Senin, 14 Februari 2011

WAYANG ANIMASI

RINGKASAN HASIL STUDI
PENGGUNAAN TEKNOLOGI DIGITAL PRODUKSI “SENI PERTUNJUKAN WAYANG KULIT" UNTUK MENINGKATKAN APRESIASI DAN INDUSTRI KREATIF DI MASYARAKAT

Seni pertunjukan wayang kulit sebagai industry budaya di asumsikan mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai industry kreatif berbasis teknologi digital.Hal ini disamping untuk memberikan peluang kreatif kepada masyarakat, juga berpotensi meningkatkan jangkauan dan apresiasi masyarakat. Karena saat ini terdapat semacam paradok di masyarakat, bahwa wayang kulit hanya digemari kalangan tua. Generasi muda lebih menyukai kesenian musik, barat. Generasi muda tidak suka wayang kulit karena terkendala bahasanya. Bahasa pengantar seni wayang kulit bahasa ”jawa kawi” dengan sastra tinggi Maka tidak semua orang paham terhadap bahasa pewayangan ini. Sementara seni wayang kulit syarat “pakem pedalangan” yang masih dipatuhi oleh sebagian para dalang wayang kulit, yang harus dipenuhi. Konsep seni pedalangan yang bersifat formal inilah menyebabkan terjadinya kesenjangan apresiasi terhadap seni pertunjukan wayang kulit di masyarakat.
Pada hal seni pertunjukan wayang kulit itu sendiri memiliki potensi ekonomi untuk bisa dikembangkan menjadi industri budaya yang lebih kreatif dan inovatif di masyarakat. Misalnya ketika seni wayang kulit dilihat dari perspektif budaya popular, ia lebih memiliki peluang untuk dikembangkan menjadi sebuah industri kreatif, dari pada ketika seni wayang kulit dilihat dari perspektif budaya tradisi. Konsep dasar agar seni pertunjukan wayang kulit sebagai media tradisional bisa tetap bertahan dan laku dijual, maka perlu diproduksi sebagai industri budaya berbasis teknologi digital. Dengan ”digitalisasi, seni pertunjukan wayang kulit akan berkembang menjadi industri kreatif yang lebih mudah dikonsumsi oleh siapapun yang berminat. Tinggal bagaimana para kreator seni dan teknologi mampu berkolaborasi agar seni pertunjukan wayang kulit bisa dikonsumsi masyarakat secara Nasional maupun Internasional Disamping itu juga sekaligus untuk meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap budaya seni wayang kulit itu sendiri.

Dari berbagai kesenjangan tersebut dilakukan kajian secara mendasar, untuk mencari titik temu atas dampak pergeseran pola representasi elemen-lemen seni wayang kulit tradisi kedalam seni wayang kulit produksi teknologi digital. Disamping itu juga mengidentivikasi tentang kesiapan pelaku seni wayang kulit (dalang, pengrawit, sinden, pelawak, pemusik dan lainnya) ketika seni wayang kulit di produksi dengan secara mekanis dengan teknologi digital, dan masuk ruang kaca atau ruang maya. Dampak di masyarakat dilihat dari apresiasi dalam berbagai ragam perspektif, (sosial, budaya, ekonomi, teknologi, komunikasi, sosiologi, pendidikan, dan konsumen). Berbagai permasalahan tersebut dieksplorasi dalam sebuah penelitian untuk mendapatkan pemaknaan dan sekaligus pengkayaan.

Tujuan : Di lihat dari tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah,: Pertama melakukan identivikasi terhadap pola-pola permasalahan yang berisi representasi elemen-elemen kreativitas seni wayang kulit tradisi sebagai seni pertunjukan panggung terbuka di masyarakat, menjadi seni wayang kulit kemasan produksi teknologi digital, baik yang di publikasikan di madia massa, maupun media maya. Kedua melakukan identivikasi seni wayang kulit yang bisa diperluas jangkauannya melalui penggunaan teknologi digital menjadi produk pengembangan industri kreatif yang mempunyai nilai tambah di masyarakat, dilihat dari berbagai ragam perspektif latar belakang ilmu pengetahuan. Manfaat : Sedangkan manfaat hasil kajian penelitian ini adalah untuk men-support dan memberikan rekomendasi terhadap produksi “seni pertunjukan wayang kulit tradisi menjadi sebuah industri kreatif yang di produksi dalam kemasan digital” agar bisa diterima pasar (konsumen tertentu). Di samping itu juga untuk meningkatkan apresiasi masyarakat (kalangan generasi muda) terhadap budaya wayang kulit yang cenderung semakin menurun. Manfaat secara akademis : untuk pengayaan ilmu pengetahuan dalam proses evolusi dan transformasi industri budaya tradisi ke-budaya teknologi digital (budaya virtual).

Metode penelitian yang dipilih deskriptif, dengan pendekatan kualitatif. Teknik Pengumpulan Data : Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan teknik, observasi berjarak, Focus Group Discussion (FGD), yang digunakan sebagai data primer, secara kualitatif. Adapun kelemahan kajian penelitian ini adalah baru bisa mengidentifikasi suatu gejala,sosial,budaya dan ekonomi dari ekses yang terjadi ketika “seni pertunjukan wayang kulit” diproduksi dengan menggunakan teknologi digital,dan di tayangkan di media televisi, maupun media maya.Tetapi belum bisa menjangkau pada teknik gerak, ketika “fisik wayang kulit” diproses secara mekanik untuk menghasilkan kualitas gambar pada produk teknologi digital tersebut.

Kesimpulan
(1). Dilihat dari aspek paradigmatik konsep dasar seni wayang kulit yang di produksi secara mekanik dengan menggunakan teknologi digital sudah seharusnya sejak dini meninggalkan paradigma budaya tradisi yang dibingkai dengan atribut budaya tinggi. Dalam konteks budaya masyarakat jawa di kenal dengan budaya adhiluhung. Produksi seni wayang kulit digital berangkat dari budaya kontemporer (popular cultural), dimana pihak prodosen di berikan kebebasan untuk berkreasi sesuai dengan kemampuannya dengan alat bantu teknologi digital. Dalam konteks penelitian ini, teknologi dipahami sebagai suatu alat bantu yang berfungsi mempermudah pekerjaan manusia. Dengan demikian mendigitalkan “seni wayang kulit” bukan dalam konteks untuk mematikan budaya aslinya, atau elemen budaya pendukung lainnya. Tetapi kehadirannya agar terdapat disharmonisasi diantara kedua budaya tersebut untuk memperluas jangkauan, dan apresiasi masyarakat terhadap seni budaya wayang kulit itu sendiri. Artinya seni wayang kulit tradisional biarlah tetap berjalan sebagaimana mestinya, dan seni wayang kulit produksi digital juga tetap di produksi dengan baik dan berkualitas, agar laku di pasaran.
(2). Di lihat dari aspek produksi pada “seni wayang kulit” digital masih di perlukan parameter tertentu. Parameter dalam produksi seni wayang kulit digital itu menyangkut penguasaan pengetahuan dari aspek seni, dan teknologi. Dari aspek seni, bahwa untuk memproduksi “seni wayang kulit” dengan teknologi digital perlunya perhatian ekstra terhadap alur ceritera dalam lakon “seni wayang kulit” produksi digital yang harus tetap kontekstual dengan budaya aslinya. Dalam hal ini seni kreator dalam wayang kulit (dalang) harus paham tentang teknologi digital. Begitu sebaliknya para teknisi yang menangani proses produksi seni wayang kulit digital harus paham tentang seni pertunjukan wayang kulit. Kolaborasi kedua pengetahuan tersebut agar dalam mengedit ceritera dalam lakon seni wayang kulit yang diproduksi dengan teknologi digital tidak kehilangan konteksnya, dan konsumen tetap bisa menikmati seni wayang kulit produksi digital yang identik dengan aslinya. Artinya produk seni wayang kulit digital tidak sampai kehilangan akar budayanya.
(3). Di lihat dari aspek pemasaran maka produksi seni wayang kulit digital harus senantiasa mempertimbangkan segmen pasar. Artinya proses produksi seni wayang kulit digital sebagai industry budaya di perlukan berbagai pertimbangan yang sangat spesifik. Misalnya untuk memenuhi selera konsumen di pasar, perlu adanya rekonstruksi secara holistic dan mmbudaya antara alur ceritera dalam lakon “seni wayang kulit” yang diproduksi secara digital dengan konteks realitas sosial yang berkembang di masyarakat saat ini. Hal ini untuk menghindari kejenuhan konsumen ketika mengkonsumsi produk seni wayang kulit digital. Karena yang di produksi dan di pasarkan benda seni maka kreativitas produksi sangat menentukan apakah produk ”seni wayang kulit” digital nantinya akan laku di pasaran, atau justru sebaliknya. Pemenggalan (editing) alur ceritera dalam lakon wayang kulit yang di produksi dengan teknologi digital dengan alasan efektifitas dan efisiensi jika tidak di pertimbangkan dan hati-hati justru menjadi bumerang pada produksi wayang kulit digital tersebut ketika di pasarkan ke-masyarakat. Artinya produk seni wayang kulit digital menyangkut alur ceritera yang utuh dalam lakon tertentu, bukan berupa potongan ceritera, atau gambar wayang kulit dalam berbagai situs internet yang bermunculan selama ini.
(4). Dilihat dari aspek sumber daya manusia (SDM), baik dalam proses manajemen, produksi, distribusi, dan pemasaran diperlukan tenaga ahli yang professional dibidangnya, baik seni budaya, teknologi dan marketing. Mereka perlu ada pemahaman yang sama bahwa yang di produksi, dan dijual adalah industry budaya yang telah mengakar begitu dalam di masyarakat. Pemahaman karakter produk ini menjadi penting karena masyarakat sebagai konsumennya telah memiliki pengetahuan yang mendasar tentang budaya wayang kulit, sebelum ia di produksi dalam teknologi digital. Kesalahan memilih jenis produk, dan segmen akan membawa kerugian besar dalam industry kreatif berbasis budaya tersebut.

Rekomendasi
Berangkat dari kesimpulan hasil kajian penelitian yang telah dilaksanakan ini dapat di rekomendasikan hal-hal sebagai berukut :
Untuk mengembangkan industry kreatif dalam produk “seni wayang kulit” yang menggunakan teknologi digital, prodosen disarankan harus berani bersikap untuk mininggalkan belenggu budaya tradisi pada seni wayang kulit. Karena kemanjuan teknologi (digital) berfungsi untuk membantu, meng-efektifkan dan mempermudah pekerjaan manusia. Memproduksi seni wayang kulit secara mekanik dengan teknologi digital bukan dalam konteks untuk mematikan budaya “seni wayang kulit tradisional”, maupun elemen budaya pendukungnya, tetapi justru dapat memperluas jangkauan dan memperkuat apresiasi masyarakat, terhadap budaya seni wayang kulit itu sendiri.
Untuk memproduksi seni wayang kulit dengan teknologi digital prodosen perlu memperhatikan karakteristik para tokoh dalam ceritera seni wayang kulit yang akan di produksi. Dalam pencermatan itu di perlukan parameter tertentu, baik dilihat dari aspek seni budaya, maupun teknologi. Dari aspek seni budaya bahwa “alur ceritera dalam lakon seni wayang kulit” yang diproduksi secara digital tetap dibuat secara konsisten, dan tidak melenceng jauh dari akar budayanya. Dari aspek teknologi pengeditan ceritera dengan tujuan (ekonomis, efektivitas dan efesiensi) jangan sampai mematikan kreasi seni yang terdapat pada budaya wayang kulit. Para creator dalam proses produksi hendaknya di awaki orang-orang yang memiliki kreasi tinggi (SDM yang profesional) yakni mereka yang menguasai teknologi digital, sekaligus yang memahami kreasi budaya tentang seni pertunjukan wayang kulit

Di dalam memproduksi seni wayang kulit sebagai sebuah industry budaya yang di pasarkan kepada masyarakat konsumen di rekomendasikan untuk mempertimbangkan hal-hal yang bersifat khusus tentang kualitas produk. Hal yang dianggap khusu dalam memproduksi seni wayang kulit dengan teknologi digital,menyangkut aspek seni tutur (bahasa lisan), seni gerak, dan konsistensi alur ceritera dalam sebuah lakon tertentu yang sedang di produksi. Hal ini penting untuk tujuan (promosi dan penjualan produk) di pasar. Meski konsumen hanya dapat melihat “seni wayang kulit” dalam bentuk symbol-simbol tertentu dalam teknologi digital, tetapi konsumen mendapatkan sebuah pemahaman kreasi budaya seni wayang kulit yang tidak jauh berbeda dengan budaya aslinya. Karena dalam sebuah produksi apapun kepuasan konsumen selalu mendapat tempat yang paling utama.


Tim Peneliti :
S. Arifianto, SE,MA. Drs.Sumarsono,Msi. Drs. Parwoko. Drs. Djoko Waluyo, Dr.Kanti Waluyo dan Drs.Heri Kristanto.

JANGAN TERKECOH PEMBERITAAN MEDIA

JANGAN TERKECOH PEMBERITAAN MEDIA
Dalam pekan ini Pemerintah disibukkan mengkonfirmasi”Berita Bohong” yang di konstruksi media massa, baik media elektronik maupun media cetak sesungguhnya berbeda dengan peristiwa sebenarnya. Mengapa bisa terjadi demikian?, sebab media tidak semata-mata sebagai saluran pesan yang pasif tetapi media pun aktif melakukan konstruksi terhadap peristiwa. Melalui berbagai instrumen yang dimilikinya media berperan serta membentuk realitas yang tersaji dalam pemberitaan. Kontruksi terhadap realitas dapat dipahami sebagai upaya “menceritakan” (konseptualisasi) sebuah peristiwa, keadaan, benda atu apapun. Wartawan ketika melihat suatu realitas ia menggunakan pandangan tertentu sehingga realitas yang hadir merupakan realitas yang subjektif. Berbeda dengan dengan pandangan yang mengandaikan terdapat realitas “berada diluar sana” yang objektif. Realitas (fakta) bukanlah sesuatu yang terberi (reality is not given) melainkan ada dalam benak kita ungkap James W. Carey. Fakta atau realitas itu diproduksi dan dikonstruksi dengan menggunakan perspektif tertentu yang akan dijadikan bahan berita oleh wartawan. Maka tak mengherankan jika media memberitakan berbeda sebuah peristiwa yang sama karena masing-masing media memiliki pemahaman dan pemaknaan sendiri.
Dalam pandangan Peter D. Moss berita di media massa merupakan konstruksi kultural, dalam melihat realitas sosial media menggunakan kerangka tertentu untuk memahaminya. Media melakukan seleksi atas realitas, mana realitas yang akan diambil dan realitas mana yang ditinggalkan. Juga media kerap memilih nara sumber mana yang akan diwawancarai dan nara sumber mana yang tidak diwawancarai. Melalui narasinya media sering menawarkan definisi-definisi tertentu mengenai kehidupan manusia. Mana yang baik dan mana yang buruk, siapa pahlawan dan siapa penjahat, apa yang layak dan apa yang tidak layak untuk dilakukan seseorang. Dalam ungkapan Dennis McQuail, media massa merupakan filter yang menyaring sebagaian pengalaman dan menyoroti pengalaman lainnya dan sekaligus kendala yang mengahalangi kebenaran.
Dalam kegiatannya melaporkan peristiwa yang terjadi, pada dasarnya media menafsirkan dan merangkai kembali kepingan-kepingan fakta dari realitas yang begitu kompleks sehingga membentuk sebuah kisah yang bermakna dan dapat dipahami oleh khalayak. Menurut Eriyanto (20006) ada tiga tingkatan bagaiamana media membentuk realitas, pertama media membingkai peristiwa dalam bingkai tertentu. Kedua, media memberikan simbol-simbol tertentu pada peristiwa dan aktor yang terlibat dalam berita. Ketiga, media juga menentukan apakah peristiwa ditempatkan sebagai hal yang penting atau tidak. Tidak berlebihan jika Tony Bennet(1997) menyebut media sebagai agen konstruksi sosial, bukankah demikian? (SA).

