatan keris secara tradisional adalah mbah Djeno Harumbrodjo (60 th) yang tinggal di Desa Gatak Yogyakarta. Ia masih keturunan ke-15 dari Mpu Sopo dari Mojopahit. Menurut Haryono Arumbinang (2005)6 keris kuno yang dibuat sebelum abad 19 masih menggunakan bahan baku dari bijih logam mentah. Jenis logam itu diambil dari alam/tambang karena ketika itu belum ada pabrik peleburan bijih besi, perak, nekel tembaga dan berbagai jenis logam lainnya. Pada abad itu jenis logam yang dipakai untuk mebuat keris banyak mengandung jenis logam lain. Misalnya bijih besi yang mengandung, titanium,cobalt, perak, timah putih,nekel tembaga dan lainnya. Sementara jenis keris produksi pasca abad XIX hanya menggunakan bahan baku besi baja, dan nekel yang dari pabrikan. Hasil penelitian Haryono Arubinang, dkk (2005) dari BATAN Yogyakarta menunjukkan bahwa, “sebuah keris tangguh Tuban, dapur tilam upih dengan pamor beras wutah ternyata mengandung besi (Fe), arsinikum (warangan) dan titanium (Ti). Hal ini dapat dipastikan keris kuno sebagai logam titanium baru ditemukan sebagai unsur logam mandiri sekitar tahun 1940-an, dimana logam tersebut kekerasannya melebihi baja. Namun lebih ringan dan sekarang banyak digunakan untuk membuat pesawat ruang angkasa, pesawat tempur dan roket. Hanya saja di Indonesia bijih besi semacam itu tidak ada. Menurut Haryono dkk (2005), sebenarnya jenis titanium banyak ditemukan pada batu meteorit dan pasir besi yang terdapat di pantai selatan Pulau Jawa, dan Sulawesi. Dari 14 sampel keris kuno yang diteliti Haryoyo dkk sebanyak 13 keris mengandung titanium, dan hanya satu keris yang mengandung nekel. Berbeda dengan keris yang diproduksi sekarang sudah langsung ketahuan bahan bakunya. Karena bahan baku itu dibeli dari toko besi (besi, nekel dan kuningan bekas). Mereka tidak menggunakan bijih besi mentah yang diambil dari tambang. Maka tidak perlu diteliti dengan peralatan isotop radioaktif seperti keris kuno. Keris diproduksi untuk kepentingan souvenir dan berbagai jenis hadiah lainnya. Menurut Mpu Djeno Harumbrojo (60th) sendiri, membuat keris jenis “Tangguh Sedayu” dibutuhkan 15 kg besi,1,5 kg besi pamor (batu meteorit) dan 0,5 kg baja dengan cara pemanasan, penempaan, dan pelipatan. Untuk menye lesaikannya diperlukan 498 lipatan. Jadi bahan yang jumlahnya sekitar 17 kg itu hanya akan tinggal beberapa ratus gram saja, bahkan bisa habis sama sekali. Jumlah berat itu menyusut menjadi sebilah keris hanya karena dipanasi, dilipat dan ditempa tidak ada yang sengaja dibuang. Membuat model keris klasik yang mempunyai kandungan seni profane maupun spiritual memerlukan waktu sekitar 6 bulan.Prediksi biaya pembuatan yang dikeluarkan sekitar Rp.5.000.000,-/keris.