MITHOS KERIS & KOMUNIKASI MARKETING

MITHOS KERIS DAN KOMUNIKASI
MARKETING

S. Arifianto

Pengantar
Keris di zamannya selain berfungsi sebagai senjata tikam,juga sekaligus dijadikan simbol (piayandel) pusaka kebesaran kerajaan.Kerajaan akan kehilangan makna kepercayaan rakyatnya jika tidak mempunyai ”keris pusaka” kerajaan yang konon bisa diandalkan kesaktiannya. Begitu sebaliknya kerajaan yang mempunyai ”keris pusaka” andalan pasti dihormati dan disegani kerajaan kerajaan lainnya. Bahkan citranya cenderung meningkat, dan menjadi ”panutan” bagi kerajaan taklukan disekitarnya. Jenis pusaka yang lazim dimiliki kerajaan tempo dulu adalah ”keris atau tombak” pusaka. Keris yang biasanya di simbolkan menjadi pusaka kerajaan adalah keris-keris bertuah yang dianggap mempunyai kekuatan magis, atau kesaktian tertentu. Sekitar abad ke VIII di Jawa hampir semua kerajaan besar dan kecil memiliki keris pusaka tersebut. Mithos keris tersohor yang pernah diangkat dalam sejarah Indonesia misalnya ”Keris Mpu Gandring”.dari Kerajaan Singosari di Malang, Jawa Timur.
Keris Mpu Gandring merupakan pusaka andalan kerajaan”Singosari”di daerah Malang Jawa Timur. Keris tersebut menjadi sangat terkenal karena kutukan pembuatnya yakni seorang sakti Mpu Gandring. Singkat ceritera Ken Arok seorang penyamun memesan keris kepada Mpu Gandring dengan waktu satu malam saja. Pesanan keris itu oleh Mpu Gandring disanggupinya. Kemudian dibuatlah keris dengan cara hanya dipijit-pijit sambil memasukkan mantra saktinya. Tetapi sayang ketika mau diambil pemesannya keris itu belum jadi secara sempurna.Ternyata kerangkanya belum jadi, maka marahlah ”Ken Arok” karena Mpu Gandring tidak menepati janjinya. Akhirnya ditusuklah Mpu Gandring dengan keris buatannya sendiri itu. Tetapi sebelum ajalnya Mpu Gandring berpesan kepada Ken Arok jika kelak 7 orang anak turunnya akan mati tertikam keris buatannya itu, dan hal ini terbukti 7 keturunan Ken Arok akhirnya terbunuh oleh keris sakti Mpu Gandring tsb

Dalam ceritera pewayangan banyak tokoh tertentu memiliki keris sakti sebagai pusaka andalannya. Misalnya Arjuna memiliki keris pulanggeni, sarutama, Pendeta Durna memiliki keris cunda manik,Prabu Baladewa memiliki nanggala, Prabu Krisna memiliki sanjata cakra dsb. Tradisi kepemilikan keris pusaka seperti itu bisa kita dapatkan pada sebagian komunitas masyarakat jawa. Mereka berkeyakinan dengan memiliki keris yang baik (bertuah) akan terjaga keselamatan dan kelancaran rezekinya. Sampai dengan era digital ini sebagian komunitas masyarakat Jawa masih ada yang menganggap keris pusaka memiliki makna tertentu. Interpretasi makna simbolik ”keris sebagai benda pusaka” memang banyak variannya. Misalnya seseorang yang membawa atau memiliki keris kepercayaan dirinya meningkat, (kesaktian, kelancaran bisnis, pemikat wanita , tampilan diri) maka keris pusaka itu dikoleksinya (M.T.Arifin,2004 :1-2). Benda keris pusaka itu dikoleksi semata-mata hanya untuk memenuhi kepen tingan tersebut. Sedangkan kepemilikannya di masyarakat terbatas pada strata sosial tertentu. Diantaranya komunitas bangsawan (kerabat keraton), pengusaha dan kolektor. Kebanyakan keris di miliki untuk simbol status sosial, dimana antara orang yang satu dengan lainnya bervariatif. Karena secara filosofis ”keris pusaka” di buat harus sehati (sajiwo) dengan pemiliknya. Maka ada ”keris pusaka” yang cocok untuk dimiliki seseorang, belum tentu cocok dan bisa di miliki oleh orang lain. Kini fenomena tentang keris telah pergeser baik secara sosial, ekonomi dan budaya. Misalnya orang memburu keris karena motif kepentingan ekonomi (bisnis). Artinya keris yang baik dalam ukuran sekarang adalah yang mempunyai nilai ekonomi (harga) tinggi, sedangkan nilai lainnya hanyalah sebagai pendukung semata. Keris pusaka yang dianggap baik banyak dimiliki oleh para pengusaha dari berbagai etnis. Meski demikian jenis ”keris pusaka” sampai saat ini masih saja menjadi incaran orang-orang tertentu baik kolektor, pengusaha, maupun pembisnis keris pusaka itu sendiri. Dengan latar seperti itu menjadikan pengetahuan interpretasi masyarakat terhadap ”keris pusaka” semakin bervaritif. Apakah ”keris pusaka” dianggap sebagai artefak budaya, simbol sosial, motif ekonomi atau benda seni. Di tataran Kenegaraan ”benda keris” sering diberikan sebagai suvenir kepada tamu negara, sehingga keris diasumsikan memiliki makna budaya bangsa. Bagi konglomerasi tertentu dan komunitas lingkungan keraton ”keris pusaka” mempunyai makna ideologis.Ia merasa aman dan percaya diri (confidence) jika membawa keris pusaka tertentu. Tetapi bagi kolektor dan komunitas pembisnis, ”benda keris” lebih dilihat sebagai motif ekonomi. Disparitas tersebut mengakibatkan cara pandang masyarakat terhadap ”benda keris” beragam. Misalnya, ”komunitas masyarakat strata menengah dan atas di perkotaan yang bergerak di bidang praksis, ekonomi, sosial, dan pemerintahan mempunyai relasi dengan patron tradisi pusat kebudayaan jawa. Mereka biasanya memahami ”keris pusaka” dari lingkungan terdekatnya. Mereka memiliki ”keris pusaka” karena alasan tradisi pewaris leluhur, atau keperluan praksis. Jaringan kelompok tersebut teridentifikasi dari banyaknya orang-orang yang menjadi kolektor ”keris pusaka”1. Mereka tidak terbatas dikalangan masyarakat secara umum, tetapi juga pejabat tinggi pemerintahan/negara dan kalangan pengusaha. Keris pusaka yang lebih dikenal dengan sebutan khasnya “tosanaji” itu mereka anggap sebagai barang antik (kuno), karya seni dan daya spiritual tertentu. Nilai seni pada ”keris pusaka” terdapat pada ukiran serta lukisan logam yang terdapat pada bilah keris (pamor). Misalnya ukiran dan bahan yang dipakai pada pegangan keris, jenis logam mulia yang ditempel pada sarung (warangka), serta tahun pembuatannya. Meski ”keris pusaka” teksturnya jelek tetapi jika pernah dimiliki oleh punggawa kerajaan seperti Patih Gadjah Mada di zaman kerajaan Majapahit harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Keris kuno semacam itu menjadi buruan para kolektor benda kuno karena memiliki nilai jual tinggi dan sangat langka di pasaran. Mahal tidaknya harga ”keris pusaka” sangat relatif tergantung dari kecocokan atau keyakinan calon pembeli. Tidak ada standard harga yang baku seperti harga jual produk industri korporasi. Keris pusaka dianggap baik jika bisa menyatu dengan jiwa pemiliknya. Ukuran menyatu atau tidaknya ”keris pusaka” bagi seseorang ditentukan untuk kepentingan apa keris pusaka itu dimiliki. Misalnya ”keris pusaka” yang cocok untuk pertanian, bisnis, jabatan tertentu, perang, keselamatan diri dan lainnya. Kreteria seperti itu hanya bisa ditentukan oleh Mpu (pembuat keris) atau orang yang memiliki keahlian tentang ”keris”. Jaringan kolektor ”keris pusaka” kuno itu terdapat di (Nganjuk, Blitar, Pacitan, Surakarta, Magelang, Bantul, Yogyakarta, Cirebon, Tuban, Bali, Lombok, Padang, Aceh dan lainnya). Kota yang terdapat jaringan perdagangan ”keris pusaka” itu tergabung dalam asosiasi kolektor benda benda kuno. Dalam setiap even tertentu mereka mengadakan pameran dan penjualan koleksi keris pusaka tersebut. Tempat yang sering di gunakan untuk ruang pameran kolektor keris kuno misalnya Balai Pemuda Surabaya, Gedung Kebudayaan Trowulan, Mojokerto, Gedung Wanita Yogyakarta. Di samping itu mereka juga telah menggunakan teknologi internet untuk memperluas jaringan pemasarannya secara global. Berangkat dari latar belakang sejarah tersebut, artikel ini lebih di-fokuskan bahasannya pada, estetika dan mithos keris, dan keris terkomodifikasi sebagai industri budaya berbasis ekonomi.

Estetika Dalam Keris
Sampai abad informasi global ini ”keris pusaka” tertentu oleh sebagian pihak masih dianggap menyimpan nilai-nilai spiritual yang bersifat simbolik tetapi belum banyak terungkap di permukaan. Maka tidak jarang perlakuan terhadapnya di bedakan dengan benda pusaka lain sejenisnya. Contohnya pada setiap tanggal 1 Syuro (tahun saka ) dalam penanggalan jawa ”keris pusaka” dimandikan air kembang seperti layaknya manusia. Etika maupun estetika pemeliharaan ”keris pusaka” seperti itu masih di jalankan di abad modern ini. Menurut Wiryodirjo (1993) terdapat tiga perbedaan pandangan terhadap ”keris pusaka” dilihat dari sisi estetika, diantaranya : (1). ”keris pusaka” dianggap sebagai hasil kebudayaan, atau sebuah karya seni. (2).”keris pusaka” dianggap sebagai senjata pusaka dikarenakan mempunyai daya gaib, atau tuah yang dimilikinya. (3). ”keris pusaka” di anggap sebagai pusaka dengan bervariasi pemaknaannya dan dinyatakan dengan istilah-istilah yang hanya dikenali oleh kalangan tertentu2. Kajian terhadap ”keris pusaka” dalam konteks yang pertama yakni keris dipandang sebagai ”benda seni” masih diperlukan eksplorasi lebih mendalam lagi. Hal ini untuk mengungkap pandangan istetika para ahli dibidang keris serta wujud keris yang ada dikomunitas masyarakat. Disamping itu eksplorasi juga akan bermanfaat untuk mendapatkan data baru. Data itu bisa berupa historiscel dari berbagai varian keris secara diakronik. Varian diakronik berupa pandangan para narasumber sebagai subyek maupun obyek kajian yang bersangkutan. Pandangan itu dapat mempermudah konsep pemaknaan dalam katagori identivikasi terhadap berbagai genre keris. Ketika ”keris pusaka” dianggap mempunyai makna tertentu, maka kajian yang menggunakan pendekatan strukturalis menjadi sangat penting. Kajian ini untuk mengetahui dan mengungkap makna mithos dibalik fakta realitas yang sebenarnya terjadi pada ”keris pusaka” ini. Sebab bagaimanapun juga sebagian diantara ”keris pusaka”tertentu tidak sekedar diyakini sebagai barang seni yang mempunyai nilai jual tinggi, tetapi juga masih ada yang dianggap sakral, karena mempunyai kekuatan magis yang dimithoskan oleh komunitas masyarakat tertentu.
Maka pendekatan teori tertentu diharapkan bisa mengungkap berbagai makna pada ”keris pusaka”, baik sebagai benda pusaka maupun sebagai benda seni. Dengan begitu akan lebih mempermudah untuk memberikan pemaknaan pada masing masing tanda yang terdapat pada keris. Hal ini untuk mengungkap nilai estetika yang terdapat pada karakter ”keris pusaka”. Pada dasarnya ”keris pusaka” merupakan perwujudan konsep estitika. Dimana dalam istilah jawa disebut dengan kewangunan. Artinya antara Mpu dan pengguna keris yang berada dibawah naungan kosmologi pengetahuan dan pemahaman tentang keris berada pada komunitas yang sama. Dalam konteks budya jawa disebut ”kawruh paduwungan” yang sejati (punya pengetahuan tentang keris yang senyatanya). Jadi konsep estetika dalam keris yang dikenal dengan kewangunan itu tidak lain adalah estetika yang di-integrasikan secara parsial maupun integral dengan berbagai orientasi pada tujuan kepemilikan keris. Karena ada diantara pemilik yang menganggap bahwa ”keris pusaka” sebagai ajimat (piandel). Artinya dengan ”keris pusaka” di-miliknya ia menjadi kebal. Bahkan diantara mereka ada yang menggunakan ”keris pusaka” sebagai alat mediasi untuk membantu penyembuhan penyakit, mencari barang yang hilang dan sejenisnya. Konsep estetika atau kewangunan (jawa) seperti itu selanjutnya oleh Mpu (pembuat keris) diwujudkan dalam bentuk reka-rupa keris. Hasilnya berupa bentuk keris yang tersusun dari berbagai unsur kerupaannya seperti, ”dapur, pamor, guwayaning tosan, condong leleh dan lainnya yang masing-masing mempunyai varian makna. Dalam banyak hal pembuat keris (Mpu) yang paling tahu dan menentukan nilai estetik sebilah keris. Ketika ia mendapat pesanan keris sudah harus berfikir untuk tujuan apa keris dibuat. Kemudian setelah semua informasi didapatkan dari pemesan berulah dibuatnya. Mereka inilah sebenarnya yang paham tentang dunia keris, bukan pengguna atau pemilik keris.
Pengguna dan pemilik keris adalah orang yang sudah kesekian kali mendapat pengetahuan tentang keris dari seorang pembuat keris. Namun demikian baik pengguna maupun pemilik keris masih lebih mengetahui nilai estetik dalam varian keris ketimbang orang awam seperti kita ini. Estetika dalam keris pusaka, sangat erat kaitannya dengan estetika jawa. Dimana estetika itu merupakan bagian dari kebudayaan Timur. Estetika jawa dapat dilihat dari berbagai bentuk karya seni, baik seni bangunan, seni sastra, dan seni keris, yang umumnya mengandung makna tertentu bagi komunitas masyarakat jawa. Kebudayaan jawa, itu sendiri menurut Budiono (1987)3 memiliki ciri estetika khusus,: (1).Bersifat kontemplatif trasidental, yakni masyarakat jawa ketika mengungkapkan rasa keindahan selalu mengkaitkannya dengan perenungan (kontemplasi) baik kecintaannya kepada Tuhan, Raja, Negara, penghayatan pada alam dan dunia mistis. Artinya apapun yang diungkapkan selalu mengandung makna, dan tindakannya banyak dipengaruhi oleh berbagai hal (lingkungannya). Misalnya pengaruh dogma agama, adat, kebiasaan, teknik, pakem dan sejenisnya. (2). Bersifat simbolik, masyarakat jawa dalam setiap berekspresi selalu mengandung makna simbolistik. Seperti dalam filosofi pedalangan wayang kulit purwa, yang pada dasarnya merupakan rangkuman dari tindakan simbolis terpadu. Misalnya dalam penanggapan pentas pertunjukan wayang kulit untuk nadhar, dengan lakon tertentu dan menampilkan tokoh pewayangan tertentu, merupakan simbolisme falsafah masyarakat jawa. Tindakan simbolis lain pada penabuh gamelan dan sinden harus hadir sebagai pengiring (dengan kostum khas jawa) untuk menghidupkan suasana serta mencerminkan kehidupan manusia. Begitu dalang duduk ditempat, dan ketika gending lagu pantaloon dibunyikan berarti ruh atau jiwa manusia yang akan menghidupi wayang telah memasuki zat kehidupan,4 dan tidak lupa Ki Dalang menggunakan “keris pusaka” sebagai simbulisme identitas budaya jawa. (3). Bersifat Filosofis, masyarakat jawa dalam segala tindakannya selalu didasarkan atas sikap tertentu yang dijabarkan dalam berbagai ungkapan hidup.
Ungkapan itu misalnya, “ojo dumeh” artinya jangan sok, ”ngono yo ngono ning ajo ngono” begitu ya begitu tapi jangan begitu, “mamayu hayuning bawono” artinya memelihara perdamaian dunia dan lainnya. Berbagai ungkapan filosofis seperti itu pada dasarnya merupakan sebuah sikap masyarakat jawa atau estetika masyarakat jawa yang dikenal adhiluhung itu. Hampir semua estetika jawa tersebut tercermin dalam pusaka tosan aji atau “keris pusaka” yang umumnya menjadi “piandel”(penjaga diri) bagi mereka yang mengagumi “seni keris” baik sebagai koleksi, bisnis, ajimat atau benda seni lainnya. Bagi mereka yang patuh dengan estetika seperti itu dapat dilihat dari penampilan, sikap, cara bertutur dan berperilaku. Mereka akan meresa percaya diri jika mempunyai keris pusaka. Khususnya bagi mereka yang tinggal di lingkungan kraton,(kerabat keratin) bahwa “keris pusaka” menjadi asesoris kelengkapan pakaian pria yang tidak bisa terpisahkan,estetika dan mithos tersebut.


Memahami Mithos Keris Pusaka
Pada bagian lain tulisan ini telah dipaparkan bahwa seni keris erat kaitannya dengan estetika budaya jawa. Maka dari itu memahami mithos keris tidak semudah yang diduga sebelumnya. Untuk memahami mithos keris orang perlu mengenal karakteristik jenis-keris dan filosofinya. Karena masing-masing jenis ”keris pusaka” mempunyai estetika dan varian mithos. Perbedaan mithos pada “keris pusaka” itu tergantung dari untuk apa keris itu di fungsikan oleh pemiliknya. Barangkali itu adalah pertanyaan pertama dari Mpu pembuat keris. Kemudian untuk memahami keris secara fisik perlu pahan tentang beberapa komponen keris. Komponen keris terdiri dari: mata bilah keris, keadaan mata bilah, panjang mata bilah, tabiat, warangka keris dan lainnya (M.T.Arifin,2004:6). Misalnya di Minangkabau ”keris pusaka” merupakan visualisasi, nilai-nilai, norma-norma, sehingga kehadirannya sebagai atribut pakaian adat merupakan tanda yang mengandung makna tertentu.5
Dilihat dari fisiknya masing-masing tabiat dan mata bilah keris mempunyai makna yang berlainan. Perbedaan itulah yang memperkaya mithos keris untuk dikembangkan dalam rangka tujuan apa sebuah keris diproduksi. Pada dasarnya keris menyimpan nilai-nilai mithos sebagai barang antik, karya seni, serta benda pusaka. Berbagai kelengkapan bahan yang digunakan untuk membuat keris sering dianggap memiliki daya spiritual tertentu. Misalnya nilai seni itu bisa berbeda pada ukiran dan lukisan logam (pamor) bilahnya. Pemahaman untuk mengenal karakteristik keris ini menjadi penting sebelum mempelajari tentang mithos keris dan maknanya yang lebih mendasar lagi. Pertanyaan selanjutnya dimana keris itu dibuat, karena daerah merupakan koloni, yang menentukan corak keris. Contohnya: keris Minangkabau, keris Jawa, keris Bali, keris Bugis, keris Aceh dan lainnya. Keris dapat dianggap sebagai identitas budaya lokal (local of identity cultural) dari sebuah bangsa. Pada saat ini pembuat keris tidak hanya didominasi di Jawa tetapi juga terdapat di luar Jawa, seperti Sumatera, Kalimantan, Bali, Madura, Sulawesi dan tempat lainnya. Setahu penulis prodosen keris di jawa antara lain di Blitar, Pacitan, Nganjuk, Pamekasan, Surakarta, Bantul, dan Jogyakarta. Seperti di ungkapakan Hardono (56 th) pembuat keris di ”Banyu Sumurup” Bantul, bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara pembuatan keris di zaman kerajaan, zaman kemerdekaan,dan di era modern sekarang ini (wawancara,16/6/2008). Di zaman kerajaan pembuatan keris erat kaitannya dengan kepentingan negara atau kerajaan. Keris dibuat untuk senjata pusaka kerajaan jika sewaktu-waktu kedatangan musuh dari luar kerajaan (untuk perang). Pada saat itu produksi keris tergantung kondisi kebutuhan perang atau tidak. Jika kerajaan akan melakukan penyerangan untuk menaklukkan kerajaan lainnya dibutuhkan banyak keris sebagai senjata andalan. Guna memenuhi kebutuhan itu Mpu di perintahkan untuk membuat keris sebanyak mungkin. Tetapi jika kerajaan dalam posisi damai produksi keris menjadi berkurang, dan para Mpu pembuat keris banyak yang istirahat.
Pada saat ini pembuatan ”keris pusaka” seperti di Banyu Sumurup Bantul dan Yogyakarta lebih berorientasi pada pengrajin benda seni yang bermotifkan ekonomi,atau benda souvenir. Mereka memproduksi keris bukan untuk senjata tetapi sebagai barang seni yang akan dijual ke pasaran, baik berupa pesanan maupun atas prediksi pengrajin sendiri. Ketika kajian ini dilakukan pengrajin keris banyak yang mengeluh karena pembelian bahan baku (logam besi dan baja sebagai campuran) saat ini sudah mahal. Sedangkan penjualan hasil produksinya terasa sepi dari pemesan. Disamping menjadi prodosen keris souvenir terdapat diantara mereka juga menjadi agen penjualan keris kuno. Jika dalam satu bulan bisa memproduksi 10 keris dan terjual sudah dianggap bagusketika itu. Kondisinya sangat berbeda dengan para kolektor keris kuno. Mereka umumnya mencari keris-keris kuno yang sudah tidak terawat. Kemudian ia lakukan perawatan setelah baik menjualnya dengan harga yang sangat mahal. Bahkan bisa lima kali lipat dari keris produksi pengrajin. Disamping itu ada juga keris yang dikeramatkan, misalnya keris yang ada di Keraton Yogyakarta, dan Surakarta. Keris pusaka sejenis ini sangat terjamin perawatan dan ke-antikannya. Keris tersebut tidak boleh diperdagangkan karena keberadaannya dilindungi undang undang cagar budaya. Kalau ada dipasaran barang tersebut pasti elegal dan diperjual belikan secara sembunyi sembunyi. Pada zaman prakolonial sebagian besar masyarakat keluarga suku Jawa rata-rata mempunyai keris pusaka. Sekarang hanya para kolektor keris dan sebagian kecil keluarga pewaris nenek moyang yang masih menyimpannya. Menurut pengakuan Mulyono Adi (43 th) kolektor keris yang tinggal di Alon-alon utara Jogyakarta (wawancara,17/6/2008) banyak diantara keris antik (kuno) yang dijual kepada orang asing di luar negeri. Mereka biasanya memesan melalui jaringan perantara atau melalui internet. Para kolektor keris di Yogyakarta banyak yang memiliki situs-situs di jaringan internet. Teknologi internet itu mereka gunakan untuk bisnis keris kuno. Jaringan internet itu mereka gunakan untuk menawarkan keris antik pada konsumen di luar negeri. Meski sekarang banyak pembuat keris tetapi diproduksi seperti pandai besi.
Cara membuatnya seperti memproduksi alat pertanian, pertuksngsn dan sejenisnya. Sedangkan Mpu ”keris pusaka” yang masih memegang teguh etika (dunia perkerisan) pembuatan keris secara tradisional adalah mbah Djeno Harumbrodjo (60 th) yang tinggal di Desa Gatak Yogyakarta. Ia masih keturunan ke-15 dari Mpu Sopo dari Mojopahit. Menurut Haryono Arumbinang (2005)6 keris kuno yang dibuat sebelum abad 19 masih menggunakan bahan baku dari bijih logam mentah. Jenis logam itu diambil dari alam/tambang karena ketika itu belum ada pabrik peleburan bijih besi, perak, nekel tembaga dan berbagai jenis logam lainnya. Pada abad itu jenis logam yang dipakai untuk mebuat keris banyak mengandung jenis logam lain. Misalnya bijih besi yang mengandung, titanium,cobalt, perak, timah putih,nekel tembaga dan lainnya. Sementara jenis keris produksi pasca abad XIX hanya menggunakan bahan baku besi baja, dan nekel yang dari pabrikan. Hasil penelitian Haryono Arubinang, dkk (2005) dari BATAN Yogyakarta menunjukkan bahwa, “sebuah keris tangguh Tuban, dapur tilam upih dengan pamor beras wutah ternyata mengandung besi (Fe), arsinikum (warangan) dan titanium (Ti). Hal ini dapat dipastikan keris kuno sebagai logam titanium baru ditemukan sebagai unsur logam mandiri sekitar tahun 1940-an, dimana logam tersebut kekerasannya melebihi baja. Namun lebih ringan dan sekarang banyak digunakan untuk membuat pesawat ruang angkasa, pesawat tempur dan roket. Hanya saja di Indonesia bijih besi semacam itu tidak ada. Menurut Haryono dkk (2005), sebenarnya jenis titanium banyak ditemukan pada batu meteorit dan pasir besi yang terdapat di pantai selatan Pulau Jawa, dan Sulawesi. Dari 14 sampel keris kuno yang diteliti Haryoyo dkk sebanyak 13 keris mengandung titanium, dan hanya satu keris yang mengandung nekel. Berbeda dengan keris yang diproduksi sekarang sudah langsung ketahuan bahan bakunya. Karena bahan baku itu dibeli dari toko besi (besi, nekel dan kuningan bekas). Mereka tidak menggunakan bijih besi mentah yang diambil dari tambang. Maka tidak perlu diteliti dengan peralatan isotop radioaktif seperti keris kuno. Keris diproduksi untuk kepentingan souvenir dan berbagai jenis hadiah lainnya. Menurut Mpu Djeno Harumbrojo (60th) sendiri, membuat keris jenis “Tangguh Sedayu” dibutuhkan 15 kg besi,1,5 kg besi pamor (batu meteorit) dan 0,5 kg baja dengan cara pemanasan, penempaan, dan pelipatan. Untuk menye lesaikannya diperlukan 498 lipatan. Jadi bahan yang jumlahnya sekitar 17 kg itu hanya akan tinggal beberapa ratus gram saja, bahkan bisa habis sama sekali. Jumlah berat itu menyusut menjadi sebilah keris hanya karena dipanasi, dilipat dan ditempa tidak ada yang sengaja dibuang. Membuat model keris klasik yang mempunyai kandungan seni profane maupun spiritual memerlukan waktu sekitar 6 bulan.Prediksi biaya pembuatan yang dikeluarkan sekitar Rp.5.000.000,-/keris.

Pangsa Pasar Keris
Pemasaran keris memang tidak bisa disamakan dengan barang industri lainnya, misalnya untuk kebutuhan lokal nasional dan internasional sudah ada pengepul benda kuno tersebut, mereka umumnya sudah membentuk jaringan sampai ke luar negeri. Di kalangan masyarakat jawa penggunaan keris sudah tidak lagi menjadi pilihan, kecuali pada hari tertentu seperti hajatan pengantin,dan upacara ritual adat lainnya. Sedangkan pemasaran keris lebih banyak melelui pengepul (jaringan) yang ada di beberapa daerah misalnya, untuk wilayah Jateng, ada di Wonosobo, Kebumen, Boyolali, Sragen Ungaran, Pekalongan Temanggung, Magelang, Banjarnegara, Surakarta, Semarang, Jepara dan lainnya. Untuk Jawa Timur ada di Pacitan, Blitar, Mojokerto/ Trowulan, Pamekasan, Nganjuk, Tulungagung, Trenggalek, Tuban,Malang, dan lainnya, disamping di bebrapa daerah di Jogyakarta dan sekitarnya yakni pada hari hari biasa pemasaran keris bisa didapatkan di Alon-Alon Utara dan Pasar Tri Windu Surakarta, Pasar Turi Surabaya, Pasar Johar Semarang, Pasar Rawa Bening Jakarta6 Dari hasil penelusuran penulis banyak keris kuno yang dijual ke luar negeri seperti belanda, Malaysia, Thailan, dan berbagai negara Eropa lainnya. Para pedagang itu berprofesi sebagai penjual keris kuno peninggalan sejarah kebudayaan itu lebih di latar belakangi oleh motif ekonomi.
Artinya hanya orang asing yang mau membeli benda pusaka kuno itu dengan harga yang mahal, sedangkan pasaran dalam negeri atau lokal tidak mampu menjangkau harga tersebut. Kondisi inilah yang menyebabkan benda budaya dan situs situs purbakala banyak yang lari ke mosium luar negeri. Bagi orang luar negeri ia membeli benda kuno termasuk keris dari Indonesia bukan dinilai dari komersialitasnya, tetapi nilai sejarah yang tidak didapatkan di negara lain. Benda kuno itu dikembangkan untuk penelitian ilmu pengetahuan mereka terhadap peradapan manusia. Maka tidak heran jika untuk melihat koleksi lengkap terhadap benda kuno asal Indonesia harus datang ke museum di Belanda atau London. Kedengarannya memang sangat ironis tetapi ini merupakan realitas yang terjadi di abad ini, termasuk keris kuno asal Indonesia yang mempunyai nilai historis.
Keris merupakan sebuah penamaan dari jenis senjata tikam tradisional masyarakat jawa yang sekarang telah memiliki jarak kultural dengan komunitas di masyarakat, mereka sebenarnya cukup memahami jika keris sebenarnya merupakan sebuah karya teknologi bangsa kita pada zamannya yang memiliki nilai luhur untuk mempertahankan keamanan komunitasnya. Meski demikian keberadaan keris dan karya logam lainnya hingga dewasa ini masih menjadi misteri, dan belum terungkap dengan teknologi modern bagaimana dizaman itu seorang Empu sudah bisa membuat keris yang berkualitas. Pertanyaannya menggunakan teknologi apa para Empu membuat keris, darimana mereka bisa belajar membuat keris yang berkualitas seperti itu. Di akui atau tidak keris merupakan bagian dari hasil karya yang menonjol pada zamannya yang hingga sekarang masih menjadi bagian khasanah budaya etnik jawa yang sering disebut adhiluhung. Keris jika disandingkan dangan jenis senjata tradisional lainnya seperti tombak, parang, golok, clurit,badik,kujang, keris masih memiliki eksistensi yang lebih jelas, khusus ikatan kultural yang jauh lebih mendalam. Ikatan kultural itu lebih di sebabkan karena keris memiliki nilai histories dengan mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung di masa lalu.