Pangsa Pasar Keris
Pemasaran keris memang tidak bisa disamakan dengan barang industri lainnya, misalnya untuk kebutuhan lokal nasional dan internasional sudah ada pengepul benda kuno tersebut, mereka umumnya sudah membentuk jaringan sampai ke luar negeri. Di kalangan masyarakat jawa penggunaan keris sudah tidak lagi menjadi pilihan, kecuali pada hari tertentu seperti hajatan pengantin,dan upacara ritual adat lainnya. Sedangkan pemasaran keris lebih banyak melelui pengepul (jaringan) yang ada di beberapa daerah misalnya, untuk wilayah Jateng, ada di Wonosobo, Kebumen, Boyolali, Sragen Ungaran, Pekalongan Temanggung, Magelang, Banjarnegara, Surakarta, Semarang, Jepara dan lainnya. Untuk Jawa Timur ada di Pacitan, Blitar, Mojokerto/ Trowulan, Pamekasan, Nganjuk, Tulungagung, Trenggalek, Tuban,Malang, dan lainnya, disamping di bebrapa daerah di Jogyakarta dan sekitarnya yakni pada hari hari biasa pemasaran keris bisa didapatkan di Alon-Alon Utara dan Pasar Tri Windu Surakarta, Pasar Turi Surabaya, Pasar Johar Semarang, Pasar Rawa Bening Jakarta6 Dari hasil penelusuran penulis banyak keris kuno yang dijual ke luar negeri seperti belanda, Malaysia, Thailan, dan berbagai negara Eropa lainnya. Para pedagang itu berprofesi sebagai penjual keris kuno peninggalan sejarah kebudayaan itu lebih di latar belakangi oleh motif ekonomi.
Artinya hanya orang asing yang mau membeli benda pusaka kuno itu dengan harga yang mahal, sedangkan pasaran dalam negeri atau lokal tidak mampu menjangkau harga tersebut. Kondisi inilah yang menyebabkan benda budaya dan situs situs purbakala banyak yang lari ke mosium luar negeri. Bagi orang luar negeri ia membeli benda kuno termasuk keris dari Indonesia bukan dinilai dari komersialitasnya, tetapi nilai sejarah yang tidak didapatkan di negara lain. Benda kuno itu dikembangkan untuk penelitian ilmu pengetahuan mereka terhadap peradapan manusia. Maka tidak heran jika untuk melihat koleksi lengkap terhadap benda kuno asal Indonesia harus datang ke museum di Belanda atau London. Kedengarannya memang sangat ironis tetapi ini merupakan realitas yang terjadi di abad ini, termasuk keris kuno asal Indonesia yang mempunyai nilai historis.
Keris merupakan sebuah penamaan dari jenis senjata tikam tradisional masyarakat jawa yang sekarang telah memiliki jarak kultural dengan komunitas di masyarakat, mereka sebenarnya cukup memahami jika keris sebenarnya merupakan sebuah karya teknologi bangsa kita pada zamannya yang memiliki nilai luhur untuk mempertahankan keamanan komunitasnya. Meski demikian keberadaan keris dan karya logam lainnya hingga dewasa ini masih menjadi misteri, dan belum terungkap dengan teknologi modern bagaimana dizaman itu seorang Empu sudah bisa membuat keris yang berkualitas. Pertanyaannya menggunakan teknologi apa para Empu membuat keris, darimana mereka bisa belajar membuat keris yang berkualitas seperti itu. Di akui atau tidak keris merupakan bagian dari hasil karya yang menonjol pada zamannya yang hingga sekarang masih menjadi bagian khasanah budaya etnik jawa yang sering disebut adhiluhung. Keris jika disandingkan dangan jenis senjata tradisional lainnya seperti tombak, parang, golok, clurit,badik,kujang, keris masih memiliki eksistensi yang lebih jelas, khusus ikatan kultural yang jauh lebih mendalam. Ikatan kultural itu lebih di sebabkan karena keris memiliki nilai histories dengan mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung di masa lalu.