Industri Keris
Persoalan yang dianggap paling mendasar dalam konteks ini adalah bagaimana memaknai keris yang tidak sekedar sebagai komuditas ekonomi semata tetapi bagaimana relasinya dengan masalah sosial dan perkembangan budaya di komunitas masyarakat itu sendiri. Pada bagian lain keris juga dianggap mampu memetakan status sosial tertentu bagi komunitas masyarakat. Ukuran pemetaan status sosial pada setiap individu di masyarakat dapat di identivikasi dari jenis dapur keris dan tahun pembuatannya. Semakin kuno (antik) tahun pembuatan keris biasanya akan membawa konsekuensi harga yang lebih mahal, belum lagi untuk dapur tertentu yang biasanya akan di sesuakan dengan karakter sang pemilik. Misalnya keris buatan abad ke VIII di masa kerajaan Majapahit yang dimilki oleh petinggi kerajaan akan mempunyai nilai yang tidak terbatas.Nilai tidak terbatas artinya di sesuaikan dengan karakteristik pemilik atau calon pembeli (kecocokan) apakah keris tersebut sesuai dengan karakteristiknya atau tidak.
Apabila pembeli merasa senang dan berniat untuk memilikinya harga tidak menjadi soal, berapapun akan di belinya, tetapi sebaliknya meski keris itu dalam katagori antik, jika tidak ada rasa kesenangan tidak akan mungkin terjadi transaksi. Dengan demikian masalah nilai yang terdapat pada benda semacam keris adalah persoalan “rasa” meski secara fisik tidak bisa di rasakan seperti makanan pada umumnya. Rasa itu secara mistis akan menyatu dengan calon atau pemilik keris yang bersangkutan. Menurut penuturan pembuat keris di Banyu Sumurup Bantul (wawancara,16/6/2008) dulu keris hanya bisa di beli oleh orang yang mempunyai karakteristik sama dengan yang menjualnya. Secara fisik keris memang dapat di beli dengan imbalan berupa apapun, tetapi isi keris tidak begitu saja mau berpindah meski sudah ganti pemilik. Dalam mithos isi keris di artikan makluk yang menunggu atau yang menyatu pada keris sehingga keris mempunyai kekuatan magis diluar kekuatan manusia. Jenis keris seperti yang di diskripsikan seperti itu hanya di miliki oleh kalangan tertentu di masyarakat, misalnya jika tidak keturunan bangsawan mereka pasti dari status sosial kelas atas. Karena hanya kelompok mereka inilah yang mampu membeli jenis keris semacam itu. Dalam konteks ini orang memiliki atau membeli keris dapat di kelompokkan,:(1). Ia sebagai pewaris dari generasi sebelumnya, biasanya orang tersebut dari keturunan atau trah kerajaan, kesultanan dan atau orang biasa yang memiliki komitmen kuat untuk melestarikan tradisi adat dan budaya lokal pada komunitas masyarakat tertentu. Kelompok ini biasanya mempunyai ikatan histories dengan dinasti atau trah yang dulunya mempunyai kekuasaan. Mereka memiliki keris sebagai symbol status sosial dalam kehidupan bermasyarakat di lingkungannya.
Sebagian diantara mereka masih percaya jika memiliki keris yang bagus dan sesuai dengan karakter pemiliknya rasa percayaan dirinya tinggi, ketenteraman dan keselamatan hidupnya terjamin. Oleh sebab itu keris bukan sekedar di jadikan benda koleksi, tetapi berfungsi untuk ketenteraman serta kelancaran ekonomi keluarganya. (2).Pengoleksi keris untuk kebutuhan ekonomi (di perdagangkan), kelompok ini memiliki jaringan perdagangan keris di berbagai daerah seperti telah di bahas pada bagian lain tulisan ini. Kelompok ini memburu keris kuno karena memiliki nilai ekonomi tinggi dan sangat menguntungkan untuk di perdagangkan. Sebilah keris kuno yang masih memiliki keterkaitan dengan kerajaan tertentu bisa laku ratusan juta, pada hal harga pembeliannya tidak seberapa mahal. Ia mencari keris keris tersebut pada orang orang di luar jaringan perdagangan keris yang mana mereka tidak banyak informasi tentang perkembangan harga keris kuno di pasaran Nasional. (3). Pembuat keris yang sekarang ini terdapat di berbagai daerah termasuk di Banyu Sumurup Bantul Yogyakarta. Katagori yang terakhir ini tidak ubahnya pandai besi yang membuat alat pertanian seperti cangkul, sabit, sekop dan lainnya. Bedanya yang mereka produksi adalah keris yang menyerupai aslinya, tetapi yang satu ini hanya untuk komuditas setingkat souvenir, tidak memiliki estetika layaknya keris zaman dulu yang masih di jamin keasliannya. Misalnya pengrajin keris di Bantul memasang tarif paling rendah antara Rp.3.000.000 – Rp.8.000.000. untuk sebilah keris pesanan, lengkap dengan sarungnya. Perbedaan harga itu tergantung dengan bahan dan model tingkat kesulitan pembuatannya. Satu unit keris biasanya akan di selesaikan rata rata dalam tiga bulan dari pemesanan, itu sudah tercepat. Bahkan jika terdiri dari model yang paling sederhana, waktu pembuatan nya bisa di hitung dalam minggu, atau hari.

Komunikasi Marketing
Baik sebagai industri maupun artefak budaya “keris” menjadi suatu hal yang sangat menarik untuk di diskusikan dan di eksplorasi menjadi bahan kajian budaya dan media. Menarik bukan berarti penulis meyakini atas mithos pada sebuah keris (Islam mengharamkan hal itu), tetapi tidak lebih sebagai eksplorasi pengetahuan terkait dengan industri budaya. Keris pada zamannya hingga saat ini mampu me-petakan sekat sekat kelas sosial dan budaya pada komunitas masyarakat tertentu. Keris bukan sekedar benda yang di gunakan sebagai senjata tikam (gaman) ketika itu, tetapi mengandung mithos masyarakat, bahkan menjadi ideologi komunitas masyarakat tertentu. ”Mithos dan ideologi bekerja dengan menaturalkan interpretasi tertentu dari individu yang khas secara histories”6 Artinya mithos memberikan kehendak histories suatu justifikasi alamiah dan menjadikan berbagai peristiwa yang tak terduga tampak abadi. Sebagian orang atau individu yang memiliki ideologi sama tentang dunia per-kerisan akan selalu mencari komunitasnya untuk melakukan negosiasi guna menjaga kelestarian (kesakralan) terhadap benda keris agar tetap memiliki karisma budaya yang tinggi. Ideologi seperti itu yang menimbulkan genre pada keris tertentu, sehingga mampu menciptakan kelas kelas sosial dan budaya di komunitasnya. Pada saat yang sama genre pada motif keris yang di ukur dari keantikan dan relasi dengan kekuasaan di zamannya mampu menentukan sebuah nilai ekonomi. Tentu nilai ekonomi pada genre keris tidak datang dengan sendirinya tanpa komodifikasi media. Oleh sebab itu peran media dalam konteks ini menjadi sangat strategis dan penting untuk melanggengkan ideologi tentang mithos yang terdapat pada masing masing keris buatan tahun yang berbeda. Media bukan berarti media massa (Tv, Radio, Surat Kabar dan Internet), tetapi ruang publik bisa di katagorikan sebagai media yang di maksud. Secara realitas berbagai produk keris akan muncul di ruang publik (media), tetapi menurut Schlesinger (1978) media bukanlah refleksi atas realitas, sebagamana meletakkan secara ber- sama sama, tetapi sebuah representasi selektif yang di konstruksi untuk membangun realitas.7
Realitas yang dikonstruksi dalam hal ini bisa berupa mithos yang di representasikan keris dengan nilai ekonomi yang di konstruksinya. Mediasi itu bisa berupa ruang pamer yang sering di selenggarakan oleh jaringan kolektor keris untuk melakukan negosiasi perdagangan keris di berbagai daerah tertentu. Pada ruang public i tulah terjadi interaksi antara prodosen dan konsumen berbagai model dan karakteristik keris dari berbagai daerah, yang masing masing membawa nilai kelas sosial dan artefak budaya komunitasnya untuk di pertukarkan dengan nilai ekonomi di antara mereka. Dalam konteks tersebut ada pertanyaan yang paling mendasar seberapa besarkah penghargaan yang diberikan kepada kreator budaya, dalam hal ini para pencipta seni keris. Jika nilai ekonomi yang diberikan kepada hasil seni keris itu mencapai puncak tertinggi, apakah penghargaan yang sama juga di berlakukan kepada sang pencipta seni budaya keris? Ataukah para pencipta seni budaya keris hanya di ciptakan sebagai obyek kekuasan hegemoni pemilik modal pembisnis keris. Yang terjadi penghargaan nilai estetika kepada kreator seni budaya keris lebih rendah jika dibanding dengan penghargaan terhadap nilai ekonomi yang di berikan kepda pembisnis keris. Kesenjangan semacam inilah yang sering kurang mendapatkan perhatian dari semua pihak termasuk penguasa, sehingga cepat atau lambat akan terjadi degradasi budaya,yang termarginalisasi oleh krkustsn kapitalisme di negeri yang berbudaya adhiluhung ini. Lantas kapan keseimbangan penghargaan semacam itu akan di berikan secara berimbang seperti negara yang sudah maju…?

Penutup
Keris bukanlah sekedar jenis senjata tikam untuk mempertahankan diri bagi prajurit atas serangan musuh di zaman kerajaan masa lampau, tetapi benda yang lebih di kenal dengan “tosan aji” itu merupakan symbol kekuasaan yang dianggap mengandung mithos tertentu yang oleh sebagian dari mereka di jadikan sebuah ideologi. Kuatnya ideologi dan pengakuan mithos terhadap keris mengakibatkan ia mampu membuat sekat sekat sosial dan budaya pada masyarakat komunitasnya. Atas genre yang dibuatnya eksistensi keris yang di komudikasi media menjadi semakin kuat. Bahkan keris di representasikan mampu menggeser nilai budaya yang di anggap sdhiluhung itu menjadi nilai ekonomi bagi komunitas masyarakat yang keberadaannya selalu dipertahankan. Karena keris memiliki nilai mithos baik secara kultural dan histories itulah ia mampu bertahan dan eksis menjadi komuditas ekonomi di tengah masyarakat komunitasnya. Persoalannya akankah produksi keris konvensional di era sekarang ini akan merusak nilai estetika dan nilai ekonomik perdagangan keris ?, ternyata tidak. Logikanya masing masing produk yang berdasarkan genre, dan tahun pembuatannya masing masing telah memiliki pangsa pasar yang konstan.
Demikian produk keris secara konvensional yang hanya di pruntukkan sebagai barang souvenir.Artinya meski keris yang memiliki nilai mithos tinggi dan keris souvenir saling bertemu di pasar konvensional di jamin tidak akan terjadi perusakan pangsa pasar, maupun nilai nilai cultural yang terkandung di dalamnya. Karena masing masing jenis keris mempunyai watak dan karakteristik yang berbeda beda, sesuai dengan tahun pembuatannya, dan untuk apa sebuah keris itu di buatnya ketika itu.

Rujukan/bacaan:
Arifin,MT,Keris Jawa, Bilah Latar Sejarah Hingga Pasar,Penerbit, Hajied
Pustaka,Jakarta, 2004

Budiyono,Filsafat Hidup Orang Jawa Dalam Simbolisme Budaya Jawa,
Penerbit,Hanandita, Yogyakarta, 1987

Barker Chris,Cultural Studies,Terjemahan Nurhadi, Penerbit Kreasi Wacana
Yogyakarta, 2004

Erwin A Keris Pusaka Minangkabau, Suatu kajian fungsi unsure visual dan
makna (studi kasus di Lubuk Tanah Datar Agam Lima puluh kota
dan Padang Propinsi Sumatra Barat, Tesis Program S2 Penerbit,
Fakultas Seni Rupa Jurusan Design ITB Bandung tahun 2000

Haryono Arubinang dkk, Hasil Penelitian Terhadap Keris Kuno, Badan
Atom Nasional, Yogyakarta, Harian kompas Edisi 30 Juni 2005.

Sachari, Agus, Diskonstruksi Nilai Estetik Pada Design Furnitur
Tradisional Masyarakat Jawa Modern, Proyek Penelitian Toyota
Foundention, Bandung 1990

Wiryodirdjo, Budihardjo, Tesis Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi
Bandung tahun 1993

SINETRON KOMEDI ISLAM KTP DI TELEVISI

KONSTRUKSI MAKNA
DALAM ”SINETRON KOMEDI ISLAM KTP”
DI TELEVISI

S. Arifianto

Abstraksi
Artikel ini difokuskan untuk mendiskusikan bagaimana makna Sinetron Komedi Islam KTP di-konstruksi. Islam sebagai agama “rahmatan lil alamin” yang, fleksibel, humanis dan adaptif dengan perubahan demokrasi di-citrakan dalam kontradiksi komodifikasi Islam televisi. Islam dikonstruksi untuk mengusung semangat kapitalistik dengan cara memunculkan simbol-simbol dan ikon Islamic untuk di-komodifikasi secara formalis. Konstruksi Islam itu cenderung ke-arah konsep hiperialitas televisi dalam upaya membangun citra untuk menarik simpati publik, sehingga muncul Islam televisi. Dalam Islam televisi, peran aktor (ustadz) tidak lebih sebagai agen kapitalis. Implikasinya kotbah yang ia lakukan hanya sebuah sandiwara yang tergantung dari pesanan dan honor yang ia diterima. Karena apa yang ia dakwahkan dalam “Sinetron Komedi Islam KTP” hanya untuk mendukung popularitas semu melalui tampilan Islam yang mencitrakan televisi untuk kepentingan financial, untuk membentuk Islam televisi. Apa yang ditampilkan Islam televisi merupakan sebuah hegemoni visual-ideologis yang mengkooptasi kesadaran religi Islam dalam sebuah konstruksi citra ceritera di televisi agar di ikuti oleh umat Islam mayoritas di Indonesia sebagai target pangsa pasar audience media televisi yang bersangkutan.**

Kata kunci : Islam televisi, hegemoni, kapitalis

PENDAHULUAN
Menurut Turow.J, televisi komersial baik sebagai industri informasi dan media sosial selalu mencari celah maupun strategi untuk menopang eksistensinya (Curran & Michel.G,1991). Ia selalu memanfaatkan peristiwa tertentu untuk mengaktualisasi program tayangannya. Seperti momentum Bulan Ramadahan yang dianggap sakral bagi umat muslim selalu mendapat perhatian khusus media televisi di Indonesia. Tulisan artikel ini berusaha menganalisis bagaimana tayangan ”Sinetron Komedi Islam KTP di SCTV selama Bulan Ramadhan 1431 H, di-konstruksi. Sinetron komidi religius ini menurut Syaiful Drajad (sutradara) ingin memotret kondisi realitas kehidupan masyarakat metropolitan Jakarta (Detik.com, 09/9/ 2010). Para pemain : Idrus Mardani (Ustadz Ali), Reza Aditya (Karyo), Qubil (Mahdit), Aiman Rizky (Mamat), Martina Aisyah (Sabina), Leonil Handrik (Jam’i). Sinetron komedi ”Isalam KTP” ini merupakan serial komedi religi yang di dalamnya menuturkan ”kelebihan yang dimiliki oleh seorang manusia pilihan. Biasanya kelebihan untuk menyadarkan umat semacam itu hanya di-miliki oleh seorang wali Allah. Penyadaran ditujukan kepada mereka yang mengalami salah jalan, yakni melakukan segala tindkan yang dilarang oleh ajaran Islam. Ustat Ali dalam Sinetron Komedi Islam KTP ini di-berikan peran sebagai sosok manusia yang mempunyai kelebihan tertentu (wali Allah). Tetapi ketika memberikan solusi pada setiap persoalan Ustadz Ali selalu bersikap unik, dan kadang tidak masuk logika akal sehat. Bahkan hampir semua jawaban atas pertanyaan umat tentang Islam, yang ia berikan sering bersifat kontroversial dengan realitas Islam yang sesungguhnya. Meski ceritera setiap episode tidak terlalu panjang (sekitar 30 menit), tetapi dianggap mempunyai makna filosofis tentang islam, sebagai referensi penyadaran. Misalnya bagaimana Ustadz Ali harus menyadarkan Mahdit tokoh yang mengaku terlanjur kaya, dan ahli sodhakoh tetapi menjalankan profesi yang bertentangan dengan Islam (praktik rentenir). Mamat dan Karyo seorang pengangguran atas sentuhan Ustadz Ali akhirnya sadar dan rajin beribadah. Bagaimana Ustadz Ali bersikap atas hubungan Jam’i (anak pengusaha sukses tetapi tidak simpati Islam), dengan teman kuliahnya Sabina, yang ternyata anak Ustadz Ali sendiri. ”Sinetron Islam KTP” yang ditayangkan SCTV menjelang buka puasa ini di-asumsikan mengandung banyak makna dan pesan religi terkait dengan kebebasan dan demokratisasi penyiaran media televisi, sehingga menarik untuk di-analisis. Metode pengumpulan data dilakukan dengan mencatat materi yang dianggap penting untuk di analisis. Pengamatan dimulai tanggal 11 Agustus, sampai dengan tanggal,09 September 2010, dengan pendekatan kualitatif. Dengan demikian data yang disajikan untuk mendukung penulisan artikel tersebut sudah di-olah terlebih dulu oleh penulis. Seperti telah dipaparkan pada bagian pendahuluan, pembahasan artikel ini lebih difokuskan untuk melihat ”bagaimana makna pesan religi dalam ”Sinetron Komedi Islam KTP” ini dikonstruksi dan ditransformasikan kepada khalayak masyarakat di Indonesia melalui media televisi.

SINETRON KOMEDI ISLAM KTP DI SCTV
Dari banyak penelitian tidak terbantahkan bahwa salah satu diantara media massa (radio, televisi, media cetak dan internet) yang banyak berpengaruh dan paling di sukai masyarakat adalah televisi (Thomson.J,2006). Sementara seiring dengan perkembangan teknologi yang menuju kearah konvergensi televisi menjadi semakin eksis karena mampu menjangkau khalayak secara nasional secara simultan (Kompas,13/4/2008). Sebagai sebuah institusi ekonomi media televisi mempunyai produk, informasi dan hiburan, yang dianggap dekat dengan komunitasnya di masyarakat, dimana salah satunya adalah sinetron komedi Islam KTP ini.


Pada sisi yang lain televisi mempunyai khalayak yang semakin luas di masyarakat. Ketika kita bicara masalah televisi maka yang terbayang dibenak kita adalah berbagai gagasan tentang sejarah perkembangan budaya televisi. Perkembangan budaya televisi itu sendiri tidak bisa terlepas dari institusi, produk dan audience yang menyangkut perubahan sosial dan budaya di-masyarakat dimana televisi berdomisili. Untuk memahami perkembangan budaya televisi harus juga memahami bagaimana setiap institusi televisi mengelola produknya. Jika dilihat secara kelembagaan visi dan misi media televisi (komersial) memiliki kecenderungan yang sama dan sebangun. Tetapi jika dilihat dari sisi bisnis di-masing-masing televisi (komersial) terdapat perbedaan yang signifikan. Perbedaan itu tampak pada strategi politik keredaksian didalam perebutan pangsa pasar iklan di masyarakat. Karena televisi komersial sebagai sebuah industri informasi dan hiburan harus bersaing secara kompetitif di pasar. Maka tidaklah heran jika pada momentum tertentu (bulan ramadhan) dibaca sebagai peluang untuk mencari penetrasi pangsa pasar. Sudah tradisi di Indonesia ketika bulan ramadhan menjadi berkah bagi pengelola media televisi komersial. Bulan ramadhan di manfaatkan untuk mengemas sebuah produk hiburan guna mendapatkan rating tertinggi (Sudibyo,2004). Realitasnya hampir semua media televisi komersial melakukan hal tersebut. Sejak pagi hari, siang, sore, malam dan menjelang makan saur, media televisi komersial senantiasa berdampingan dan berusaha untuk hadir dihadapan khalayaknya. Berbagai produk yang dikemas untuk menyemarakkan bulan ramadhan mereka sajikan. Mulai dari diskusi tentang Islam, pengajian, kuliah subuh, musik bernuansa Islam, dakwah, lawak bertemakan religi, sinetron komidi religi, kuis berhadiah dan lainnya. Salah satu diantara produk televisi komersial yang di bahas dalam artikel ini, adalah ”Sinetron Komedi Islam KTP” yang disajikan menjelang buka puasa pada bulan ramadhan 1431 H, di SCTV. Lantas bagaimana Sinetron komedi Islam KTP sebagai sebuah simbol religi dapat dipahami?. Ada beberapa pendekatan kritis terhadap kajian media dalam perkembangan kritik media, khususnya media televisi. Hampir semua pendekatan memberikan tekanan kepada pemahaman bisnis, prodosen media, teks media dan konstruksinya kepada audience dalam konteks sosial dan budaya (Kelner.D,1992). Pilihan tayangan produk SCTV berupa sinetron komidi, dengan tema ”Islam KTP” tentu bukan tanpa makna. Dalam konteks penulisan artikel tentang Sinetron Islam KTP di SCTV ini masalahnya bukan terletak pada ”apa yang kita lihat di televisi”, tetapi mengapa kita melihat televisi. Banyak orang berpendapat menonton televisi karena media televisi dianggap telah menjadi ikon dan medium transformasi budaya elektronik (Granham Nicollas,1997). Tanpa di sadari bahwa media televisi mampu mengatasi kesenjangan sekat-sekat budaya, sosial, ekonomi, politik dan agama dalam interkoneksi kepentingan ”pemilik modal televisi” dan khalayak pemirsanya di masyarakat (Chenny.D,2003). Persinggungan agama yang di simbolkan dalam ”Sinetron Islam KTP” dengan kepentingan pemilik modal (prodosen) dan televisi menjadi sebuah realitas yang sulit di hindari. Sebagai sistem peningkatan nilai-nilai moral persenyawaan antara agama (dalam Sinetron Islam KTP) dengan medium budaya televisi merupakan suatu keniscayaan. Bahkan tidak terkucali terjadinya pergulatan identitas keagamaan dengan budaya media televisi itu sendiri. Pada tataran tersebut ”Sinetron Komedi Islam KTP” di SCTV berusaha membahasakan, sekaligus menerjemahkan pesan-pesan moral agama dan kemanusiaan dalam relasi historisnya yang teraksentuasi dalam bentuk simbolisme. Hadirnya simbol-simbol kritik moral agama yang dikemas dalam ”Sinetron Komedi Islam KTP” merupkan upaya untuk melakukan pemaknaan atas sebuah meta realitas pada kehidupan masyarakat muslim di salah satu sudut kota metropolis Jakarta yang terjadi keseharian. Dalam konteks ini simbolisasi agama (dalam Sinetron Islam KTP) di sandingkan dengan karakteristik budaya televisi komersial. Karena pada hakekatnya ”muatan dalam media televisi merupakan sebuah rekayasa simbolik untuk membangun pencitraan virtual, imajinasi” yang semuanya menjurus pada komersialisasi. Maka dari itu eksistensi televisi menurut Baudrillard.J. (1988) tidak lebih dari dunia virtual yang mengandung simulacra. Media televisi tidak bisa dilepaskan dari sistem komersial. Realitas yang terjadi dominasi muatan televisi yang bercorak hiburan hampir menjadi karakteristik yang sangat melekat. Artinya format hiburan dalam televisi telah dinobatkan menjadi acuan dasar untuk menggambarkan eksistensi media televisi, khususnya di setiap bulan ramadhan. Dengan demikian makna religi yang dikomodifikasi pada tayangan ”Sinetron Komedi Islam KTP” bisa jadi hanya sebagai pemantik daya tarik konsumen, tetapi lepas dari makna dan akarnya sebagaimana yang diharapkan semua pihak termasuk para tokoh agama, pendidik,dan psikolog selama ini.

Fenomena, Komodifikasi dan Representasi
Fenomena televisi : Untuk mempertahankan eksistensinya televisi selalu berusaha untuk memproduksi berbagai ragam peristiwa, dan momentum bersejarah yang telah sedang dan akan terjadi. Misalnya peristiwa kelaparan, kecelakaan, bencana alam, kerusuhan masal, demontrasi, konflik pilkada, pengejaran tokoh terorisme, ritualitas tradisi adat istiadat, keagamaan dan lainnya. Bukan suatu hal yang aneh jika pada setiap ramadhan semua televisi tertarik untuk mengambil momentum tersebut. Untuk mensiasati momentum pada Bulan Ramadhan tersebut banyak diantara media televisi memasang iklan beraroma ke-agamaan, tetapi pararel dengan kepentingan konsumtif khalayak terhadap produk-produk para pemilik modal. Televisi berperan sebagai penyambung lidah para pemilik modal, melalui tayangan iklan komersial dan hiburan untuk menjerat serta menumbuhkan sikap dan perilaku konsumtif bagi khalayaknya. Misalnya pada setiap bulan Ramadhan banyak masyarakat muslim yang disuguhi jenis iklan, dan acara hiburan di televisi yang menggunakan simbol-simbol Islam. Secara kasat mata penggunaan simbol-simbol Islam dalam media televisi di-bulan Ramadhan grafiknya cenderung mengalami kenaikan di banding bulan lainnya. Kecenderungan ini menjadi indikator bahwa komersialisasi Islam menjadi pusat perhatian media televisi, apapun bentuknya. Momentum Ramadhan digunakan televisi untuk membangun citra (brain image) apa makna kesempurnaan puasa dan berbagai jenis ibadah lainnya. Pada titik inilah sadar, atau tidak sebenarnya telah terjadi ”komersialisasi nilai-nilai Agama Islam” itu sendiri. Beberapa sajian komersialisasi nilai-nilai Agama Islam di televisi dapat dicontohkan sebagai berikut. (1) Iklan kain sarung produk tertentu pada salah satu televisi komersial yang mengklaim ”sebagai sarung paling nyaman dan pantas jika dipakai untuk sholat Idulfitri ke-Masjid dan saat berlebaran”. (2). Iklan masakan merk mie instan tertentu untuk menjadi santapan lezat dan bergizi saat umat Islam berbuka puasa. (3). Iklan anjuran Ustad tertentu untuk selalu minum tablet x, jika terjadi gangguan mag pada saat menjalankan ibadah puasa. (4). Iklan produk tertentu untuk menjaga vitalitas dan kebugaran pada saat menjalankan ibadah puasa dan (5) Ikaln gaya fashion yang Islami, trendi, dan modern ketika menyambut Hari Raya Idulfitri. 6. Sinetron komedi yang berthemakan Islam, dan sejenisnya. Suguhan yang bernuansa terjadinya tarik menarik antara kepentingan memuliakan bulan Ramadhan dan kepentingan eksploitasi emosi pemirsa ”kaum muslim” demi kepentingan pasar menjadi sebuah fenomenal pada layar televisi komersial selama bulan Ramadhan tersebut. Pada saat yang sama sebenarnya peran televisi sebagai media yang dianggap mampu menggugah semangat serta membangun syiar Islam merupakan bagian yang sangat di idolakan masyarakat muslim. Tetapi sayangnya imajinasi televisi yang terbentuk berada diluar harapan tersebut. Media televisi relatif lebih mudah membius logika akal sehat khalayak yang seharusnya terfokus pada kegiatan ritual keagamaan tersebut. Maka fenomena yang selalu muncul dipermukaan adalah pemanfaatan ”simbol-simbol ”Islam” dalam upaya melipat gandakan keuntungan pemilik modal media televisi. Fenomena seperti itu tidak terbatas pada iklan komersial, tetapi juga berita, olah raga, film, sinetron, khususnya sinetron komedi Islam KTP yang menjadi topik diskusi dalam pembahasan artikel ini. Namun demikian dibalik itu media televisi juga memiliki hak kebebasan untuk bersiaran (UU No:32/2002/tentang Penyiaran). Dari yang tampak pada penyiaran televisi, aspek finansial cenderung lebih menonjol dibanding aspek kultural (Fiske,2008).

Komodifikasi : media televisi dianggap sebagai moda komunikasi massa dengan teknologinya yang mampu menghadirkan imajinasi dan citra’ bagi khalayak di tengah-tengah hiruk pikuknya nuansa Ramadhan dan mudik lebaran saat ini. Televisi merupakan kekuatan kultural dominan yang mampu mendatangkan profit dari bisnis periklanan sehingga yang kita saksikan betapa televisi komersial saling berlomba untuk menciptakan program-program yang mampu membuat penonton “duduk manis” dan tidak beranjak dari depan layar televisi pada saat bulan Ramadhan. Sebagian besar televisi komersial lebih banyak menawarkan program-program hiburan dari pada menggagas sebuah acara yang bisa memberikan informasi dan edukasi yang sehat untuk pencerahan kehidupan masyarakat. Dewasa ini penonjolan orientasi kapitalis telah menjadi ideologi yang mendasari semua program dalam televisi komersial (Morley David,1992). Meski dalam kontkes perkembangan industri budaya ideologi tersebut banyak pembenarannya. Demi mencari keuntungan dan kreatifitas bisnis itulah para kreator industri televisi selalu berusaha membuka peluang-peluang dengan membuat program-program baru yang diprediksikan diminati konsumen. Atau sebaliknya, mereka mengambil setiap momentum yang sedang terjadi dalam masyarakat komunal untuk dijadikan materi tayangan televisi. Dengan model jurnalistik televisi seperti itu terkesan masyarakat kepentingannya telah terakomodasi. Sementara realitas di masyarakat pada bulan Ramadhan bisa saja berupa masalah-masalah yang bertautan dengan kegiatan sosial, budaya, ekonomi, politik dan ke-agamaan. Dengan kata lain, hampir semua aspek kehidupan bisa menjadi komoditas yang cukup menjanjikan jika dikomodifikasi oleh pengelola media televisi, termasuk Islam. Kondisi tersebut akan terus bertahan sepanjang mampu memberikan konstribusi keuntungan bagi para pemilik modal televisi komersial yang berkembang selama ini.
Pada saat ini ranah agama dalam industri media, sudah tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang bersifat private atau yang berhubungan dengan komunitas pemeluknya (believer) sebagaimana dalam konsep awalnya. Karena secara realitas masalah agama sudah berkembang menjadi komoditas baru di layar televisi yang bisa ‘dinikmati’ banyak orang pada setiap bulan Ramadhan. Dalam konteks dunia pertelevisian agama bukan semata-mata menjadi sebuah nilai yang dianggap suci, sakaral dan terbebas dari campur tangan kekuatan-kekuatan di luarnya. Tetapi dalam konteks ini ”agama” telah berinteraksi dengan budaya televisi, yang pamilier dengan berbagai kegiatan seperti shooting, editing, producing, dan transmissing. Di era modern ini agama telah menjadi milik kaum kapitalis yang secara terus terang dieksploitasi dan dikomodifikasi menjadi produk industri televisi. Permasalahannya bagaimana Islam dikomodifikasi media televisi sehingga mengalami pergeseran orientasi dan nilai. Setelah mengalami komodifikasi, bukan tidak mungkin akan muncul representasi baru Islam dalam televisi. Dalam artikel ini sengaja memilih tayangan ”Sinetron Komedi Islam KTP” yang bernuansa Islamic di SCTV sebagai teks budaya yang mempunyai makna tertentu. Makna tertentu yang dimaksud penulis adalah yang bersinggungan dengan teori budaya komunikasi. Maka teori representasi dianggap yang paling dekat untuk digunakan sebagai kerangka analisis sehingga mendapatkan deskripsi makna-makna tersebut.
Representasi : representasi dalam cultural studies didefinisikan sebagai produksi makna yang diwujudkan melalui bahasa, termasuk di dalamnya bahasa visual. Banyak pemaknaan citra visual, dalam media televisi, yang bisa diasumsikan memunculkan representasi ideologis tertentu (Stuart Hall,1997a). Teori representasi memperlakukan tayangan televisi sebagai teks visual yang mempunyai makna tertentu yang bisa ditemukan seorang pengkaji. Makna yang ditemukan bisa saja berupa “pengetahuan” (knowledge) yang lebih mementingkan ideologi kelompok sosial tertentu (Hall,1997d). Maka yang menjadi asumsi dasar tulisan artikel ini, menganggap bahwa tayangan ”Sinetron komidi Islam KTP” di SCTV sebenarnya juga memunculkan mitos-mitos dan pengetahuan baru tentang Islam yang bisa berimplikasi kultural bagi kehidupan khalayak penontonnya di masyarakat. Pengetahuan tentang Islam yang selama ini hanya bisa didapatkan secara formal (di Sekolah Islam, Pondok Pesantren, Madrasyah, Masjid, Pengajian dan sejenisnya) sekarang bisa didapat secara bebas melalui tayangan media televisi. Tentu pengetahuan Islam yang didapatkan melalui media televisi, akan sedikit berbeda dangan yang diperoleh secara formal. Perbedaan itu terletak pada penyesuaian dengan karakteristik media televisi. Karena tayangan yang berkonsep Islamic di televisi bernuansa nilai komersial. Artinya sepanjang konsep Islamic tayangan televisi akan mendatangkan banyak penggemar (ratingnya tinggi), dan mendatangkan keuntungan bagi media televisi tentu akan di pertahankan apapun alasannya, dan begitu sebaliknya.

KONSTRUSI MAKNA ’SINETRON ISLAM KTP”

Konsep tentang teori komodifikasi (co-modification), standardisasi (standardization), dan massifikasi (massification) merupakan terminologi yang sering digunakan aliran kritis Mazhab Frankfurt, khususnya Theodor Adorno dan Max Hokheimer (1999) ketika mengkritisi perkembangan industri budaya (culture industry) di Eropa dan Amerika. Meski mereka tidak secara lugas menyebutkan istilah-istilah dalam kajian kritisnya. Tetapi sebenarnya mereka berusaha mengkontruksi pemikiran kritisnya tentang perkembangan industri budaya yang difokuskan pada industri media (hiburan) seperti dalam ketiga terminologi tersebut. Sementara Granham (1997) berpandangan bahwa industri budaya merujuk pada institusi dalam masyarakat yang mengelola produksi dan organisasi korporasi (televisi) guna memproduksi dan menyebarkan simbol-simbol dalam bentuk barang dan jasa industri budaya sebagai komoditas. Sejalan dengan pemikiran Adorno dan Hokheimer “komodifikasi” dalam konsep industri budaya bisa didefinisikan sebagai usaha pengelola media televisi untuk menjadikan ”Sinetron Islam KTP” sebagai realitas sosial dan budaya di masyarakat. Konsep komodifikasi itu mengacu pada bentuk produk media yang seragam, dengan lainnya. Sedangkan “massifikasi” merujuk pada produk media dalam jumlah yang cukup massif dan ditujukan bagi konsumen yang massif tetapi berorientasi pada keuntungan.
Konsep dasar dalam komodifikasi ”Sinetron Islam KTP” tidak lain adalah penciptaan citra (images) yang dikonstruksi sedemikian rupa untuk menimbulkan kesan yang bisa melebihi realitas sesungguhnya. Citra inilah yang kemudian disebut realitas semu (hyperreality). Dalam teori komunikasi massa mutakhir lebih banyak menggunakan realitas citra ini untuk menggambarkan sebuah “ciptaan fantasmis” (phantasmic creation) yang ‘lebih nyata’ dan ‘lebih otentik’ dari yang nyata itu sendiri. Tentang hal ini Baudrillard (1983a) mengatakan:
Realitas itu sendiri menemukan dirinya di dalam hiperrealisme, reduplikasi yang cukup detil dari yang nyata, yang lebih banyak ditemukan dalam medium lain, seperti fotografi. Dari medium ke medium, yang nyata menguap, menjadi alegori kematian. Namun, yang nyata juga terus di perkuat kembali, dalam makna, melalui kehancurannya sendiri. Yang nyata menjadi realitas demi dirinya sendiri, fetisisme objek yang hilang…..hiperriil.
Apa yang telah diungkapkan Baudrillard tersebut secara implisit di dalam media sebenarnya tidak terdapat “yang nyata” karena telah dihancurkan oleh realitas baru yang bernama hiperiil, sebagai produk perkembangan teknologi informasi komunikasi (TIK) yang lebih mempesona dibandingkan yang nyata. Dalam konteks ini produk industri media pada dasarnya tidak lebih dari realitas semu yang dikonstruksikan sebagai “yang nyata”. Nilai-nilai Islam (dalam Sinetron Islam KTP) merupakan objek komodifikasi yang dianggap paling laris pada media televisi. Hal ini terjadi karena Islam diasumsikan sebagai agama dengan pemeluk mayoritas di Indonesia. Atas dasar asumsi tersebut umat Islam merupakan audiens televisi yang paling banyak dibandingkan para pemeluk agama lain. Mayoritas jumlah pemeluk dan penonton maka asumsi bahwa tayangan-tayangan yang menyuguhkan simbol dan nilai Islam, seperti ”Sinetron Komedi Islam KTP” cenderung menarik minat penonton. Dengan banyaknya penonton akan lebih mudah untuk meyakinkan pemasang iklan. Konsekuensi dari komodifikasi simbol dan nilai-nilai Islam ini penonton televisi dari komunitas umat Islam disuguhi citra visual (visual image) dari apa yang mereka pahami dari ceritera ”Sinetron Komedi Islam KTP” pada setiap episode. Misalnya semacam penyadaran terhadap nilai-nilai Islam yang disampaikan oleh Ustadz Ali (Idrus Mardani). Dalam setiap epidode Ustazd Ali,selalu diberikan peran sebagai wali Allah, yang mampu memberikan pencerahan pada setiap masalah penyimpangan akidhah dari warga masyarakat, baik dalam keluarga (mpok Amsani dan Mamat), keluarga (Mahdit dan Jamilah), keluarga Jam’i, keluarga Karyo, keluarga ustazd Khodir dan lainnya. Memang dalam ”Sinetron Komedi Islam KTP” komodifikasi simbol dan nilai ajaran agama Islam tidak tampak adanya penyimpangan akidhah, seperti yang di sayari’atkan agama Islam secara ketat dan berlaku nuniversal. Tetapi komodifikasi simbol dan nilai-nilai Islam dalam ”Sinetron Komedi Islam KTP” disampikan secara unik, dan filosofis. Inilah barangkali keahlian yang dimiliki Ustazd Ali dalam sinetron komedi tersebut. Meski cara penyampaiannya unik, dan dengan kiasan tetapi makna kritiknya cenderung lebih dominan. Dalam setiap episode dakwah Islam senantiasa disampaikan dengan bahasa yang unik dan tajam. Tanpa disadari apa yang sering diucapkan oleh Ustadz Ali merupakan sebuah penyadaran pada Islam. Misalnya dalam komodifikasi yang berlangsung setiap ajaran Islam disampaikan dalam bahasa yang lugas dan unik. Keunikan itu cenderung menimbulkan tafsir yang berbeda dari pemaknaan senyatanya. Konsep pemaknaan dakwah Islam yang sering disampaikan oleh Ustadz Ali, se-olah olah Islam tidak memiliki ketegaran, sebagimana mestinya. Dalam konteks ini sebenarnya audiens muslim hanya mendapatkan ‘sesuatu yang kosong’ dari tayangan ”Sinetron Islam KTP” di televisi karena mereka hanya mengkonsumsi hiburan, yang dikemas dalam bentuk religius. Pada titik ini sebenarnya telah berlangsung negosiasi yang sinergis antara media televisi dengan para ustadz dalam tayangan-tayangan sinetron yang mengkomodifikasi ajaran Islam. Realitas ini bisa dibaca sebagai terciptanya representasi baru wajah Islam dalam konteks media yang cenderung mengarah pda sebuah gaya hidup yang penuh dengan simbol-simbol Islam dan bernuansa kapitalistik. Meski komodifikasi dalam format massif dan standard tetap saja menghasilkan tayangan yang cenderung melemahkan ajaran Islam bagi para audiens mayoritas muslim. Bahkan secara implisit para pelaku (artis dan aktor) yang terlibat di dalamnya tampak berusaha menjadikan ajaran Islam sebagai tampilan hegemonik di media televisi yang bersangkutan. Realitas tersebut merupakan karakter komodifikasi media dalam konteks industri budaya. Terhadap realitas media televisi seperti itu Thompson (1995) menjelaskan bahwa :
Kebanyakan industri budaya kurang berhasil menciptakan pretensi karya seni. Karena rata-rata produknya berupa konstruksi simbol yang dibentuk berdasarkan formula yang dibangun sebelumnya dan diisi dengan stereotip setting, karakter, dan tema tertentu. Ia tidak berlawanan dengan norma sosial yang ada, tetapi sebagai penegasan kembali norma itu dan mengecam tindakan dan perilaku yang dianggap menyimpang dari norma tersebut. Produk industri budaya menghadirkan dirinya sebagai refleksi langsung dan pengembangan terhadap realitas empiris, dan melalui pseudo-realisme produk-produk tersebut menormalisasikan status quo.
Jika kita merujuk pada logika tersebut, dakwah ajaran Islam dalam ”Sinetron Komedi Islam KTP” dapat dibaca sabagai usaha negosiasi ‘kelompok Islam ”sadar media” terhadap kehidupan masyarakat modern yang sudah termediasi tentang pencitra-an melalui media televisi. Hal ini tampak bahwa dalam pseudo-realis membuat setiap ajaran Islam tetap menjadi kekuatan hegemonik bagi kehidupan para pemeluknya yang semakin dipengaruhi budaya media sehingga mereka tetap taat dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan yang mereka yakini. Ketika kekuatan hegemonik Islam yang ditransformasikan melalui ”Sinetron Komedi Islam KTP” terus berlangsung, maka tanpa sadar umat digiring untuk mengkonsumsi ”realitas semu” yang tidak pernah mereka sadari. Mereka terlanjur masuk ke dalam permainan komodifikasi yang menjual ajaran agama dan simbol-simbol Islam yang sangat pragmatis, berupa tampilan simulasi hiperealitas televisi, tanpa diketahui asal usulnya. Menurut Yasraf.A.Piliang (2004) dengan mengadopsi pemikiran Baudrillard (1983a) mengatakan bahwa:
Penciptaan kebudayaan saat ini mengikuti model produksi simulasi penciptaan model yang nyata, tetapi tanpa asal-usul atau, hiperealitas. Melalui model simulasi manusia dijebak dalam satu ruang yang disadarinya sebagai realitas nyata, meskipun sesungguhnya itu realitas semu. Di dalam wacana simulasi, manusia berada dalam satu ruang realitas, di mana perbedaan antara yang nyata dan fantasi atau yang benar dan yang palsu menjadi sangat tipis,dan manusia hidup di ruang fantasi. Media televisi merupakan dunia fantasi, sama nyatanya dengan pelajaran sejarah atau etika di sekolah, yang sama-sama menawarkan informasi dan membentuk sikap dan gaya hidup.
Dalam praktiknya tampilan simulatif dalam ”Sinetron Komedi Islam KTP”di televisi di satu sisi ia tetap memberikan informasi tentang dakwah atau ajaran Islam secara humanis, dengan gaya yang sangat sederhana cair, santun jauh dari unsur kekerasan. Tetapi pada sisi lain, simulatif tentang dakwah Islam seperti yang di perankan ustadz Ali dalam ”Sinetron Komedi Islam KTP” bersifat unik. Keunikan itu sering kita lihat ”dari setiap penjelasan ustazd Ali, dimana antara yang larangan dan yang dibolehkan dalam konteks Islam bedanya sangat tipis”. Penonton diajak berpikir untuk menginterpretasikan makna dakwah Islam tersebut dengan logika dan pengetahuan religi yang dimilikinya. Demikian juga sikap dan perilaku yang diperankan oleh aktor lainnya. Realitas itulah yang kemudian menjadikan misi dakwah Islam yang disampaikan melalui ”Sinetron Komedi Islam KTP” cenderung tampak sangat lemah. Pada hal dalam Islam sendiri sudah ada standard materi, maupun komunikasi dalwah.
Islam yang disiarkan dalam tayangan ”Sinetron Komedi Islam KTP” di SCTV, telah menciptakan satu pemahaman Islam sebagai gaya hidup dalam bentuk hiburan bagi umat yang berorientasi pada ideologi kapitalis. Ideologi kapitalis ini bisa dibaca dari dua perspektif, yakni (1) perspektif stasiun televisi dan (2) perspektif para kreator film dan juga perusahaan garmen atau butik yang memproduksi pakaian-pakaian muslim/muslimah yang modis. Dari perspektif pihak televisi, keuntungan kapitalnya sudah sangat jelas, yakni meningkatkan pendapatan dari pemasangan iklan. Sementara dari pihak kreator film, mereka akan memperoleh keuntungan dari kontrak dengan pihak televisi. Sementara bagi pihak garmen ataupun butik, jelas mereka akan memperoleh keuntungan melimpah dari trend pakaian muslim/muslimah yang dikonsumsi para kreator film sinetron. Realitas di atas merupakan tanda kultural dari apa yang disebut “Islam televisi” dimana televisi telah menjadi ‘penuntun’ bagi lahirnya sebuah praktik baru dalam menjalankan ajaran-ajaran Islam. Sebagai sebuah praktik beragama yang modern, Islam televisi ‘memberikan’ keluasaan untuk menjelajah keruang-ruang privasi asalkan tetap mau menonton ”Sinetron Komedi Islam KTP” di SCTV setiap hari. Islam televisi sebagai gaya hidup telah ‘membudidayakan’ proses simbolik dan sosial citra dan nilai-nilai terhadap ajaran permukaan (superficial doctrine) dari Islam yang bisa menjebak mereka dalam praktik-praktik model formalistik dalam hegemoni senyum, ujaran (bahasa), sikap dan perilaku para aktor dan artis ”Sinetron Komedi Islam KTP” di televisi. Generasi Islam televisi akan lebih mudah menyerap pengetahuan Islam dari budaya televisi, ketimbang ”pengetahuan yang biasa diperoleh dari pendidikan formal Islam” seperti di Sekolah Islam, Pesantren, Madrasah, Masjid dan lainnya. Secara konseptual televisi disamping memberikan pengetahuan, forsi yang lebih dominan adalah memberikan hiburan, sehingga lebih menyenangkan.

Representasi simbol & Umpatan menjadi Citra
Selama Bulan Ramadhan 1431 H ini disamping tayangan “Sinetron Komedi Islam KTP” dalam televisi yang sama juga ada sinetron komedi lain yang berperan membentuk Islam televisi. Dalam setiap sinema religius di televisi, disana pula terjadi proses komodifikasi sehingga cukup menarik untuk dianalisis. Ketika ajaran Islam dijadikan ide cerita dari sebuah produk sinetron di televisi. Umumnya ajaran Islam yang dikomodifikasi pihak production house adalah (1) bahwa Tuhan akan selalu memberikan balasan duniawi yang “kejam” kepada ummat-Nya yang berbuat kejam dan dzalim, (2) Tuhan akan memberikan hidayah kepada ummat-Nya yang tabah,sabar, dan tahan uji dalam menjalani setiap cobaan yang dihadapinya, dan (3) Tuhan akan memberikan balasan yang “kejam” kepada umat-Nya yang berbuat kejam untuk kemudian memberikan hidayah kepadanya. Hampir setiap episode yang ditayangkan dalam “Sinetron Komedi Islam KTP” di SCTV tidak lepas dari materi tersebut. Meski demikian masih banyak “ikon” dijadikan sebuah simbol dan pesan yang ingin dicitrakan oleh sutradara dalam “Sinetron Komedi Islam KTP” tersebut.
Misalnya, (1). sosok Bang Ali (Idrus Mardani) yang dalam sinetron tersebut diberikan peran sebagai seorang ustazd mumpuni, bahkan di sejajarkan dengan wali Allah, tetapi atas ke-salehannya tidak mau di sebut ustazd, ia lebih senang dipanggil “Bang Ali” saja. Bang Ali, mempunyai kebiasaan “siwak” yakni membersihkan giginya dengan potongan rotan kecil yang ujungnya ditumbuk (pengganti sikat gigi). Pada zaman kenabian Islam, alat kebersihan tersebut sangat dianjurkan. (2). Sosok Jam’i (Lionil Hendrik) anak pengusaha sukses, teman kuliah Sabina (Martina Aisyah) anak Bang Ali. Akhirnya Jam’i dan Sabina pacaran secara sembunyi-sembunyi. Ketika hubungan mereka diketahui Bang Ali, mereka disuruh nikah,dengan syarat Jam’i harus hafal Surat Yasin terlebih dulu. Jam’i di suruh pergi dari rumah orang tuanya, karena menjalankan syariat agama Islam, dan menghafalkan surat Yasin. Akhirnya Jam’i menjadi murid Bang Ali dan mengajar berbagai pengajian anak-anak jalanan. Dalam kesehariannya Jam’i selalu berbusana muslim, dan rajin sholat di Masjid bersama Bang Ali calon metuanya itu. (3). Sosok Mahdit (Qubil), di diperankan sebagai seorang ustadz ahli musyawaroh dan kaya, tetapi perilakunya menyimpang dari ajaran Islam. Kebiasaan Mahdit adalah selalu menghina orang miskin, memberikan sodakhoh tetapi dengan imbalan bunga (balas jasa), dan mengumpat dengan kata,”bahllul” (bodoh). Sementara sosok Karyo (Reza Aditya), dan Mamat (Aiman Rizky) adalah pengangguran yang kemudian dipekerjakan di toko Bang Ali. Sosok kedua anak muda ini meski menjadi muritnya Bang Ali, tetapi pendiriannya tentang Islam masih labil, dan sering tergoda dengan kebutuhan duniawi, dan glamornya kehidupan modern. Hampir semua komodifikasi pada sosok para aktor dan artis pemeran di “Sinetron Komedi Islam KTP” tersebut dicitrakan sebagai ikon dan simbol Islam untuk di trasformasikan kepada audience.
Jika kita analisis dari model alur cerita masing-masing evisode tayangan “Sinetron Komedi Islam KTP” di SCTV, bisa dilihat adanya kemiripan atau bahkan kesamaan. Yang membedakan hanyalah bentuk balasan dari Tuhan kepada masing-masing tokoh antagonis yang bersangkutan. Tidak bisa dipungkiri bahwa kecenderungan tampilan yang homogen merupakan karakteristik dari televisi di Indonesia ketika menjadi entitas televisi komersial. Mengenai realitas tersebut dalam bukunya Agus Sudibyo (2004) pernah menyatakan bahwa:
”Para pengelola televisi tampaknya kerepotan memenuhi tuntutan-tuntutan produksi ketika televisi telah menjadi entitas komersil. Mereka harus mempersiapkan banyak acara untuk mengisi jam siaran yang semakin hari semakin panjang. Padahal produktivitas industri-industri pendukung televisi (production house) belum bisa banyak diharapkan terutama karena keterbatasan SDM dan teknologi………………..Tanpa banyak disadari pemirsa, sinetron, komedi, dan acara televisi lainnya sebenarnya “serupa tapi tak sama”. Judul boleh berbeda, aktor boleh berganti, namun format cerita, logika kisah, plot, penokohan, dan setting cerita sesungguhnya serupa”.
Jika melihat realitas yang demikian, maka tidak mengherankan ketika semua tayangan sinetron religius di televisi mempunyai kemiripan satu sama lain. Di samping keterbatasan SDM teknologi, keseragaman format model tayangan sinetron religius tersebut juga dipengaruhi oleh trend tayangan televisi yang sedang berkembang saat ini. Dari sisi ideologi kapitalis, penayangan sinema religius semacam ini merupakan alat dominasi dari pengelola industri televisi untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan menarik perhatian ummat Islam untuk menaikkan rating.
Namun demikian jika dilihat dari sisi ideologi Islam, alur cerita sinetron religius serta tampilan visual cenderung bombastis. Dalam konteks kajian ini ”Sinetron Komedi Islam KTP” telah menghadirkan pemahaman-pemahaman baru tentang ajaran Islam, terutama tentang azab Tuhan kepada umat-Nya, yang sangat distortif. Misalnya dalam setiap evisode ”Tuhan”,lebih banyak digambarkan sebagai representasi yang bisa memberikan hukuman terberat bagi setiap umatnya yang menentang ajaran Islam. (Contoh : dalam episode tertentu, ketika ustazd Khodir mengalami kemajuan usaha warungnya, sibuk melayani langganan, ia melupakan sholat,mengajar ngaji bahkan anaknya yang sedang sakit keras dirumah. Ustazd Khodir baru sadar ketika anaknya yang semata wayang itu akhirnya meninggal (sebagai azab Tuhan) karena isterinya Minah terlambat membawanya ke Rumah sakit gara-gara tidak ada sarana angkutan). Ini merupakan sebuah hiperrealitas yang terlalu distortif dan bombastis karena pada dasarnya siksaan maupun azab seperti itu tidak pernah ditabsirkan secara vulgar di dalam kehidupan nyata. Dan ironisnya, peristiwa seperti itu selalu mendapat legalitas dari para ustadz (Bang Ali) yang selalu di berikan peran menutup cerita dengan wejangan-wejangan Islami tentang adegan visual yang ditayangkan. Lantas bagaimana audience harus memberikan makna terhadap semua evisode alur ceritera dalam teks ”Sinetron Komedi Islam KTP” selama ini? Dewasa ini memang banyak orang sukses yang berangkat dari bawah, tetapi seringkali mereka lupa bahwa usaha itu butuh waktu yang cukup lama untuk mewujudkannya. Keberhasilan seseorang dalam usaha tertentu bukan berasal dari pemberian orang kaya yang mirip sebagai Robbin Hood. Namun demikian karena mereka benar-benar berusaha bekerja keras untuk mencapainya. Bahkan, diantaranya banyak pula orang yang sudah bekerja keras dan tekun menjalankan ibadah tetapi belum juga mendapatkan rezeki berlimpah dari Tuhan. Dari paparan di atas, jelas kiranya, bahwa tayangan ”Sinetron Komedi Islam KTP” di SCTV cenderung mengusung representasi pengetahuan tentang Islam yang dimaknai secara hitam-putih. Kehidupan digambarkan sebagai relasi yang harus dipenuhi dengan hukum-hukum illahiyah yang begitu kaku dan formal. Dalam konteks ini wajah Islam dan kehidupan yang islami digambarkan dengan ”Islam” pada konsep kehidupan yang begitu formal, kaku, dan terbingkai dengan syariat Islam secara rigit. Padahal tidak selamanya hukum Islam harus dimaknai secara kaku dan hitam-putih.

PENUTUP
Sebelum masuk pada materi dasar sebenarnya prodoser memberikan judul sinema komedi tersebut bukan tanpa makna. Mengapa harus ”Islam KTP”?.Islam KTP sendiri merupakan apologi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Meski dalam BPS kisaran 90 % pemeluk Agama Islam, tetapi masih terbuka ruang untuk di diskusikan. Dari sudut pandang statistika data tersebut benar. Tetapi dari sudut pandang Islam belum tentu benar. Perbedaan itu terdapat pada media yang digunakan untuk mengukur ”pemeluk agama Islam versi statistik dan pemeluk agama islam versi Islam sendiri. Maka ”Sinetron Islam KTP” bagi masyarakat awam bisa ditabsirkan ke-Islamannya sebatas di KTP, ia tidak atau belum melakukan Islam sebagaimana mestinya. Kemudian apa makna konstruksi teks budaya dalam tayangan ”Sinetron Komedi Islam KTP” di SCTV . Teks budaya itu dapat dimaknai bagaimana Islam sebagai agama yang ”rahmatan lil’alamin” sangat fleksibel, lugas dan adaptif dengan semangat perubahan dan demokrasi yang dicitrakan dalam kontradiksi komodifikasi Islam di-televisi. Pada satu sisi, Islam adalah ajaran yang cinta damai, harmonis, humanis, modis, dan sekaligus formalis. Islam dalam tayangan Sinetron Komedi Islam KTP jelas-jelas mengusung semangat kapitalistik dengan cara memunculkan simbol-simbol Islamic yang di komodifikasi secara formalis. Pada hal sebenarnya pemunculan ikon dan simbol Islamic tersebut tidak lebih merupakan sebuah hiperialitas dari konsep media televisi untuk membangun sebuah citra, guna menarik simpti publik pada setiap ritual Bulan Ramadhan.
Dalam konteks penulisan artikel ini pemeran ustadz (aktor) dalam ”Sinetron Komedi Islam KTP” dapat tabsirkan sebagai agen kapitalis dimana ‘senyum dan imannya’ yang mampu membangkitkan relasi imajiner penonton untuk meniru gaya hidup dan perilakunya sebagai guru ngaji yang modis dan gaul tersebut. Semua kotbah yang mereka lakukan tak lebih dari sebuah sandiwara yang bisa dimainkan setiap saat, tergantung dari pesanan dan honor yang mereka terima. Bahkan apa yang mereka dakwahkan (omongkan di televisi) belum tentu mereka laksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Karena Ia hanya mencari popularitas melalui tampilan islami yang dicitrakan sedemikian rupa oleh televisi untuk selanjutnya mengeruk keuntungan dari semua pencitraan tersebut. Dengan kata lain, Islam televisi adalah Islam yang kapitalistik karena motivasi ekonomi dari para ustadz (sebagai aktor) lebih dominan dibanding memberikan pencerahan yang lebih agamis kepada umatnya. Islam televisi tampak lebih keras (radikal) karena sering kali Tuhan dilukiskan sebagai pemberi hukuman terhadap kesalahan seseorang secara vulgar dan mengerikan. Hal tersebut secara ideologis menjadi pesan yang bisa membuat orang takut dan selalu patuh dalam menjalankan ajaran agama. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa seseorang menjalankan agama takut hukuman Tuhan, bukan karena keyakinan akan Tuhan itu sendiri. Bisa jadi Tuhan, hanya dijadikan simbol bagi kepentingan-kepentingan duniawi kelompok-kelompok yang menggu nakan televisi sebagai media untuk meraih keuntungan ideologis maupun ekonomi. Kalau demikian halnya maka apa yang ditampilkan Islam televisi tidak lebih dari sebuah hegemoni visual-ideologis yang akan mengko optasi kesadaran religius ummat Islam dalam sebuah absurditas citra dan cerita. Citra dan cerita yang disuguhkan merupakan konstruksi yang sengaja dihadirkan sebagai pengetahuan yang diharapkan untuk diikuti oleh ummat Islam sebagai audience. Namun, sesungguhnya semuanya kembali kepada ummat, apakah mereka akan menerima atau menolak citra dan cerita tersebut. Maka, kajian resepsi audiens terhadap nilai-nilai Islam televisi secara lebih komperhensif masih sangat diperlukan. Karena penulisan artikel ini hanya sebuah awal dari eksplorasi panjang terhadap budaya media televisi yang sekarang berkembang pesat secara dinamis.