Industri Keris
Persoalan yang dianggap paling mendasar dalam konteks ini adalah bagaimana memaknai keris yang tidak sekedar sebagai komuditas ekonomi semata tetapi bagaimana relasinya dengan masalah sosial dan perkembangan budaya di komunitas masyarakat itu sendiri. Pada bagian lain keris juga dianggap mampu memetakan status sosial tertentu bagi komunitas masyarakat. Ukuran pemetaan status sosial pada setiap individu di masyarakat dapat di identivikasi dari jenis dapur keris dan tahun pembuatannya. Semakin kuno (antik) tahun pembuatan keris biasanya akan membawa konsekuensi harga yang lebih mahal, belum lagi untuk dapur tertentu yang biasanya akan di sesuakan dengan karakter sang pemilik. Misalnya keris buatan abad ke VIII di masa kerajaan Majapahit yang dimilki oleh petinggi kerajaan akan mempunyai nilai yang tidak terbatas.Nilai tidak terbatas artinya di sesuaikan dengan karakteristik pemilik atau calon pembeli (kecocokan) apakah keris tersebut sesuai dengan karakteristiknya atau tidak.
Apabila pembeli merasa senang dan berniat untuk memilikinya harga tidak menjadi soal, berapapun akan di belinya, tetapi sebaliknya meski keris itu dalam katagori antik, jika tidak ada rasa kesenangan tidak akan mungkin terjadi transaksi. Dengan demikian masalah nilai yang terdapat pada benda semacam keris adalah persoalan “rasa” meski secara fisik tidak bisa di rasakan seperti makanan pada umumnya. Rasa itu secara mistis akan menyatu dengan calon atau pemilik keris yang bersangkutan. Menurut penuturan pembuat keris di Banyu Sumurup Bantul (wawancara,16/6/2008) dulu keris hanya bisa di beli oleh orang yang mempunyai karakteristik sama dengan yang menjualnya. Secara fisik keris memang dapat di beli dengan imbalan berupa apapun, tetapi isi keris tidak begitu saja mau berpindah meski sudah ganti pemilik. Dalam mithos isi keris di artikan makluk yang menunggu atau yang menyatu pada keris sehingga keris mempunyai kekuatan magis diluar kekuatan manusia. Jenis keris seperti yang di diskripsikan seperti itu hanya di miliki oleh kalangan tertentu di masyarakat, misalnya jika tidak keturunan bangsawan mereka pasti dari status sosial kelas atas. Karena hanya kelompok mereka inilah yang mampu membeli jenis keris semacam itu. Dalam konteks ini orang memiliki atau membeli keris dapat di kelompokkan,:(1). Ia sebagai pewaris dari generasi sebelumnya, biasanya orang tersebut dari keturunan atau trah kerajaan, kesultanan dan atau orang biasa yang memiliki komitmen kuat untuk melestarikan tradisi adat dan budaya lokal pada komunitas masyarakat tertentu. Kelompok ini biasanya mempunyai ikatan histories dengan dinasti atau trah yang dulunya mempunyai kekuasaan. Mereka memiliki keris sebagai symbol status sosial dalam kehidupan bermasyarakat di lingkungannya.
Sebagian diantara mereka masih percaya jika memiliki keris yang bagus dan sesuai dengan karakter pemiliknya rasa percayaan dirinya tinggi, ketenteraman dan keselamatan hidupnya terjamin. Oleh sebab itu keris bukan sekedar di jadikan benda koleksi, tetapi berfungsi untuk ketenteraman serta kelancaran ekonomi keluarganya. (2).Pengoleksi keris untuk kebutuhan ekonomi (di perdagangkan), kelompok ini memiliki jaringan perdagangan keris di berbagai daerah seperti telah di bahas pada bagian lain tulisan ini. Kelompok ini memburu keris kuno karena memiliki nilai ekonomi tinggi dan sangat menguntungkan untuk di perdagangkan. Sebilah keris kuno yang masih memiliki keterkaitan dengan kerajaan tertentu bisa laku ratusan juta, pada hal harga pembeliannya tidak seberapa mahal. Ia mencari keris keris tersebut pada orang orang di luar jaringan perdagangan keris yang mana mereka tidak banyak informasi tentang perkembangan harga keris kuno di pasaran Nasional. (3). Pembuat keris yang sekarang ini terdapat di berbagai daerah termasuk di Banyu Sumurup Bantul Yogyakarta. Katagori yang terakhir ini tidak ubahnya pandai besi yang membuat alat pertanian seperti cangkul, sabit, sekop dan lainnya. Bedanya yang mereka produksi adalah keris yang menyerupai aslinya, tetapi yang satu ini hanya untuk komuditas setingkat souvenir, tidak memiliki estetika layaknya keris zaman dulu yang masih di jamin keasliannya. Misalnya pengrajin keris di Bantul memasang tarif paling rendah antara Rp.3.000.000 – Rp.8.000.000. untuk sebilah keris pesanan, lengkap dengan sarungnya. Perbedaan harga itu tergantung dengan bahan dan model tingkat kesulitan pembuatannya. Satu unit keris biasanya akan di selesaikan rata rata dalam tiga bulan dari pemesanan, itu sudah tercepat. Bahkan jika terdiri dari model yang paling sederhana, waktu pembuatan nya bisa di hitung dalam minggu, atau hari.