Daftar Bacaan
Theodor Adorno and Max Hokheimer (1999), The Culture Industry: Enlightenment as Mass Deception, dalam During S.ed (1999) The Cultural Studies Reader,Second edition Ruutledge : London
Baudrillard, Jean.1988. Jean Baudrillard, Selected Writing (ed. Mark Posnter). Stanford: Stanford University Press.
Chaney, David.2003. Life Styles, Sebuah Pengantar Komperhensif (terj. Nuraeni). Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.
Fiske.(1987). Dalam Storry (2008) Cultural Studies, dalam Kajian Bubaya Populer,Pengantar Konprehensip Teori dan Metode, Penerbit, Jalasutra Yogyakarta.
Granham, Nicholas. “On the Cultural Industries”, dalam Paul Marris & Sue Torham (eds).1997. Media Studies: A Reader. Edinburg: Edinburg University Press.
Hall, Stuart. “Work of Representation”, dalam Stuart Hall (ed). 1997a. Representation, Cultural Representations and Signifying Practice. London: Sage Publication in assosiation with The Open University Press.
________(ed) 1997d.Race Cultural and Communications in J.Storry (ed) What is Cultural Studies? London : Routledge
Kellner, Douglas.1992,Popular Cultural and the Construction of Postmodernity and Identity.Oxford: Blackwell
Morlly David.(1992). Television Audience and Cultural Studies, Routledge : London
Piliang, Yasraf Amir.2004. Dunia yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Yograkarta: Penerbit Jalasutra.
Sudibyo, Agus.2004. Ekonomi Politik Media Penyiaran. Yogyakarta: LKiS bekerjasama dengan ISAI.
Thompson, John B.2006. Kritik Ideologi Global, Teori Sosial Kritis tentang Relasi Ideologi dan Komunikasi Massa (alih bahasa Haggul Yaqin). Yogyakarta: Penerbit: Ircisod.
Turow, Joseph. “A Mass Communication Perspective on Entertainment Industries”, dalam James Curran & Michael Gurevitch (eds.).1991. Mass Media and Society. London: Edward Arnold.
Harian Kompas, Edisi Penerbitan tanggal,13 April 2008

SENI BATIK

Makalah Pembanding

INDUSTRI BATIK : KREATIFITAS DAN MODERNITAS

S. Arifianto


Ketika kita bicara masalah batik sebenarnya bukan sekedar membahas masalah industri keratif, seni kerajinan batik,profesi pembatik yang dimiliki individu atau komunitas masyarakat tertentu. Tetapi sebenarnya kita membahas budaya komunal, budaya local, dan budaya nasional sebuah bangsa. Karena batik merupakan ranah budaya yang dianggap memiliki nilai arstistik tinggi, namun dibalik itu ada permasalahan yang bersifat kompleks. Batik dewasa ini menjadi ikon budaya sebuah komunitas masyarakat, bangsa dan Negara.Batik merupakan simbiose komunal yang merepresentasikan budaya local bernilai tinggi dalam sebuah komunitas masyarakat tertentu. Batik bisa menjadi media lintas budaya, karena keberadaannya merepresentasikan keragaman seni tradisional masyarakat komunal di suatu daerah. Batik baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi sebuah identitas komunitas masyarakat. Charles Shander Feire (1981) menyebutnya sebagai indexical budaya komunal masyarakat. Secara historical seni batik di Indonesia konon berasal dari zaman Nenek Moyang yang ketika itu ditulis di selembar daun lontar. Kemudian dikembangkan secara terus menerus (turun temurun) oleh masyarakat tertentu sebagai symbol atau identitas.
Seni batik menjadi terkenal karena ia menjadi identitas sekaligus symbol sebuah komunitas masyarakat baik secara lokal maupun nasional. Batik sebagai symbol local masyarakat secara implisit dapat teridentivikasi dari corak dan motifnya. Artinya ketika kita melihat corak dan motif batik, maka secara spontan dapat di identivikasi batik yang bersangkutan diproduksi di daerah mana. (misalnya, batik Pekalongan, batik Solo, batik Jogya, batik Sunda, batik Madura, dsb). Secara nasional batik dianggap merepresen tasikan identitas budaya sebuah bangsa.Lembaga PBB yang membidangi masalah kebudayaan UNESCO telah menyetujuhi ”batik sebagai warisan budaya” yang dihasilkan oleh Indonesia (Kompas,11/12/2009). Dalam konteks ini budaya bangsa dibentuk dari keunggulan budaya lokal. Salah satu diatranya di wakili oleh kerajinan atau industri batik. Dengan kata lain budaya bangsa mewarisi nilai keunggulan dari budaya lokal yang ada di berbagai komunitas masyarakat. Maka budaya batik di Indonesia dianggap sebagai warisan budaya (cultural heritage) yang tidak ternilai bagi bangsa ini. Berangkat dari pemahaman tersebut maka ”batik” di difinisikan sebagai identitas bangsa. Tulisan dalam makalah ini hanya ingin membahas pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) bagi pengrajin atau industri batik,dilihat dari perspektif budaya. Tulisan ini sebagai makalah pembanding atas penyajian makalah Ahmad Budi Setiawan, tentang : Pemanfaatan TIK pada IKM Batik Lawean di Solo Jawa Tengah. Tulisan ini bukan bertujuan untuk mengkritisi makalah utama, tetapi hanya ingin memberikan pengkayaan pengetahuan yang belum tergali dari sisi budaya. Dengan pandangan tersebut thema yang diangkat dalam makalah pembanding ini adalah : Industri Batik : Kreatifitas dan Modernitas. Pembahasan berkisar pada permasalahan batik sebagai kreasi seni, dan batik terkomodifikasi teknologi modern.

Batik Sebagai Kreatifitas Seni
Pada dasarnya jika dilihat dari akar budaya yang terjadi ”seni kreasi batik” tidak ubahnya seperti perkembangan seni lukis. Pada awalnya seni batik yang terkenal adalam motif batik tulis. Batik tulis adalah batik yang dikerjakan secara tradisional, dilukis menggunakan (sogo dan canting) oleh para pembatik. Sebagian besar mereka tidak mendapatkan pendidikan formal tentang batik. Mereka belajar membatik berdasarkan ”otodidak” dari seniornya. Mereka membatik bukan merepresentasikan sebagai seniman batik. Tetapi mereka membatik karena tuntutan ekonomi, dan bekerja sebagai buruh pada juragan batik. Maka meski karyanya menjadi simbol komunitas lokal, maupun nasional sebagai karya budaya, mereka tidak pernah menuntut penghargaan. Karya seni yang mereka tuangkan dalam ratusan kodi batik sebagai komoditas bisnis, tidak lebih sebagai untuk memenuhi kebutuhan pokok (sandang dan pangan). Meski penciptanya kurang mendapatkan penghargaan, tetapi produk seni kreasi batiktulis yang mereka ciptakan mampu menjadi ikon sebuah komunitas dan budaya bangsa. Bagi komunitas tertentu keberadaan batik tulis masih dijadikan simbol sosial bagi masyarakat tertentu. Memakai batik tulis dari bahan sutera, masih dianggap lebih prestisus ketimbang memakai batik sablon, atau printing dari bahan yang sama. Dalam dunia bisnis motif batik tulis mempunyai pangsa pasar tersendiri. Maka kreasi seni batik tulis meski dikelola secara tradisional masih mendapat tempat di komunitas masyarakat tertentu. Kreasi seni batik tulis itu bergeser menjadi sebuah identitas masyarakat komunal. Budaya lokal dalam konteks ini ”disimbolkan dari produksi artistik seni dan produk budaya lain dalam bentuk kerajinan, seni dan teks budaya” (William, 1981). Sampai sekarang produksi batik tulis masih dilihat sebagai ”kreasi seni batik artistik” yang mempunyai nilai filosofi dan ideologi tertentu. Pengguna batik tulis dilihat dari perspektif budaya masih tampak menyimbolkan adanya perbedaan kelas pada komunitas masyarakat tertentu. Dalam konteks ini Bourdeau (1984) melihat bahwa penilaian terhadap budaya tetap menjadi sumber daya dalam pembagian kelas, dan kekuasaan sosial yang menandai batas batas kelas, kompetensi budaya, dan modal budaya. Dalam implementasinya meski batik tulis tradisional konsumennya dianggap terbatas, tetapi keberadaannya masih dipertahankan. Karena berbagai motif batik tulis sebagai sebuah kreasi seni batik di Indonesia berkembang secara beragam.Sementara itu difinisi batik dalam kontek budaya masih juga belum jelas. Artinya apakah difinisi batik itu dilihat dari ”desain motif” atau dilihat berdasarkan ”aspek teknis” pembuatannya. Perdebatan tersebut berkisar pada ”apakah batik desain printing masuk dalam difinisi sebagai batik?.

Batik Desain Printing
Batik desain printing dapat dikelompokkan dengan batik kreasi modern, karena proses produksinya menggunakan teknologi modern, termasuk penggunaan TIK dan internet. Perdebatan di komunitas budaya muncul pakah desain printing masuk dalam katagori batik atau tidak. Argumentasi mereka bahwa desain printing telah merusak nilai-nilai artistik dan kreasi seni batik tradisional. Menurut mazab mereka desain printing dibuat hanya untuk kepentingan kekuasaan kaum pemilik modan dan kapitalis. Motif desain printing industri batik yang menggunakan teknologi dianggap telah menindas subordinasi komunitas pengrajin batik tulis di masyarakat komunal. Dalam kajian budaya popular konsep tersebut di kenal sebagai hegemoni kekuasaan. Dimana hegemoni dikenal sebagai proses pembentukan dan penggulingan keseimbangan antara kepentingan kelompok-kelompok fundamentalis (desain printing) dan kepentingan kelompok subordinat (pengrajin batik tulis) dimana kehadiran kelompok dominan hanya bisa masuk pada batas batas tertentu (Gramsci, 1968). Secara realitas desain printing dengan teknologinya mampu mengasai produksi, pemasaran, industri batik di Indonesia. Sedangkan para pengrajin batik tulis tradisional hanya mampu berkembang di komunitasnya. Meski demikian modernitas tidak bisa di hindari olehnya. Modernitas menurut Giddens (1990) tidak terbatas pada organisasi, tetapi juga sebagai alat kontrol terhadap relasi sosial, disamping memperkenalkan berbagai bentuk inovasi baru (desain printing) dengan permasalahan yang lebih kompleks.

Pembahasan
Penggunaan teknologi ”desain printing” pada industri batik dalam analisis budaya, dapat di analogikan sebagai bentuk subordinasi terhadap karya ”seni batik tulis tradisional” di masyarakat komunal. Persaingan yang tidak seimbang tersebut dalam konteks subordinasi akan mematikan ”industri batik tulis tradisional” di masyarakat. Dengan demikian kehadiran budaya modern tidak selamanya baik, tetapi juga tidak selamanya buruk. Interaksi budaya teknologi itu harus dilihat dari konteks permasalahan yang ditimbulkannya. Apakah hadirnya budaya teknologi merusak sendi sendi budaya lokal di masyarakat komunal, atau justru sebaliknya. Untung rugi pertimbangan budaya bukan sekedar diukur dari kepentingan ekonomi. Tetapi selalu mempertimbangkan berbagai aspek lainnya, termasuk sosial, teknologi dan budaya itu sendiri. Maka berbagai tuduhan negatif di masyarakat komunal atas hadirnya teknologi modern tidak bisa terhindarkan. Misalnya batik printing mempunyai potensi membunuh pengrajin batik tulis tradisional. Persoalannya sekarang tidak semudah itu, karena di era teknologi global hadirnya perangkat teknologi sebagai mesin modernitas tidak bisa dihindari oleh siapapun, termasuk para pengrajin batik tulis di masyarakat. Suka atau tidak TIK dan internet telah hadir di antara mereka. Artinya budaya TIK dan internet akan berinteraksi tanpa bisa dibatasi oleh ruang dan waktu diantara mereka. Artinya diera teknologi global, konsep untuk mempertahankan nilai-nilai budaya antara seni batik tulis dengan seni batik printing akan gugur dengan sendirinya. Persoalan utama bagaimana para pengrajin batik tulis tradisional bisa mengadipsi TIK dan internet untuk mengembangan kualitas dan eksistensinya. Pertentangan budaya itu dalam istilah filosofi jawa disebut : ”rebut balung tanpo isi” (artinya : memperebutkan sesuatu persoalan yang tidak ada gunanya) di masyarakat. Karena dengan teknologi informasi dan komunikasi, batik tulis bisa di lukis menggunakan program komputer, tidak harus dengan ketrampilan tangan manusia lagi. Sementara perkembangan batik printing merupakan bagian dari perkembangan teknologi yang tidak bisa dihentikan, oleh siapapun termasuk industri batik printing maupun pengrajin batik tulis tradisional. Barangkali pengrajin batik tradisional bisa belajar dari kehidupan pelukis. Pelukis tidak akan mati tergilas perkembangan ”desain grafis” dari perkembangan teknologi komputer. Hadirnya teknologi modern justru dianggap semakin memudahkan persoalan yang selama ini dianggap sulit. Modernitas yang ditandai dengan perkembangan industrialisasi telah mendorongan kekuatan modal di kalangan kapitalisme mengambil peran (Giddens, 991). Dalam konteks ini teknologi printing pada industri batik menjadi salah satu faktor yang mendorong populernya batik Indonesia di seluruh dunia. Tanpa adanya teknologi printing barangkali permintaan batik eksport di Indonesia tidak akan bisa dilayani. Pada sisi yang lain pemanfaatan TIK dan internet pada industri batik tidak mungkin lagi di klasifikasi apakah batik tradisional atau batik printing (modern). Karena keduanya bisa saja menggunakan TIK untuk mendukung usahanya baik secara individu maupun organisasi bisnis.
Permasalahan yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana nasib para seniman batik itu sendiri. Karena perlindungan terhadap para pengrajin batik tulis di komunitas masyarakat masih tergolong rawan.Mereka sebagai seniman kreasi batik belum ada penghargaan yang diberikan. Artinya meski karya batik yang mereka ciptakan diberikan nilai jutaan rupiah oleh pedagang, atau pengusaha, seniman batik tetap saja terpuruk nasibnya.Eksistensi mereka tidak lebih dari seorang buruh upahan yang menerima gaji UMR di lingkungan kerjanya. Dalam hal ini profesi pembatik tidak sama dengan profesi pelukis, meski keduanya sama sama menuangkan ide dan gagasan dalam sebuah lukisan di kanvas atau kain. Pelukis masih mendapatkan apresiasi tinggi dari konsumen, sehingga bagi mereka yang tertarik pada lukisan tertentu berani membeli puluhan juta rupiah/unitnya. Sedangkan nasib pengrajin batik meski telah menggunakan TIK dan internet masih belum mendapatkan penghargaan seperti itu. Nasib pengrajin batik masih ditentukan oleh Juragan batik, dimana ia bekerja. Baik pengrajin batik, desainer batik, ahli pencelup batik di negeri ini belum mendapatkan penghargaan yang setimpal dengan hasil karyanya. Secara realitas hampir semua produk batik kita tanpa identitas yang jelas, pada hal batik terlahir dari sebuah karya seni. Ragam motif batik yang ada di daerah tidak jelas siapa yang menciptakannya. Sekarang orang mengenal batik hanya sebatas motif, brand, dan dari kalangan masyarakat mana batik itu di koleksi. Tidak ada profesi pembatik yang terkenal seperti pelukis, kecuali sekedar pekerja informal. Dalam melestarikan batik sebagai sebuah identitas bangsa kita masih sering terjebak pada produk batik itu sandiri. Kita bangga bisa mengkoleksi ragam jenis batik dari berbagai motif dengan harga yang relatif mahal, tetapi tanpa mengenal siapa penciptanya. Pada hal keistimewaan dan kualitas produk batik yang kita pakai itu tercipta dari tangan tangan trampil mereka. Bukan dari bukan dari pengusaha, merk atau toko batik yang menjualnya.

Penutup
Mengakhiri ntulisan ini saya ingin mempertanyakan tentang persoalan perkembangan industri batik yang konon menjadi sebuah identitas bangsa, tetapi tidak pernah diberikan penghargaan bagi penciptanya. (1). Dalam hal tersebut apakah dengan kondisi yang demikian para ”seniman batik tradisional”bisa hidup dan bertahan ditengah tekanan arus kapitalisme, dan teknologi global dewasa ini. (2). Apakah mungkin batik dapat dikembangkan dalam lingkungan”seni” yang tidak pernah mendapat perlindungan hukum, penghargaan bagi penciptanya.


Sumber Bacaan :
Bourdieu.P.1984, Disingction: A.Social critique of the Jadgement of
Taste . Cambridge. MA: Havard University Press.
Williams, 1981. Dalam Chris Barker, 2005, Cultural Studies, Penerbit Kreasi Wacana
Jogyakarta.
Gramsci.Antonio.1968.Prison Notebooks.London : Lawrance & Wishart.
Kompas Jakarta Edisi Penerbitan tanggal 11 Desember 2009









.