Komunikasi Marketing
Baik sebagai industri maupun artefak budaya “keris” menjadi suatu hal yang sangat menarik untuk di diskusikan dan di eksplorasi menjadi bahan kajian budaya dan media. Menarik bukan berarti penulis meyakini atas mithos pada sebuah keris (Islam mengharamkan hal itu), tetapi tidak lebih sebagai eksplorasi pengetahuan terkait dengan industri budaya. Keris pada zamannya hingga saat ini mampu me-petakan sekat sekat kelas sosial dan budaya pada komunitas masyarakat tertentu. Keris bukan sekedar benda yang di gunakan sebagai senjata tikam (gaman) ketika itu, tetapi mengandung mithos masyarakat, bahkan menjadi ideologi komunitas masyarakat tertentu. ”Mithos dan ideologi bekerja dengan menaturalkan interpretasi tertentu dari individu yang khas secara histories”6 Artinya mithos memberikan kehendak histories suatu justifikasi alamiah dan menjadikan berbagai peristiwa yang tak terduga tampak abadi. Sebagian orang atau individu yang memiliki ideologi sama tentang dunia per-kerisan akan selalu mencari komunitasnya untuk melakukan negosiasi guna menjaga kelestarian (kesakralan) terhadap benda keris agar tetap memiliki karisma budaya yang tinggi. Ideologi seperti itu yang menimbulkan genre pada keris tertentu, sehingga mampu menciptakan kelas kelas sosial dan budaya di komunitasnya. Pada saat yang sama genre pada motif keris yang di ukur dari keantikan dan relasi dengan kekuasaan di zamannya mampu menentukan sebuah nilai ekonomi. Tentu nilai ekonomi pada genre keris tidak datang dengan sendirinya tanpa komodifikasi media. Oleh sebab itu peran media dalam konteks ini menjadi sangat strategis dan penting untuk melanggengkan ideologi tentang mithos yang terdapat pada masing masing keris buatan tahun yang berbeda. Media bukan berarti media massa (Tv, Radio, Surat Kabar dan Internet), tetapi ruang publik bisa di katagorikan sebagai media yang di maksud. Secara realitas berbagai produk keris akan muncul di ruang publik (media), tetapi menurut Schlesinger (1978) media bukanlah refleksi atas realitas, sebagamana meletakkan secara ber- sama sama, tetapi sebuah representasi selektif yang di konstruksi untuk membangun realitas.7
Realitas yang dikonstruksi dalam hal ini bisa berupa mithos yang di representasikan keris dengan nilai ekonomi yang di konstruksinya. Mediasi itu bisa berupa ruang pamer yang sering di selenggarakan oleh jaringan kolektor keris untuk melakukan negosiasi perdagangan keris di berbagai daerah tertentu. Pada ruang public i tulah terjadi interaksi antara prodosen dan konsumen berbagai model dan karakteristik keris dari berbagai daerah, yang masing masing membawa nilai kelas sosial dan artefak budaya komunitasnya untuk di pertukarkan dengan nilai ekonomi di antara mereka. Dalam konteks tersebut ada pertanyaan yang paling mendasar seberapa besarkah penghargaan yang diberikan kepada kreator budaya, dalam hal ini para pencipta seni keris. Jika nilai ekonomi yang diberikan kepada hasil seni keris itu mencapai puncak tertinggi, apakah penghargaan yang sama juga di berlakukan kepada sang pencipta seni budaya keris? Ataukah para pencipta seni budaya keris hanya di ciptakan sebagai obyek kekuasan hegemoni pemilik modal pembisnis keris. Yang terjadi penghargaan nilai estetika kepada kreator seni budaya keris lebih rendah jika dibanding dengan penghargaan terhadap nilai ekonomi yang di berikan kepda pembisnis keris. Kesenjangan semacam inilah yang sering kurang mendapatkan perhatian dari semua pihak termasuk penguasa, sehingga cepat atau lambat akan terjadi degradasi budaya,yang termarginalisasi oleh krkustsn kapitalisme di negeri yang berbudaya adhiluhung ini. Lantas kapan keseimbangan penghargaan semacam itu akan di berikan secara berimbang seperti negara yang sudah maju…?

Penutup
Keris bukanlah sekedar jenis senjata tikam untuk mempertahankan diri bagi prajurit atas serangan musuh di zaman kerajaan masa lampau, tetapi benda yang lebih di kenal dengan “tosan aji” itu merupakan symbol kekuasaan yang dianggap mengandung mithos tertentu yang oleh sebagian dari mereka di jadikan sebuah ideologi. Kuatnya ideologi dan pengakuan mithos terhadap keris mengakibatkan ia mampu membuat sekat sekat sosial dan budaya pada masyarakat komunitasnya. Atas genre yang dibuatnya eksistensi keris yang di komudikasi media menjadi semakin kuat. Bahkan keris di representasikan mampu menggeser nilai budaya yang di anggap sdhiluhung itu menjadi nilai ekonomi bagi komunitas masyarakat yang keberadaannya selalu dipertahankan. Karena keris memiliki nilai mithos baik secara kultural dan histories itulah ia mampu bertahan dan eksis menjadi komuditas ekonomi di tengah masyarakat komunitasnya. Persoalannya akankah produksi keris konvensional di era sekarang ini akan merusak nilai estetika dan nilai ekonomik perdagangan keris ?, ternyata tidak. Logikanya masing masing produk yang berdasarkan genre, dan tahun pembuatannya masing masing telah memiliki pangsa pasar yang konstan.
Demikian produk keris secara konvensional yang hanya di pruntukkan sebagai barang souvenir.Artinya meski keris yang memiliki nilai mithos tinggi dan keris souvenir saling bertemu di pasar konvensional di jamin tidak akan terjadi perusakan pangsa pasar, maupun nilai nilai cultural yang terkandung di dalamnya. Karena masing masing jenis keris mempunyai watak dan karakteristik yang berbeda beda, sesuai dengan tahun pembuatannya, dan untuk apa sebuah keris itu di buatnya ketika itu.

Rujukan/bacaan:
Arifin,MT,Keris Jawa, Bilah Latar Sejarah Hingga Pasar,Penerbit, Hajied
Pustaka,Jakarta, 2004

Budiyono,Filsafat Hidup Orang Jawa Dalam Simbolisme Budaya Jawa,
Penerbit,Hanandita, Yogyakarta, 1987

Barker Chris,Cultural Studies,Terjemahan Nurhadi, Penerbit Kreasi Wacana
Yogyakarta, 2004

Erwin A Keris Pusaka Minangkabau, Suatu kajian fungsi unsure visual dan
makna (studi kasus di Lubuk Tanah Datar Agam Lima puluh kota
dan Padang Propinsi Sumatra Barat, Tesis Program S2 Penerbit,
Fakultas Seni Rupa Jurusan Design ITB Bandung tahun 2000

Haryono Arubinang dkk, Hasil Penelitian Terhadap Keris Kuno, Badan
Atom Nasional, Yogyakarta, Harian kompas Edisi 30 Juni 2005.

Sachari, Agus, Diskonstruksi Nilai Estetik Pada Design Furnitur
Tradisional Masyarakat Jawa Modern, Proyek Penelitian Toyota
Foundention, Bandung 1990

Wiryodirdjo, Budihardjo, Tesis Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi
Bandung tahun 1993

Tidak ada komentar: