Kamis, 27 Desember 2007

NEO-LIBERALISI TELEVISI KOMERSIAL

NEO-LIBERALISI TELEVISI KOMERSIAL

Oleh : S. Arifianto1

Abstraksi

Pengelolaan televisi komersial lebih cenderung mengarah pada konsep neo-liberalisme. Mereka tidak lagi memperhitungkan intervensi negara, apakah KPI atau lembaga abusmen lainnya memberikan tegoran, sepanjang pasar menghendaki mereka akan jalan terus. Setidaknya studi rating memberikan penjelasan betapa kuatnya tekanan mekanisme pasar televisi komersial dalam konteks pasar nasional maupun lokal yang mengadopsi konsep Neo-liberalisme.


Pendahuluan

Sejak regulasi dibidang penyiaran bergulir, dengan pemberlakuan Undang Undang No: 32/2002 tentang Penyiaran, perkembangan industri televisi komersial versi “neo-liberalisme” semakin berkembang pesat.Industri televisi itu bukan saja yang menyandang predikat siaran nasional tetapi juga yang menyatakan dirinya bersiaran regional dan local. Industri televisi komersial yang bersiran nasional itu sapai saat ini sebagian besar berdomisili di Jakarta. Ketika diberlakukannya Peraturan Pemerintah No:50 tentang pelaksanaan penyiaran komersial yang mengharuskan televisi di Jakarta yang semula bersiaran nasional untuk beralih ke-siaran berjaringan masih belum tampak adanya persiapan hingga saat ini. Mereka itu antara lain, RCTI, SCTV, IDOSIAR, TRANS TV, TPI, STAR TV, GLOBAL TV, LATV, METRO TV DAN TRA 7. Sedangkan televisi lain yang bersiaran regional berada di masing masing kota Propinsi seperti Jogya Tv,JTV, BaliTv, dan lainnya. Kelompok inilah yang bersaing secara kompetitif di dunia pertelevisian nasional untuk memperebutkan pangsa pasar dengan mengembangkan konsep neo-liberalisasi dibidang pertelevisian. Ketatnya persaingan dunia pertelevisian komersial dengan konsep neo-liberal dengan penggunaan teknologi modern menjadikan persaingan industri televisi semakin tidak terkendali, dan cenderung mengabaikan kode etik pertelevisian sebagai rambu rambu media penyiaran televisi yang mereka sepakati bersama. Etika bisnis semacam itu penting untuk di lakukan agar penyiaran televisi komersial bisa terjaga kualitasnya.Bagi televisi yang tidak terjaga kualitasnya cepat atau lambat pasti akan di tinggalkan pemirsanya. Sebaliknya televisi komersial yang mampu menjaga kulitas siarannya akan di cari konsumennya. Harapan itu sekarang jauh panggang dari api, khalayak hanya di buat mimpi untuk bisa menikmati kualitas siaran televisi komersial. Bahkan yang terjadi khalayak di paksa untuk mengikuti selera semu produk televisi yang bersangkutan untuk mendapatkan sekelumit hiburan. Pada hal media televisi yang di anggap ideal seharusnya mengutamakan kebutuhan khalayak akan informasi, pengetahuan dan hiburan yang berkualitas. Konsep media televisi yang berkualitas jika setiap program siarannya mengandung banyak manfaat bagi khalayaknya.Sejujurnya sisi manfaat itulah yang menjadi tolok ukur keberadaan televisi komersial dewasa ini.Namun demikian realitasnya tidak demikian, karena tolok ukur kekuatan dan kualitas televisi hanya tergantung pada modal yang di investasikan di dalamnya. Semakin besar nilai investasi yang ditanam semakin kuat posisi beraning mereka dalam mersbut pasar, sebaliknya televisi yang bermodal pas pasan akan semakin kolep dan programnya semakin tidak jelas. Pada hal mereka harus bersaing ketat untuk merebut simpati khalayak yang semakin kritis.
Implikasinya industri televisi yang mampu bertahan, hanyalah mereka yang ditopang modal besar oleh konglomerasi dibidang bisnis media,sehingga sebagian dari mereka saling melakukan marger atau akuisisi guna menyehatkan posisi tawarnya. Menurut Curran,(1999) “dengan para konglomerat ini menjadikan media sebagai bisnis besar untuk meraup keuntungan dengan wilayah garapan yang lebih luas”.Apa yang dilakukan para kongklomerasi bisnis media televisi ini tidak ada bedanya dengan mereka yang berbisnis bidang manufacturing, yang memproduksi barang komuditas pada umumnya. Dalam hal ini James Lull (1995),berpendapat bahwa :
kita bisa saja menganalisis implikasi politik konglomerasi media sebagai proses distribusi ideology dominan, dimana para prodosen ideology tersebut menjadi elite informasi. Mereka bisa mempengaruhi media massa dengan mensponsori berbagai program unggulan dengan mengiklankan produknya. Dominasi kekuasaan mereka yang begitu kuat itu difokuskan pada industri media dan hiburan, sehingga dapat jaminan ideology dan perspektif mereka secara terus menerus untuk disampaikan kepada khalayak”.

Bagi konglomerasi pemilik industri media hegemoni kekuasaan semacam ini bukan sekedar berasal dari akses informasi, tetapi karena posisinya atas kepemilikan media itu sendiri memberikan mereka kekuasaan yang mempunyai potensi untuk mempengaruhi produk informasi yang mereka jual kepada khalayak.Televisi bukanlah cerminan dari sebuah realitas, tetapi realitas yang seharusnya bisa di ketahui khalayak telah di konstruksi sedemikian rupa sesuai dengan keinginan pemilik modal. Ideologi media televisi yang semula untuk memenuhi kebutuhan informasi public sudah semakin berkurang karena terhegemoni oleh kekuasaan melalui system keagenan yang di ciptakan. Bentuk nyata keagenan itu terkait dengan program siaran televisi yang mengelompok dan bersaing secara kompetitif berdasarkan genre masing masing. Meski dalam tataran kualitas program siaran yang diunggulkan rendah, tetapi jika retingnya tinggi tetap saja di pertahankan untuk di siarkan karena akan meraup iklan lebih banyak.Semakin tinggi perolehan iklan semakin tinggi pula benefit yang di hasilkan untuk mendukung biaya operasional. Tetapi di lain pihak larisnya program televisi komersial sebagai ajang promosi semakin memperkeruh kompetisi yang tidak sehat bahkan jauh dari etika bisnis antar media televisi, karena mereka bukan lagi mempertahankan kualitas program siarannya sebagai bentuk layanan kepada khalayak, tetapi mereka lebih mengejar rating tertinggi setiap programnya. Artinya program mana yang menduduki rating tinggi itulah yang harus dipertahankan, meski kualitas dan implikasinya kepada khalayak sering di permasalahkan. Dalam posisi ini konsumen hanya dijadikan obyek sebuah penyiaran media televisi yang kurang berkualitas, bukan ditempatkan sebagai subyek yang harus mendapatkan layanan informasi dan hiburan yang sehat dan berkualitas sebagaimana diamanatkan dalam UU No:32/2002 tentang penyiaran. Berangkat dari latar belakang permasalahan tersebut tulisan ini ingin mendiskusikan mengapa model program siaran televisi komersial menjadi seragam, dan bagaimana implikasinya terhadap khalayak pemirsanya. Permasalahan ini menjadi menarik karena, televisi komersial keberadaanya sangat tergantung dari iklan, sementara penejualan iklan akan semakin kompetitif pada acara yang mempunyai rating tertinggi pemirsanya. Implikasinya meski tidak suka dengan mata acara televisi yang bersangkutan khalayak telah di giring bahkan dipaksa untuk melihat acara televisi meskipun sebenarnya mereka tidak menghendakinya. Dalam lingkaran ini pihak yang dirugikan adalah konsumen pemirsa televisi komersial, karena kuatnya hegemoni kekuasaan konglomerasi media televisi,konsumen dibuat tidak berdaya menghadapinya. Sebenarnya solusinya sangat mudah, misalnya dengan matikan cenel televisi habis perkara. Persoalannya sekarang khalayak menempatkan televisi bukan sekedar untuk mendapatkan informasi, tetapi yang paling dominan adalah untuk memperoleh hiburan, khususnya bagi masyarakat di kawasan perdesaan. Sementara kalangan pembisnis melihat televisi komersial merupakan lahan yang paling potensial untuk melakukan promosi segala macam produk yang di hasilkannya, baik berupa barang jasa maupun industri. Ada paradok yang dikonstruksi televisi komersial versi neo-liberalisme, yakni di satu sisi televisi komersial memberikan berbagai macam hiburan, informasi dan pengetahuan, tetapi pada sisi yang lain membawa khalayak ke arah terciptanya budaya komersial terhadap produk kapitalisme yang di konstruksi oleh televisi komersial itu. Pada konteks ini sangat tipis bedanya apakah khalayak pemirsa televisi komersial itu di bawa ke alam hiburan, berpengetahuan dan informasi atau justru sebaliknya di jerumuskan. Pada titik inilah dialektika perlu dibangun dan di kaji lebih jauh bagaimana sebenarnya praktik operasional televisi komersial dilihat dari pendekatan neo-liberalisme.

Praktik Neo-Liberalisme Televisi Komersial
Belajar dari tulisan Mosco (1996:27) ekonomi politik media massa merupakan studi yang menguraikan relasi social,politik dan ekonomi yang mempengaruhi produksi, distribusi, konsumsi dan sumber daya dalam pengelolaan media. Meski konsep ini sudah sering digunakan untuk kerangka teori berbagai penelitian untuk melihat kecenerungan media massa, tetapi masih tetap relevan untuk di gunakan sampai sekarang. Maka dari itu dalam konteks teori ekonomi politik model keseragaman dalam program siaran televisi komersial menjadi penting dan menarik untuk di diskusikan dalam perspektif neo-liberalisme. Studi yang pernah dilakukan Wibowo,dkk (2003) menunjukkan bahwa “perkembangan kapitalisme sekarang ini tengah memasuki apa yang disebut neo-liberalisme. Pada dasarnya ideology neo-liberalisme adalah, ”menjadikan ekonomi sebagai kunci untuk memahami dan mendekati berbagai masalah penggusuran arena hidup sosial menjadi urusan individu dan pemindahan regulasi dari arena sosial ke urusan personal”. Aliran ini percaya bahwa tidak hanya produksi, distribusi dan konsumsi yang tunduk pada hukum pasar tetapi juga seluruh kehidupan di masyarakat. Gagasan besar neo-liberalisme lebih di titik beratkan pada tata-cara bertransaksi dalam kegiatan ekonomi bukanlah satu dari berbagai model hubungan antar individu, melainkan satu satunya model yang mendasari semua tindakan dan relasi antar individu baik berupa persahabatan, keluarga,hukum, tata negara, maupun hubungan lainnya.
Menurut pendekatan teori neo-liberalisme semua tindakan tersebut hanya dipahami sebagai model hubungan menurut kalkulasi transaksi ekonomi. Sedangkan aktivitas penyiaran dalam media televisi komersial menurut paham neo-liberalisme harus dilihat sebagai entitas ekonomi yang bermuara pada kalkulasi untung dan rugi. Tulisan Priyono, dalam Wibowo dkk (2003:54) mengidentivikasikan secara ontologis manusia sebagai homo ekonomicus mencakup dua hal, yakni : (1).Hubungan antar pribadi dan sosial, harus dipahami dengan menggunakan konsep dan tolok ukur ekonomi. Artinya ontology ekonomicus mempunyai implikasi juga terhadap epistimologi ekonomi. (2).Prinsip ekonomi merupakan tolok ukur untuk melakukan evaluasi dalam berbagai tindakan dan kebijakan kekuasaan suatu negara. Sehingga akibatnya ontology dan epistimologi economicus akan juga melahirkan etika economicus pula. Tokoh lain seperti Lerner (1972) melihat jika dalam liberalisme klasik menuntut pemerintah untuk menghormati kinerja pasar sebagai salah satu cara dalam kehidupan ekonomi, neo-liberalisme menuntut kinerja pasar bebas sebagai suatu tolok ukur untuk menilai berhasil tidaknya semua kebijakan pemerintah.
Dalam hal ini penelitian Wibowo dkk (2003:62) membagi tiga faktor yang mendorong munculnya neo-liberalisme antara lain,(1).Berkembangnya perusahaan multinasional (Multinational Corporation-MNC) sebagai kekuatan yang nyata bahkan memiliki asset lebih besar dari negara kecil didunia. Mereka umumnya memiliki kantor pusat dinegara-negara maju seperti di (AS,Uni Eropa,Kanada,Jepang dan Australia) sekaligus memanfaatkan insfrastruktur negara yang bersangkutan, dan industri penyiaran seperti media televisi bukan pengecualian (misalnya ANTV di akuisisi oleh STARTV dari Australia). (2).Munculnya rezim internasional yang berfungsi sebagai surveillance system, untuk menjamin bahwa negara-negara didunia patuh menjalankan prinsip pasar bebas dan perdagangan bebas (WTO,IMF, dan World Bank) untuk membuat evaluasi dan laporan tahunan atas negara di seluruh dunia. Dalam konteks ini Hidayat (2003:1) meng-istilahkan World Bank dan IMF sebagai dua institusi yang telah menjalankan fungsi ideology neo-liberalisme sebagai …built in systemic mechanism of economic liberation,opposing not only socialism but olso nationalism as well,in favor of the progressive extention of international market force. (3). Terjadinya revolusi bidang teknologi informasi komunikasi dan transfortasi. Tanpa kemajuan ini tidak mungkin terjadi kemajuan neo-liberal. Gaplin & Gaplin (2002:176) menyebut sebagai perubahan teknologi menjadi basis perubahan peran multinational corporation dalam ekonomi global, termasuk didalamnya media televisi komersial yang cenderung mengadopsi konsep pendekatan neo-liberalisme dalam operasionalisasinya.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi seperti internet secara teknis memungkinkan pengorganisasian bisnis dan pengelolaan system industri dan distribusi global, dimungkinkan bisa mengurangi biaya industri barang dan jasa manufakturing. Sedangkan pada saat yang sama neo-liberalisme mengidealkan internasionalisasi kekuatan pasar. Artinya bukan hanya mekanisme pasar yang harus dipakai untuk mengatur industrialisasi pertelevisian tetapi juga kebijakan negara terhadap dunia pertelevisian seperti semangat dalam UU No: 32/2002 Tentang Penyiaran yang sebenarnya lebih banyak mengadopsi konsep neo-liberalisasi negara maju seperti Amerika, Inggris, Eropa Barat dan sebagian negara Asia Tenggara yang industri pertelevisiannya sudah maju di banding Indonesia.
Industri televisi komersial dalam konteks ini dimungkinkan untuk membentuk jaringan kemana saja baik yang berskala lokal, regional, nasional dan internasional, sepanjang pasar menghendakinya. Dengan demikian penetrasi pasar internasional dalam dunia penyiaran, khususnya media televisi komersial di Indonesia menjadi tidak bisa terhindarkan lagi, mengingat industri pertelevisian memang syarat modal dan teknologi tinggi yang harus dipenuhi demi tututan pasar bebas tersebut. Tetapi sayangnya meningkatnya industri televisi komersial dewasa ini masih belum di imbangi dengan meningkatnya multiplier effek yang cukup memadai di kalangan masyarakat lingkungannya. Misalnya berkorelasi dengan semakin meningkatnya rumah-rumah produksi film yang bisa menyerap tenaga kerja di lingkungannya dsb. Pada hal meningkatnya multiplier effek suatu industri akan memperkuat posisi tawar bagi media televisi yang bersangkutan. Kepedulian lingkungan untuk pembangunan sebuah industri, termasuk industri televisi menjadi sangat penting untuk mempertahankan kredibilitasnya dalam mengawal pasar baik secara domestic, nasional maupun internasional. Konsep ini yang semakin dinggalkan oleh industri televisi komersial di tanah air belakangan ini. Mereka melakukan akuisisi hanyalah untuk memperkuat posisi modal dan kekuatan perusahaan, dan belum banyak menyentuh kepentingan public atau khalayak sebagai konsumennya untuk mempertahankan posisi pangsa pasar.
Jika dewasa ini akuisisi dan marger sudah dimulai untuk memperkuat pasar, bukan tidak mungkin dimasa mendatang kebijakan privatisasi industri pertelevisian juga diberlakukan ketika pasar global mengharuskannya. Karena kebijakan privatisasi sangat kental dengan ideology bisnis yang menganut aliran neo-liberalisme, konsep neo-liberalisme melihat bahwa negara tidak punya alasan apapun untuk mencampuri dan mengawasi pasar, dan pasar yang justru mendasari semua kebijakan negara dan masyarakat, keberhasilan tidaknya kebijakan negara ditentukan oleh mekanisme pasar.
Apa bila ada kebijakan sosial masyarakat dalam welfare system yang mengganggu kinerja pasar harus dihapus, bahkan paling tidak kebijakan itu harus diubah agar sesuai dengan prinsip pasar bebas. Dalam konteks ini semua kebijakan neo-liberalisme berusaha memangkas peran pemerintah, karena sejujurnya regulasi penyiaran khususnya media televisi dan radio sudah cenderung mengarah pada konsep neo-liberalisme. Hidayat (2003:2) mencatat,:

Semua trasformasi dalam sector media sebenarnya sudah mencerminkan peralihan dari state regulation dimana operasional industri media tidak lagi didasarkan atas intervensi pemerintah, tetapi sudah cenderung mengarah pada bentuk mekanisme pasar, bahkan keberadaannya ditentukan oleh kekuatan pasar.

Kuatnya tekanan neo-leberalisasi pada perkembangan industri televisi komersial di tanah air yang ditandai dengan pengurangan peran negara (pemerintah) seperti tercermin dalam kebijakan regulasi penyiaran, setidaknya telah membebaskan media televisi dari control negara, tetapi pada sisi yang lain akan semakin memperbesar kerentaan media dari represi kapitalis yang mengarah pada suatu kediktatoran pasar (market dictatorship). Selanjutnya menurut Hidayat (203:3) semakin besar peran pasar semakin besar kebebasan media, semakin besar kebebasan media semakin besar pula kebebasan audience untuk memilih media. Dogma semacam itulah yang diyakini kaum fundamentalis pasar baik dikalangan pemilik modal industri media televisi, jurnalis industri media dan berbagai segmen media televisi itu sendiri. Tuntutan kebebasan yang selalu ditekankan kepada public sejujurnya merupakan neo-liberalisme yang lebih cenderung mengadopsi kekuatan pasar, yang memiliki kekuatan modal.
Dalam kasus ini Deliarnov (2005:175) menyimpulkan bahwa ajaran neo-liberalisme menghendaki peran negara harus surut,meski sebenarnya ada kontroversi dalam hal ini, karena di era globalisasi seperti sekarang ini peran pemerintah justru dibutuhkan sebagai regulator. Saat ini investor nasional maupun internasional menanti aturan yang jelas tentang kepastian hukum, agar pertumbuhan media televisi komersial yang sekarang lagi carut marut itu dapat dibenahi demi kepentingan masyarakat bukan sekelompok pembisnis media yang harus dilindungi, tetapi kepentingan public terabaikan. Persoalannya bisakah ideology politik media televisi komersial seperti itu ditaklukkan oleh para pelaku bisnis dibidang pertelevisian ?

Interaksi Kekuasaan Dalam TV Komersial
Jika di kaji lebih jauh carut marutnya pertelevisian di Indonesia saat ini dapat dilihat dari kebijakan regulasi televisi komersial yang tercermin di Undang Undang No: 32/2002 Tentang Penyiaran. Dimana dalam konstelasi tersebut ada tiga komponen yang saling tarik menarik dan mempengaruhi berdasarkan kepentingan mereka masing masing, yakni negara, pelaku pasar, dan publik. Kontroversi di antara ketiga unsur itu sering terjadi karena masing masing mempunyai tolok ukur yang berbeda. Misalnya masyarakat sebagai khalayak (konsumen media televisi) punya ukuran tersendiri yakni demokratisasi media televisi yang ditandai dengan desentralisasi system penyiaran televisi, pembukaan seluas luasnya terhadap akses public terhadap penyiaran (televisi) serta deversivikasi keluaran (output) tayangan untuk pemberdayaan public secara universal.Tuntutan public ini menjadi kontradiktif dengan konsep neo-liberal yang sebagian besar digunakan paradigma pengelolaan televisi komersial. Maka dari itu sampai kapanpun tuntutan public yang demikian menjadi sulit terealisasi karena landasan berpikirnya memang berbeda.Pemaksaan hanya akan membuahkan konflik konflik baru diantara mereka yang memiliki konsep yang berbeda tersebut. Atau dengan kata lain masing masing punya tolok ukur yang bervariasi. Varian konsep itu sendiri tidak mungkin di persandingkan karena memang berangkatnya berbeda konsep kerangka pemikirannya.
Sementara media televisi komersial sebagai pelaku pasar juga mempunyai tolok ukur tersendiri yakni bagaimana agar investasinya bisa kembali sekaligus mendapatkan propit yang sebesar besarnya bahkan berusaha untuk menguasai pasar pertelevisian. Sedangkan negara berusaha untuk melakukan hegemoni terhadap pertelevisian melalui regulasi dan kebijakan yang dituangkan dalam peraturan pemerintah, agar televisi komersial bisa dikendalikan dengan dalih demokrasi yang kebablasan. Berbagai kepentingan politik seperti itu kadang kala sering mengalami benturan benturan dalam implementasi operasionalnya. Ketiga kekuatan tersebut masing masing berkeinginan menanamkan ideologinya dalam undang undang No:32/2002 Tentang Penyiaran, sehingga akibatnya kebijakan politik di dunia pertelevisian menjadi silang sengkurat seperti yang terjadi dewasa ini. Masing masing berkepentingan untuk memasukkan ideologinya, agar bisa memberikan konstribusi bagi perubahan nasional, padahal di dalamnya tidak bisa diterima secara utuh. Perbedaan pandangan itu muncul karena masing masing pihak ingin tampil secara bersamaan dalam konstelasi politik dan ekonomi yang tidak memberikan wadah atas pola pemikiran yang berbeda konsep tersebut.
Implikasinya sejauh relasi kekuasaan antar kelompok tersebut bersifat asimetris dan tidak seimbang maka kebijakan pada tataran implementasi di dunia pertelevisian selalu didominasi kelompok tertentu yang memiliki surplus sumber daya ekonomi dan politik. Tetapi suatu hal yang menarik untuk di kaji lebih jauh bahwa dalam banyak kasus ketiga kekuatan tersebut berbagi dominasi sehingga terjadi dinamisasi operasionalnya di masyarakat. Karena di dalam proses mengunstruksi regulasi penyiaran sebagai realitas obyektif dilakukan melalui eksternalisasi yang melibatkan interaksi berbagai kelompok kepentingan, dan realitas sosial itu di reproduksi melalui proses sosial yang sejenis pula. Dalam suatu relasi tertentu pihak yang menempati posisi menguntungkan cenderung akan melakukan proses legitimasi. Realitas sosial dalam implementasi penyiaran televisi itu di difinisikan sebagai symbolic reality yang terinstitusionalisasi sehingga melahirkan suatu realitas yang alami, dan obyektif. Misalnya negara mengunstruksi publik dalam kontek penyusunan regulasi penyiaran, sebagai pihak yang mendapatkan perhatian khusus, karena aktivitas dunia penyiaran menggunakan ranah public, tetapi sebaliknya pemerintah menganggap public sebagai pihak yang lemah dan tidak berdaya, maka tidak perlu bimbingan. Maka tidak heran jika hasil yudicial review UU No: 32/2002 tentang penyiaran memangkas peran KPI sebagai regulator dunia penyiaran, seperti yang di kehendaki pembisnis pertelevisian.
Namun sebaliknya publik melihat negara lebih bersikap represif dan otoriter terhadap regulasi penyiaran, sehingga harus dipangkas agar public yang lebih dominan dalam dunia penyiaran atau media televisi komersial. Publik melihat media televisi komersial yang condong kearah neo-liberal merupakan suatu realitas yang tidak kalah membahayakannya dibanding negara, maka dalam regulasi penyiaran agar bisa memberikan garis yang tegas bagi industri penyiaran atau televisi, sehingga citra public dalam dunia penyiaran tetap terjaga kualitasnya.
Dilihat dari argumen tersebut neo-liberalisasi media televisi komersial dianggap bisa memunculkan ancaman terhadap kualitas kebebasan media selama ini. Pertama dengan semakin berkembangnya media televisi komersial yang semakin kompetitif, maka perilaku media televisi semakin ditentukan dengan apa yang disebut Kellner (1990:6) sebagai the logic of accumulation and exclusion, logika kepentingan akumulasi modal yang nota bene merupakan konstitusi rezim kediktatoran pasar. Kedua akumulasi modal akan membuat biaya untuk memperoleh akses pada media penyiaran khususnya televisi komersial akan menjadi mahal, karena hanya terjangkau oleh kelompok tertentu. Bagi kelompok public yang tidak mempunyai kekuatan politik atau tidak memiliki sumber daya, peluang untuk memperoleh akses ke media televisi guna menyuarakan issu kepentingan mereka akan dipersempit oleh kepentingan industri media televisi dalam menampilkan issu dan peristiwa yang memiliki nilai jual. Ketiga,logika mekanisme pasar berpotensi besar untuk mendepak keluar bagi institusi media televisi yang tidak mempu mematuhi rezim kapitalis atau neo-liberalisme berupa tekanan dari pasar pengiklan. Konsep alami yang berlaku dalam mekanisme pasar adalah rasionalitas maksimali produksi, akumulasi modal berpotensi memunculkan konglomerasi, konsentrasi pasar, pemusatan kepemilikan modal serta kepemilikan media televisi di sejumlah kecil konglomerasi media yang mempunyai akumulasi modal.
Keempat mekanisme pasar bebas pada industri televisi komersial akan menciptakan sebuah struktur yang memproduksi kesenjangan antar kelas ekonomi di masyakat sebagai khalayak pemirsa televisi. Misalnya masyarakat kelas menengah keatas menjadi sasaran program media televisi komersial, karena berpotensi dan berdaya beli bagi setiap program televisi yang mendatangkan iklan. Sedangkan masyarakat kelas bawah hanya dijadikan pelengkap penderita sehingga berpotensi menciptakan kesenja ngan rasionalitas diantara khalayak di masyarakat.

Rating Sebagai Tolok Ukur Program TV Komersial
Bagi media televisi komersial yang berafiliasi pada aliran neo-liberal,keberhasilan program siarannya sangat tergantung pada perolehan rating.Mereka melihat program siaran yang menghasilkan rating tertinggi akan tetap dipertahankan, meski kualitasnya resisten dengan kepentingan khalayak. Misalnya menurut Amelia Hezkasari Day (KPI) dalam Majalah Cakram (Januari 2006) dalam hasil penelitiannya selama piriode Juli-Desember 2005, kualitas tayangan televisi komersial pada semester kedua tahun 2005 cenderung memburuk jika dibandingkan semester pertama. Acara siaran televisi komersial banyak menayangkan adegan vulgar, seks dan kekerasan, karena persaingan program yang semakin kompetitif dalam menarik pemirsa. Dari setiap jam tayangan prime time yang disiarkan 11 stasiun televisi komersial di Jakarta, 70 % sinetron mengandung kekerasan dan eksploitasi seksual, dan berbagai bentuk pelanggaran lainnya.
Secara berurutan, SCTV dan Trans TV,ditemukan melakukan pelanggaran terbanyak, yang kemudian disusul oleh RCTI dan Global TV, Lativi,TV 7, ANTV serta TPI, Metro TV dan Indosiar. Banyaknya pelanggaran kode etik penyiaran televisi seperti itu mencerminkan bahwa persaingan media televisi komersial dengan konsep neo-liberal tidak bisa dihindari, karena mekanisme pasar telah menuntut, dan membuat industri media televisi komersial melakukan strategi penetrasi pasar, yang kadang kala ditempuh dengan jalan yang sangat riskan mendekati limit pada batasan batasan terjadinya bentuk kearah pelanggaran. Mereka berbuat seperti itu adalah untuk mengejar rating tertinggi agar dapat meraup keuntungan dari pemasang iklan. Sehingga akibatnya banyak diantara televisi komersial hanya menggunakan salah satu lembaga survey bidang rating media sebagai sebuah legalitas untuk menentukan tolok ukur program televisi komersial, seperti AGBNelsen yang banyak menjadi rujukan media komersial dewasa ini.
Data AGBNelsen Media Research menyebutkan urutan pertama dari 10 besar program televisi komersial Bulan Januari sampai dengan Bulan Oktober tahun 2005 sebagai berikut :
Tabel. 1
Urutan Pertama dari (10) Top Rating Televisi Komersial
Tahun 2005

No
Stasiun TV
Nama Program Unggulan
Khalayak
Rating
Pasar
01
RCTI
Bw Merah Bw Putih (seri)
4706.000
12,5 %
35,2 %
02
SCTV
Sholin Soccer
3011.000
8.0 %
22,2 %
03
Indosiar
7U Eiffel..I’m In Love
3736.000
9.9 %
28,9 %
04
Trans TV
Eksklusif Peterpan Utk.Teman
3770.000
10.0 %
27,8 %
05
TV 7
Tiger Cub Ind vs Singa (live)
4662.000
12,4 %
33,3 %
06
TPI
Rahasia Illahi
5326.000
14,2 %
40,0 %
07
Metro TV
4 Jam Menjadi Saksi Sunami
1626.000
4,3 %
12,0 %
08
Global TV
Prison On Fire II
578.000
1,5 %
4,3 %
09
ANTV
Liga Jarum Indonesia Final
2681.000
7,1 %
29,6 %
10
Lativi
The Twin Dragons
1293.000
3,4 %
9,7 %
Sumber : Majalah Cakram Edisi Khusus Televisi Januari 2006.

Dari table 1, terlihat program televisi komersial di tahun 2005 yang dijadikan program unggulan (rating tertinggi) masing masing stasiun televisi komersial untuk menjual iklan di prime time,guna mencari penetrasi pasar. Rating tertinggi ditempati oleh Rahasia Illahi yang ditayangkan TPI,dengan rating 14,2 %, dengan pangsa pasar mencapai 40%. Sejalan dengan paradigma neo-liberalisme yang menghendaki pertimbangan ekonomi sebagai satu satunya orientasi penyiaran media televisi komersial yang berorientasi pada pasar bebas yang harus dipertahankan, maka siaran berjaringan seperti yang diamanatkan oleh regulasi penyiaran akan menjadi suatu hal yang sangat krusial bagi industri televisi komersial yang sekarang bersiaran nasional.
Kebijakan itu baik secara langsung atau tidak langsung akan memangkas perolehan iklan. Jika selama ini kue iklan dinikmati sendiri oleh masing masing televisi tersebut, nantinya harus dibagi dengan televisi jaringan yang berada di daerah. Dengan konsep ini maka televisi komersial yang menggunakan konsep neo-liberalisme akan beranak pinak sampai ke daerah.Mereka nantinya harus bertarung dengan pemain local yang sekarang sudah menguasai pasar di daerah yakni televisi lokal seperti, Bali Tv, Jawa Pos tv Jatim, Jogya televisi,Publik Katulistiwa TV(PKTv), Bandung TV,Jak Tv,Riau Tv, Batam Tv, Cahaya Tv Banten, Cakrawala Tv Semarang,Lombok Tv,Makasar Tv, Borobudur Tv,Jateng, Gorontalo Tv,Chanel Tv Jakarta,Manado Tv,Megaswara Tv Bogor, Tangerang Tv, Srijunjung Tv Bengkalis.
Kelompok televisi lokal yang beroperasi di daerah ini juga menggunakan konsep neo-liberalisme dengan memperebutkan pasar local dengan mengusung budaya local untuk menarik konsumen. Mereka juga menggunakan tolok ukur rating lokal sebagai salah satu mata acara yang harus dipertahankan untuk pengiklan,meski mereka harus bekerja keras dan hanya tv local yang mampu menciptakan cultural dan emotional bonding dengan khalayaknya yang bisa bertahan.Harapan yang terpancar dari keberadaan televisi local ini mengharuskan mereka lebih peka terhadap pelestarian kearifan local dimana televisi local itu berdomisili.Meski komodikasi kebudayaan local menjadi sebuah industri budaya komersial di televisi juga tidak bisa lepas dari konsep neo-liberal, tetapi setidaknya ada kedekatan dengan khalayaknya.

Penutup
Pada akhirnya didapatkan simpulan bahwa pasca regulasi undang undang no : 32/2002 tentang penyiaran pengelolaan televisi komersial di Indonesia lebih cenderung mengarah pada konsep neo-liberalisme.Mereka tidak lagi memperhitungkan intervensi negara, apakah KPI, Lembaga Sosial Keagamaan atau lembaga abusmen lainnya memberikan tegoran, sepanjang pasar menghendaki mereka akan jalan terus. Setidaknya studi rating seperti yang telah dipaparkan pada bagian tulisan ini memberikan penjelasan betapa kuatnya tekanan mekanisme pasar televisi komersial dalam konteks pasar nasional maupun lokal. Neo-liberalisme dalam dunia pertelevisian komersial tidak lagi memberikan dorongan pada pemilihan pasar bagi program televisi komersial untuk bersaing secara sehat., tetapi juga berakibat kualitas layanan kepada konsumen cenderung terabaikan. Konsumen sebagai khalayak pemirsa televisi komersial tidak lagi mendapatkan kesempatan untuk melakukan klaim atas layanan televisi komersial ini, sehingga khalayak sebenarnya hanyalah sebagai obyek yang tidak berdaya atas semua tayangan program televisi komersial yang menganut konsep neo-leberalisme tersebut.


Daftar Pustaka
Curran,James,and Michael Gurevitch,1991,Mass Media and Society,London:
Edward Arnol
Deliarnov, 2005, Ekonomi Politik, Penerbit Erlangga Jakarta
Giplin &Gilpin, Robert Dan Jeans Millis Gilpin 2002,The Challenge of Global
Capitalism, Jakarta Raja Grafindo Persada.
Hidayat, Deddy N,(ed),2000 Pers Dalam Revolosi Mei, Penerbit PT.Gramedia,
Jakarta Tahun
Kellner, Douglas (1990) Television and the Crisis of Democracy and The Mass
Media, Cambridge University Press.
Lull James,1995,Media Communication Culture: A.Global approach Cambridge
:Polity Press
Lerner,Aba,P. 1972,The Economic and Politic of consumer sovereignity dalam
Esay, American Economic Review No: 62 :259
Mosco,Vincent,1996, The Political Economy of Communication,London : Sage
Wibowo, I dan Franciskus Wahono, Neo-liberalisme, Penerbit Cindelaras Pustaka
Yogyakarta Tahun,2003.
…………Majalah Cakram Edisi Khusus Televisi, PT Duta Media Internusa,
Jakarta, Januari, 2006
1 S. Arifianto, pemerhati media dan bekerja sebagai peneliti bidang komunikasi dan media di BPPI Yogyakarta.

Rabu, 26 Desember 2007

KEPERKASAAN IKLAN & KETIDAK

KEPERKASAAN IKLAN & KETIDAK
BERDAYAAN KONSUMEN

Analisis Iklan True Tone Lagu Terbaru Indra Lesmana dan Iwan Fals
Pada Hand Phone Nokia NSeries.

Oleh : S. Arifianto

Abstraksi :
Keperkasaan hegemoni kapitalistik yang di reprsentasikan iklan disply Nokia Nseries tidak sekedar untuk menarik keuntungan,tetapi di balik itu menjadikan konsumen tidak berdaya untuk menghadapinya. Ia menempatkan konsumen penggemar kedua musisi itu (Iwan Fals dan Indra lesmana) tidak sekedar untuk menarik simpati masyarakat, tetapi membidik mereka menjadi calon pembeli baru atas produk Nokia Nseries di pasaran. Sementara ideology yang ingin dibangun prodosen adalah ingin menunjukkan bahwa negara Finlandia yang masuk katagori miskin tetapi mampu mengembangkan teknologi komunikasi canggih di dunia. Sebenarnya hal itu bisa di jadikan cerminan bagi Indonesia yang sedang mengembangkan teknologi informasi di masyarakat saat ini.


Pendahuluan
Mengamati perilaku konsumen atas keperkasaan iklan di media massa pada era global ini sungguh menarik, karena konsumen dihadapkan pada dua yang pilihan tidak menguntungkan. Tidak menguntungkan karena konsumen ditempatkan pada posisi yang sangat lemah, artinya di satu sisi konsumen memperoleh informasi yang cukup imajinatif dari sebuah propaganda produk yang di iklankan, tetapi pada sisi yang lain ia bisa terperosok ke arah perilaku konsumtif, jika tidak mampu memahaminya dengan cermat. Tetapi juga di akui bahwa di era global ini, informasi yang masuk ke ruang public melalui media massa telah bergeser menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat. Siapa yang menguasai berbagai jenis informasi ia akan menguasai dunia, khususnya dibidang bisnis.1 Dalam konteks ini di analogikan bahwa dengan informasi yang jelas dan transparan melalui produk yang di iklankan, konsumen bisa mendapatkan informasi serta dapat menentukan sikap untuk memilih dan memilah semua informasi iklan, apakah ia perlu atau tidak mengkonsumsi produk yang bersangkutan. Secara historis masyarakat konsumen di Indonesia telah terbentuk sejak masuknya kebudayaan modern dimasa pemerintahan Kolonial, dan dipernalkan pada masyarakat pribumi sejak diperkenal kannya pendidikan modern di abad IXX. “Kondisi itu telah merubah struktur sosial masyarakat priyayi dan birokrat dengan gaya hidup modrn masyarakat belanda”. Gaya hidup masyarakat modern itulah yang di jadikan sebagai sebuah identitas status sosial tertentu bagi komunitas kalangan masyarakat tertentu. Fenomena seperti itu akhirnya mendorong semakin tumbuh dan berkembangnya budaya modern yang cenderung menuju budaya konsumtif,yang berkembang pesat hingga saat ini.
Dalam kajian historical hal itu terjadi secara bertahap, pada awalnya ia mengkonsumsi barang kebutuhan sehari seperti yang di contohkan oleh masyarakat Belanda, dan akhirnya berkembang semakin meluas menjadi komunitas baru yang memiliki selera seperti masyarakat modern di Eropa”2 bahkan sifat konsumerisme itu sendiri telah muncul pada dekade post colonial. Ketika itu perilaku sosial masyarakat yang berkorelasi dengan gaya hidup secara tidak sadar berhubungan juga dengan masyarakat konsumen modern. Terbangunnya masyarakat konsumen modern pada dasarnya menciptakan keterbukaan baru yang lebih pluralistik3 Dalam konteks ini masyarakat konsumen bukan terbatas pada barang primer, tetapi juga sekunder dan tersier, dan hal itu erat hubungannya dengan gaya hidup masyarakat serta terbangunnya konsumerisme di semua jenjang sosial. Gaya kehidupan masyarakat modern di abad ini di simbolkan dengan kepemilikan alat komunikasi canggih misalnya, telephone seluler (hp), camera digital,dan peralatan elektronik lainnya. Hand phone bagi masyarakat telah bergeser menjadi kebutuhan sarana komunikasi yang tidak bisa di tinggalkan bagi sebagian masyarakat tertentu. Artinya kehidupan masyarakat modern sangat tergantung dengan keberadaan alat komunikasi yang bernama hp tersebut. Barang kali jika seorang yang ketinggalan dompetnya masih tidak merasa terganggu, tetapi ketika hand phone (hp) yang tertinggal ia menjadi kebingungan, karena ada sesuatu yang di anggap kurang lengkap pada dirinya. Ketinggalan hp berarti ia tidak bisa mengakses informasi dari alat bantu tersebut, sehingga merasa tidak percaya diri dalam penampilannya gara gara ketinggalan hand phone (hp) nya.
Tetapi dalam perkembangannya hp bukanlah semata-mata alat komunikasi biasa, hp telah bergeser menjadi computer mini yang bisa digunakan untuk mengakses dan mengirim data,photo,film dan sejenisnya kepada siapapun yang memiliki peralatan yang sama. Oleh sebab itu ia disamping memiliki keunggulan yang bersifat positif juga terdapat dampak negative pada alat tersebut dalam memenuhi segala bentuk informasi kepada khalayaknya.
Suka atau tidak ketergantungan informasi dari peralatan modern seperti hand phone telah membawa dampak kepada sikap dan perilaku sosial di masyarakat. Orang merasa kehilangan sesuatu jika tidak membawa hp kemanapun ia pergi. Jika sebelumnya kebutuhan masyarakat itu hanya terbatas pada kebutuhan pokok yakni sandang, pangan, papan,pendidikan, rekreasi, arloji, dan asesoris lainnya, sekarang harus ditambah dengan hp sebagai alat komunikasi,meski harus menambah beban ekstra biaya pulsa untuk akses internet dan berbagai ragam konvergensi lain yang digantikan oleh hp apakah, camera,televisi, radio, alat perekam dan permainan lainnya, untuk daya tarik pada konsumen dalam penetrasi pasar yang sangat kompetitifnes.
Konsumsi peralatan teknologi komunikasi seperti itu akan semakin berkembang secara kompetitif seiring dengan kemajuan teknologinya. Sedangkan kemajuan teknologi komunikasi seperti itu yang di prediksikan mampu merubah perilaku dan gaya hidup konsumen menjadi semakin realitas. Untuk mempelajari perilaku dan gaya hidup komunitas masyarakat bisa diadopsi dari teori “intertemporal choice”, yang memfor mulasikan kecenderungan komsumsi sekarang dengan konsumsi masa yang akan datang4 seperti yang menjadi pembahasan pokok pada artikel ini.
Tulisan ini akan lebih banyak mendiskusikan pada makna iklan Nokia Nsiries yang di dalamnya berkolaborasi dengan penyanyi Iwan Fals dan Indra Lesmana yang dimuat berbagai madia massa, khususnya surat kabar di tanah air belakangan ini. Pada posisi ini masyarakat selalu ditempatkan pada pihak yang lemah, sebagai sasaran program pemasaran produk nokia (ring tune Indra Lesmana & Iwan Fals) melalui iklan Nokia Nseries di media massa. Dalam hal ini konsumen sekaligus dimotivasi untuk membeli hp Nokia seri tersebut jika menginginkan lagu-lagu kedua komponis beken di blantika musik itu.
Dengan memiliki Nokia yang yang didalamnya terdapat “true tone” karya terbaru hasil kolaborasi Iwan Fals dengan Indra Lesmana, konsumen bisa mendengarkan lagu,”selancar “ dan “haruskah kau pergi” langsung dari ponsel Nokia ( 6020, 6070,6080, 3230,atau 3250), Bentuk narasi iklan tersebut : “segeralah miliki ponselnya karena lagu tersebut tidak ada di kaset maupun di CD”. Bagi konsumen khususnya kalangan remaja memiliki ponsel yang di dalamnya terdapat ring tone lagu-lagu seperti itu tidak sekedar untuk memenuhi tuntutan gaya hidup modern, tetapi dibalik itu lebih dititik beratkan untuk menaikkan status sosial di kalangan komunitas mereka. Fenomena seperti itu bukan suatu hal yang aneh pada saat kita dihadapkan pada kebebasan informasi di abad modern sekarang ini, karena kecanggihan kepemilikan alat komunikasi modern telah masuk di dalamnya, sehingga mendorong munculnya kreator baru pada dunia priklanan untuk mencari peluang pasar yang lebih menjanjikan.Kecanggihan teknologi informasi telah membawa mereka untuk tampil berkualitas di tengah persaingan yang yang sangat ketat. Tekanan itu di sikapi oleh para creator dunia periklanan sebagai lahan baru yang bisa menghasilkan keuntungan bagi mereka.
Perkembangan teknologi informasi pada dunia periklanan ditengah kompetisi pasar menjadikan para kreator iklan untuk berpikir ulang dalam menciptakan karya nyatanya dengan menggunakan teknologi informasi modern. Iklan Nokia Nseries di media massa yang kemudian di jadikan pokok kajian utama artikel ini setidaknya bermakna memberikan alternative pemilihan kepada calon konsumennya. Bahkan ia ingin membentuk image di benak konsumen produk hp Nokia. Pembentukan image ini sangat penting dan merupakan langkah strategis bagi kapitalisme untuk memperluas jaringan hegemoni pasar sebanyak mungkin. Suatu makna yang tersirat atas iklan tersebut bahwa,: ketika nanti calon konsumen akan mengambil keputusan untuk membeli alat komunikasi berupa hand phone (hp) urutan pertama yang ada dibenak konsumen adalah merk Nokia Nseries, atau jika konsumen hendak mendengarkan lagu “selancar, dan haruskah kau pergi” hanya bisa didapatkan di hp Nokia Nseries tersebut. Sebenarnya keputusan konsumen untuk membeli suatu produk di samping ditentukan oleh factor ekonomi, social budaya, psikologis, juga kuatnya tekanan budaya politik yang bisa memberikan kelonggaran terhadap keberadaan perkembangan teknologi informasi yang memunculkan varian produk teknologi ponsel dan perangkatnya. Berbagai varian produk teknologi informasi itulah yang memberikan akselerasi kepada konsumen untuk melakukan pemilihan, meski tidak semuanya menganggap hal itu bersifat aktif, dalam arti menguntungkan konsumen tetapi juga ada diantara mereka yang berpandangan pasif.
Konsumen yang masuk katagori pandangan yang bersifat pasif pada akhirnya akan menerima apa saja yang di iklankan di media massa yang bersangkutan. Namun demikian hal itu berbeda dengan pandangan kognitif, konsumen ditempatkan sebagai pemecah masalah (problem solving) dimana konsumen sering digambarkan sebagai individu yang bersifat pasive, tetapi dilain pihak ia active mencari produk untuk memenuhi kebutuhannya. Artinya membaca iklan bukan untuk membeli, tetapi mendapatkan informasi awal, agar calon konsumen mempunyai pengetahuan awal tentang produk yang akan dibeli, dalam konteks inilah creator iklan menempatkan negosiasi antara kepentingan kapitalis dengan obyek yang akan dibidik dalam sebuah produk yang di-iklankan.

Memahami Teks “Iklan Nokia Nseries”di Media
Untuk memahami iklan Nokia yang menjadi bahan analisis isi ini perlu dicari makna yang terkandung dalam teks iklan Nokia Nseries yang bersangkutan. Tetapi menurut hemat saya makna tidak serta merta berada dalam teks iklan itu sendirian. Pembacaan makna bukan seperti membuka kaleng yang kemudian dengan sendirinya akan memunculkan makna pesan yang terkandung di dalamnya. Makna dihasilkan dari interaksi antara teks dan khalayak.5 Ketika teks iklan Nokia Nseries diluncurkan sebenarnya telah terjadi kontak negosiasi antara khalayak anggota kultur atau subkultur dengan keberadaan kondisi produk yang di iklankan, meski di bagian lain informasi tersebut belum cukup menyakinkannya.
Jadi pembacaan teks iklan Nokia Nseries seperti itu secara bersamaan akan menhasilkan makna terpilih (freffered meaning), dan pada kolaborasi ini disatu sisi pembaca ditempatkan sebagai individu dengan serangkaian relasi tertentu dengan system nilai dominan, dan pada sisi lain pembaca iklan Nokia ditempatkan pada masyarakat konsumennya, dan itulah cara bekerja sebuah ideology dimanapun ia berada. Dalam bekerjanya ideologi akan memberikan bentuk koherensi pada sikapnya, dalam konteks tersebut Maxs selalu menghubungkan ideology dengan relasi social.6 Sedangkan fakta social yang menentukan ideology adalah kelas dalam bentuk pembagian kerja. Karena dalam konsep tersebut kelas yang berkuasa menjaga dominasi terhadap kelas kerja, dan kelaslah yang berkuasa untuk mengontrol ideologi yang ada di masyarakat.
Dalam hal pembacaan iklan “Nokia Nseries” ini kelas kapitalis di representasikan oleh Nokia bersama Iwan Fals dan Indra Lesmana, karena mereka menggunakan kekuatan hegemoni kekuasaannya melalui tekanan ekonomi politik yang dimilikinya kepada calon konsumen Nokia Nseries. Di sini calon konsumen ditempatkan sebagai obyek untuk mendukung kolaborasi kapitalis (Nokia,Iwan Fals dan Indra Lesmana) dalam menjual produknya dengan memunculkan mode tertentu sebagai daya pikatnya.
Mode yang dimunculkan dalam iklan Nokia Nseries tersebut adalah berupa “true tone lagu “selancar” dan “haruskah ku pergi” hasil kolaborasi kedua penyanyi beken tersebut. Pada tataran ini konsumen yang mempunyai keinginan untuk mendengarkan kedua lagu tersebut harus membeli Nokia Nseries yang serinya telah saya paparkan di bagian pendahuluan tulisan ini. Jika tidak membeli Nokia Nseries ini konsumen tidak pernah akan bisa menikmati keindahan kolaborasi kedua lagu tersebut, karena tidak diproduksi dalam bentuk kaset dan CD di dapur rekaman sebagaimana layaknya produk lagu lagu yang bisa di konsumsi masyarakat secara umum di pasaran.
Dalam iklan Nokia ini juga ditampilkan produk Nseries unggulan yang mesti harus dimiliki oleh calon konsumen jika mereka berkeinginan menikmati keindahan true tone yang dikemas didalamnya sekaligus. Produk hp unggulan ditampilkan secara mencolok di bagian depan kedua penyanyi kawakan yang sudah nge-fan itu. Dengan latar belakang berwarna kontras kecoklatan dipandu dengan kemerahan seolah menambah keseimbangan dalam tata warna iklan yang bersangkutan. Pemberian warna kontras pada iklan tersebut memberikan makna bahwa daya imajinasi konsumen setidaknya di tuntun bahkan di arahkan baik pada kondisi fisik hp merk Nokia seri tersebut, maupun natatif iklan yang cenderung menonjolkan kedua lagu hasil elaborasi antara Iwan Fals dan Indra Lesmana untuk menciptakan dominasi perhatian konsumen berupa “lagu”.Bagi kalangan muda lagu mempunyai daya pikat yang luar biasa, dalam hal ini digunakan oleh creator untuk memberikan makna berupa daya tarik konsumen yang bersangkutan.
Elemen yang dominan dimunculkan dalam iklan ini adalah “lagu”, karena lagu juga bisa digunakan sebagai martil pengikat dimana kedua penyanyi tersebut mempunyai penggemar fanatic atau massa pendukung. Massa pendukung itulah yang dibidik Nokia untuk dijadikan calon konsumennya. Nokia tahu jika kedua penyanyi terkenal itu memiliki penggemar di berbagai pelosok tanah air ini,walaupun mungkin hal ini hanyalah suatu trik bisnis periklanan untuk menarik simpati konsumen. Sementara design iklan produk Nokia Nseries yang ditampilkan sebenarnya menggambarkan adanya kejenuhan pasar, karena Nokia Nseries tersebut sudah di susul dengan produk Nokia Nseries terbaru yang lebih modis dengan asesoris teknologi yang lebih lengkap. Sementara elemen pada narasi teks tulisan hanya sebagai bentuk penegasan dari sasaran pasar yang akan dibidik oleh produk Nokia Nseries dengan narasi model ini.
Misalnya dalam narasi iklan itu terdapat teks : ”Bukan dikaset,bukan di CD. Karya terbaru kolaborasi. Iwan Fals dan Indra Lesmana bisa Anda dapatkan di ponsel Nokia” Penegasan dalam bentuk teks lain di tempatkan bagian bawah penempatan produk Nokia Nseries, dengan narasi sebagai berikut : “Ingin menikmati 2 true tone lagu terbaru karya kolaborasi Iwan Fals dan Indra Lesmana ? Dapatkan true tone lagu “Selacar” dan “Haruskah Ku Pergi”langsung* di ponsel Nokia 6020 6070,6080,3230, 3250. Segera miliki ponselnya karena kedua lagu ini tidak tersedia di kaset ataupun CD” Teks tulisan ini sengaja dibuat warna putih agar kontras dengan model photo Iwan Fals dan Indra Lesmana yang berlatar belakang coklat kemerah –merahan itu.
Secara tidak langsung terdapat pesan komunikasi yang tersembunyi di balik iklan Nokia Nseries di media cetak ini. (1). Adanya kekuatan dan kekuasaan kapitalistik untuk melakukan penekanan terhadap subordinat tertentu yakni “penyanyi dan pencipta lagu”untuk dijadikan obyek penjualan produk Nokia Nseries, dengan kemasan kolaborasi pemasukan “true tone” lagu kedua penyanyi yang bersnagkutan dalam produk Nokia Nseries ini. Meski hal tersebut dikemas dalam bentuk kerja sama, tetapi masih tampak adanya pembedaan kelas antara kelompok pemodal kuat (Nokia) dan pemodal menengah (Iwan & Indra). (2). Pihak yang dianggap paling lemah dalam posisi ini adalah konsumen. Dimana konsumen dibuat tidak berdaya untuk menghadapi keperkasaan kapitalis pemilik modal yang di representasikan dalam teks iklan Nokia Nseries ini.
Wacana seperti itu dapat dibaca dari makna yang terkandung dalam visualisasi design iklan produk hp Nokia Nseries tersebut baik dalam bentuk gambar maupun narasi teks bahasa yang digunakannya. Dalam kajian pemahaman terhadap design iklan disamping factor dasar yang menjadi arena kehidupan manusia6 juga selalu memiliki keterkaitan dengan tumbuhnya budaya konsumen dan gaya hidup masyarakat.
Analisis budaya konsumen bermula dari pandangan politik marxisme. Untuk memahami pandangan marxis klasik tentang konsumsi terlebih dulu harus mengetahui suatu hal bagaimana memahami perbedaan antara formasi social kapitalis dan prakapitalis.6 Masyarakat prakapitalis dalam hal ini bukanlah masyarakat konsumen, karena ketika itu barang-barang diproduksi sebagian besar untuk dikonsumsi, atau dibarter dengan barang lainnya.
Setelah runtuhnya feodalisme dan munculnya kapitalisme, maka tumbuh system yang didasarkan pada mekanisme pasar, uang dan margin, sehingga konsumsi menjadi terpisah dari kebutuhan aspek penting dari aktivitas manusia. Bagi Marx dan Frederick Engel7 transisi feodalisme ke kapitalisme yaitu suatu transisi dari produksi yang digerakkan oleh kebutuhan menuju produksi yang digerakkan oleh keuntungan. Dan konsumsi secara artificial dimotivasi oleh iklan, yang akhirnya menumbuhkan budaya konsumerisme di masyarakat modern seperti sekarang ini.
Herbert Marcuse (1968) mengembangkan argumen tersebut untuk menunjukkan bahwa ideology konsumerisme telah mendorong kebutuhan palsu, dan kebutuhan ini bekerja sebagai bentuk control social.8 Jadi pengiklan mendorong kebutuhan palsu pada konsumen untuk mengkonsumsi produk barang tertentu. Perilaku masyarakat seperti itu erat kaitannya dengan budaya konsumtif di berbagai kehidupan. Fenomena konsumtif seperti ini menunjukkan berbagai varian penindasan kemanusiaan dalam bungkus masyarakat perindustrian yang mengejar pertumbuhan meskipun muncul kesadaran semu masyarakat sehingga penindasan itu memuaskan.9 Dengan demikian sebenarnya budaya konsumtif yang didorong oleh maraknya kompetisi industri periklanan itu tidak lebih dari sebuah kepalsuan realitas budaya masyarakat.
Namun demikian suka atau tidak suka budaya semu seperti itu telah menjadi trens kehidupan masyarakat modern abad ini. Tanpa sadar masyarakat terus berkompetisi untuk mengkonsumsi berbagai produk industri sebagai akibat dari motivasi kekuasaan kapitalistik melalui bujuk rayu promosi periklanan. Dalam konteks ini penggunaan hp merk Nokia Nseries yang baru seperti dalam iklan tersebut semata mata bukan karena dibutuhkan. Barangkali masih banyak merk hp lain yang lebih murah dan berkualitas, tetapi dianggap tidak muddies dan ketinggalan zaman. Penggunaan hp merk Nokia, bukan bertitik tolak pada fungsinya sebagai alat komunikasi, tetapi sekaligus mempunyai nilai social lebih jika menggunakan merk hp Nokia Nseries dibanding merk hp lainnya.
Pada tataran inilah iklan, termasuk yang diamati penulis ini mampu mengkunstruksi image (imaginary construction) kepada para calon konsumennya. Dibawah sadar konsumen telah dibuat bertekuk lutut untuk merubah gaya hidup dalam menggunakan alat komunikasi, dari yang realitas menjadi peningkatan gengsi social. Orang akan menilai lebih keren, lebih bergaya, dan kelebihan lainnya jika ia menggunakan hp Nokia Nseries seperti pada iklan Nokia yang bersangkutan.

Ketidak Berdayaan Konsumen
Salah satu diantara perubahan social bidang teknologi informasi yang menyertai kemajuan ekonomi masyarakat Indonesia dalam satu dasa warsa terakhir ini adalah berkembangnya berbagai gaya hidup berkomunikasi dengan perangkat teknologi canggih. Sebagai fungsi diferensiasi sosial yang tercipta dari relasi konsumsi, hal tersebut tidak lagi sekedar berkaitan dengan nilai guna dalam upaya memenuhi fungsi kebutuhan komunikasi dan informasi, “tetapi sudah menjurus pada unsur simbolik untuk menandai kelas, status dan symbol social tertentu”.10 Di sini konsumsi hp merk Noki Nseries bukan lagi ditempatkan pada sekedar kebutuhan alat komunikasi, tetapi merupakan identitas diri dari budaya seseorang ditengah-tengah masyarakat. Jadi Yang di konsumsi oleh mereka bukan lagi obyek, tetapi makna-makna social yang berada dibaliknya.

Kecenderungan perkembangan penggunaan alat teknologi komunikasi (hp Nokia) yang dianggap bukan lagi sebagai pemenuhan sarana komunikasi dan informasi tersebut, oleh pakar pemikir ilmu social budaya Eropa, pada umumnya disebut sebagai “budaya konsumerisme,” meski mungkin istilah yang sama digunakan ditempat lain mengandung makna yang berbeda. Jika kita merujuk pada perkembangan masyarakat post industri dan kebudayaan post modern tentu tidak dapat dipisahkan dari perkembangan konsumerisme dalam diskursus kapitalisme. Pada hubungan ini tampak ada relevansi antara konsumerisme perangkat teknologi informasi dengan praktik estetika post modern.
Artinya perkembangan komunitas masyarakat pengguna perangkat teknologi informasi seperti itu telah mempengaruhi cara pengungkapan estetika, bahasa teknologi pada komunitas masyarakat tertentu. Pengaruh itu muncul akibat dominasi hegemoni kapitalis di semua lini kehidupan. Jika pada awalnya versi aliran Marxis dan sosiologis awal dari konsep ideology membatasi pemakaian ide yang diasosiasikan dengan,dan memelihara kekuatan,kelas dominant.Berbeda dengan argument Giddens11 bahwa ideology harus dipahami dalam hal bagaimana struktur pemaknaan dimobilisasi untuk mengesahkan kepentingan kelompok hegemonis.
Artinya ideology mengacu pada bagaimana makna digunakan untuk menjustifikasi kekuasaan yang mencakup banyak kelas. Althusser melihat ideology sebagai sesuatu yang menjustifikasi tindakan semua kelompok masyarakat, sebagaimana dikatakan oleh Foucault (1980) bahwa kita semua termasuk dalam relasi kekuasaan.
Maka dari itu sebenarnya iklan Nokia Nseries tidak sekedar ditujuakan kepada calon konsumen, tetapi juga kepada siapa saja yang membaca teks iklan itu. Siapa saja artinya bukan didominasi kelas, tetapi khalayak secara universal baik calon pembeli, atau yang bukan sebagai calon pembeli. Kekuasaan ekonomi politik Nokia adalah untuk menanamkan imajinasi (imaginary inculcate) dibenak masyarakat agar ketika suatu ketika orang mengambil keputusan untuk membeli hp yang pertama kali ada dibenak mereka adalah merk Nokia, bukan merk lain. Inilah makna hegemoni dalam konteks iklan Nokia Nseries di berbagai madia massa tersebut.

Bagian Penutup
Pada akhir paper ini saya menutup tulisan ini dari dua sudut pandang yang berbeda, pertama keperkasaan hegemoni kapitalistik, yang direpresentasikan oleh produk Nokia dalam iklan disply di media pers merupakan suatu upaya bukan saja untuk meningkatkan margin penjualan produk Nokia tetapi juga adanya upaya dari pihak Nokia untuk mempertahankan popularitas yang telah mereka capai. Dengan demikian fungsi iklan sebenarnya menjadi multi fungsi yakni,: meningkatkan penjualan produk,mempertahankan popularitas, menanam imajinasi di benak konsumen, memberikan kepercayaan kepada konsumen dan fungsi lainnya.
Kedua dari sisi konsumen memang dirasakan adanya hegemoni ekonomi politik kekuasaan dari kapitalis untuk menjadikan konsumen sebagai obyek kekuasaan. Seperti terlihat dalam disply iklan Nokia Nseies itu tampak betapa lemahnya posisi konsumen yang dijadikan obyek kekuasaan antara Nokia dan sang pencipta lagu. Dalam istilah yang populis sekali dayung dua pulau terlampaui, bagi kapitalis.Tetapi paling tidak dari iklan tersebut kita bisa mendapatkan informasi dan pengetahuan awal tentang produk Nokia dari iklan yang bersangkutan.
Lepas dari dua persoalan tersebut,ideology yang ditanam oleh Nokia, bukanlah suatu hal yang datang dengan serta merta,mereka untuk menjadi negara kapitalis melalui upaya perjuangan yang cukup keras. Dari negara miskin Finlandia bisa menguasai teknologi selular di dunia, dan jika ia selalu menjaga untuk mempertahankan prestasinya bukan suatu hal yang tidak wajar. Justru itu yang seharusnya menjadi cerminan bagi pengembangan teknologi informasi di negeri ini.
Pengembangan teknologi butuh kerja serius dan penguasaan manajemen sumber daya manusia di segala bidang, semoga iklan seperti itu bisa memacu perkembangan ilmu pengetahuan dan perekonomian bangsa yang terpuruk, bukan dipandang sinis dari mereka yang sebenarnya mengerti.

Daftar Pustaka

Agus Sudibyo,Ekonomi Politik Dunia Penyiaran,Penerbit,LKIS,Yogyakarta, Thun,
2004
Sartono Kartodihardjo, Perkembangan Peradapan Priyayi, Penerbit, Gadjah
Mada University Press, 1987

Peter Lloyd Jones,1991, Esay, Taste Today,the Role of Appreciation in
Consumerisme and Design, Pergamon Press, Oxsford


A.Daton, 1992, Esay,Anderstanding Consumtion, Oxford University Press, New
York
John Fiske,Cultural and Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling
Konprehensip, Penerbit Jalasutra Yogyakarta, 2006

Agus Sachari, Sosiologi Design, Penerbit, ITB Bandung, Tahun 2002

John Storey, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Pengantar Konprehensip
Teori dan Metoda, Penerbit Jalasutra Yogyakarta,2007

Heru Nugroho, Pengantar, The Globalization of Nothing,(George Ritzer),
Penerbit, Universitas Admajaya,Yogyakarta,2006

Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat,Tamasya Melampaui Batas Batas
Kebudayaan, Penerbit,Jalasutra, Yogyakarta,2006

Chris Barker,Cultural Studies, Teori dan Praktik, Terjemahan Nurhadi, Penerbit
Kreasi Wacana Yogyakarta, 2005
1 Lihat tulisan Deddy N.Hidayat, dalam Agus Sudibyo,Buku Ekonomi Politik Dunia Penyiaran, Penerbit LKIS Yogyakarta, 2004 halaman, 8.
2 Lihat Sartono Kartodihardjo, Perkembangan Peradapan Priyayi, Gadjah Mada University Press,1987 hal.4-10.
3 Tulisan, Peter Lloyd Jones,1991, Taste Today, the rule of Appreciation in Consumerisme and Design, Pergamon Press, Oxsford hal. 193.
4 Lihat A.Daton, 1992, Anderstanding Consumtion, Oxsford University Press,New York, page-12.
5 Lihat John Fiske, Cultural and Communication Studies, Sebuah Pengentar Paling Konprehensip, Penerbit Jalasutra Yogyakarta, 2006 - 227
6 Ibid halaman , 229
6 Lihat Agus Sachari, Sosiologi Design, Penerbit ITB, Bandung 2002 hal.30
6 Lihat John Story, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Pengantar Konprehensip Teori dan Metoda, Penerbit Jalasutra, Yogyakarta, 2007 hal.143
7 Ibit halaman 144
8 Pendapat Herbert Marcise, Ibit halaman 145
9 Lihat tulisan,Heru Nugraha,Mengkonsumsi Kehampaan Di Era Global, Dalam The Globalization Of Nothing,,George Ritzer,Penerbit, Universitas Admajaya Yogyakarta, 2006, halalman ,xxiv
10 Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Di Lipat, Tamasya Melampaui Batas Batas Kebudayaan, Penerbit, Jalasutra Yogyakarta, 2006 hal, 179
11 Giddens (1979) dalam Chris Barker,Cultural Studies, Teori dan Pratik, Terjemahan Nurhadi, Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta,2005,hal.65-66

MITHOS KERIS DAN MASYARAKAT

Pendahuluan
Pada zaman kerajaan dahulu keris berfungsi sebagai senjata, dan sekaligus sebagai symbol (piayandel) pusaka kebesaran kerajaan. Artinya kerajaan akan kehilangan kepercayaan jika tidak punya keris pusaka yang diandalkan. Sebuah kerajaan jika mempunyai keris pusaka yang andal akan selalu disegani oleh kerajaan pesaingnya, bahkan keberadaannya akan menjadi panutan bagi kerajaan taklukannya. Keris yang dianggap menjadi symbol kerajaan biasanya keris keris yang bertuah dan mempunyai nilai magis (kesaktian) tertentu.
Sebagian keris yang diyakini bertuah pada zamannya, misalnya “Keris Empu Gandring” sebuah keris sakti yang dibuat oleh Empu Gandring pada abad VIII, karena membuatnya hanya di pijit-pijit dengan menggunakan mantra-mantra sakti pada bulan yang kesekian kalinya ternyata keris pesanan Ken Arok itu belum jadi, maka Ken Arok marah besar dan kemudian menusuk Empu Gandring sampai mati. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya Empu Gandring sempat berpesan kepada Ken Arok, bahwa keris tersebut akan memakan korban 7 orang lagi setelah sang Empu Gandring. Dalam ceritera dunia jagat pakeliran atau pewayangan kita pahami banyak tokoh memiliki pusaka keris sebagai piandel, misalnya Arjuna memiliki keris pulanggeni, sarutama, Durna memiliki keris cunda manik dsb. Hariya Penangsang Adipati Jipang memiliki keris “setan kober’ dan sejenisnya. Tradisi seperti itu masih sering kita dapatkan pada masyarakat suku jawa yang sebagian meyakini memiliki keris yang baik akan terjaga keselamatan dan rezekinya. Sekelompok komunitas mereka ini masih menganggap keris menjadi benda pusaka yang harus di pelihara kelestariannya. Ketika itu keris di produksi semata mata hanya untuk memenuhi kepentingan persenjataan dan pasarnya terbatas pada kelas sosial tertentu, diantaranya kelompok bangsawan dan mereka yang mampu saja. Keris di beli sebagai symbol status sosial yang mana antara orang yang satu dengan lainnya berbeda beda, karena keris di buat harus sehati (sajiwo) dengan sang pemiliknya. Oleh sebab itu keris yang cocok pada seseorang belum tentu cocok dan bisa di gunakan oleh orang lain. Kini fenomena tentang keris telah pergeser baik secara sosial dan budaya, orang memburu keris karena kepentingan ekonomi (bisnis). Artinya keris yang baik dalam ukuran sekarang adalah yang mempunyai nilai ekonomi, sedangkan nilai seni, arstistik dan lainnya hanyalah sebagai pendukung semata. Meski demikian benda pusaka seperti keris sampai saat ini masih saja di cari oleh orang tertentu baik kolektor maupun para pembisnis pusaka seperti keris, sehingga pengetahuan masyarakat terhadap keris bervaritif.
Misalnya, pengetahuan masyarakat katagori menengah dan atas diperkotaan yang bergerak di kelompok praksis, seperti ekonomi, sosial dan pemerintahan yang mempunyai hubungan dekat dengan kelompok sosial yang menjadi patron tradisi pusat kebudayaan jawa biasanya memahami keris dari lingkungan terdekatnya. Mereka mempunyai keris karena alasan tradisi pewaris leluhur, atau keperluan praksis lain dimasyarakat. Jaringan kelompok seperti itu teridentifikasi dari banyaknya orang orang yang menjadi kolektor atau pecinta keris1.
Hal tersebut tidak sebatas kalangan masyarakat tetapi juga mereka pejabat tinggi pemerintahan dan kalangan pengusaha besar di berbagai daerah. Keris atau di Jawa lebih dikenal dengan sebutan khasnya “tosan aji”mengandung sebuah nilai sebagai barang antik, karya seni dan bahkan ada sebagian orang yang menyakini mempunyai daya spiritual tertentu (bertuah). Nilai seni pada keris terdapat pada ukiran serta lukisan logam yang terdapat pada bilah keris (jawa = pamor), ukiran dan bahan yang dipakai pada pegangan keris, logam mulia dan emas yang ditempel pada sarung (warangka), serta tahun pembuatannya. Misalnya meski keris berpenampilan jelek tetapi jika pernah dimiliki oleh punggawa kerajaan seperti Patih Gadjah Mada di zaman kerajaan Majapahit harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Keris kuno semacam itu menjadi buruan para kolektor benda kuno karena memiliki nilai jual cukup tinggi dan langka di pasaran.
Mahal tidaknya harga keris sangat relative tergantung dari kecocokan dan keyakinan pembeli, sehingga tidak ada standard harga yang baku seperti penjualan produk industri kebanyakan. Sekali lagi bahwa keris dianggap baik jika bisa menyatu dengan pemiliknya. Ukuran menyatu atau cocok tidaknya sebuah keris bagi seseorang ditentukan untuk kepentingan apa keris yang akan di belinya, misalnya keris yang cocok untuk pertanian, perdagangan, bisnis, jabatan tertentu, untuk perang, keselamatan dsb. Kreteria seperti itu hanya bisa di tentukan oleh Empu (pembuat keris) atau orang yang memang memiliki keahlian tentang dunia “tosan aji” yang biasanya mereka sebagai kolektor keris keris kuno yang terdapat di (Nganjuk, Blitar, Pacitan, Surakarta, Magelang, Bantul, Yogyakarta, Cirebon, Tuban, Bali, Lombok, Padang, Aceh dan lainnya). Kota kota tersebut yang terdapat jaringan perdagangan keris yang tergabung dalam asosiasi kolektor benda benda kuno. Dalam setiap even tertentu mereka mengadakan pameran dan penjualan koleksi keris mereka. Sedangkan tempat yang sering di gunakan untuk ruang pameran kolektor keris kuno misalnya pada bulan tertentu di Gedung Kebudayaan Trowulan, Mojokerto Jawa Timur.
Estetika Dalam Keris
Terdapat tiga perbedaan pandangan terhadap dunia keris dilihat dari sisi estetika2 diantaranya : (1). keris dianggap sebagai hasil kebudayaan, atau sebuah karya seni. (2).keris dianggap sebagai senjata pusaka dikarenakan mempunyai daya gaib, atau tuah yang dimilikinya. (3).keris dianggap sebagai pusaka dengan bervariasi pemaknaannya dan dinyatakan dengan istilah-istilah yang hanya dikenali oleh kalangan tersebut. Kajian terhadap keberadaan keris dalam konteks yang pertama yakni keris dipandang sebagai benda seni masih diperlukan dan perlu di eksplorasi lebih mendalam lagi. Hal ini bisa untuk mengungkap pandangan istetika para ahli di bidang keris serta berbagai wujud keris yang terdapat pada komunitas masyarakat.
Disamping itu juga akan bermanfaat untuk mendapatkan data historis dari berbagai varian keris secara diakronik, yakni pandangan-pandangan para narasumber sebagai subyek maupun kelompok dalam rentang waktu sejarah tentang berbagai macam jenis keris yang berada di jaringan kelompoknya. Karena keris juga dianggap mempunyai makna maka kajian yang menggunakan pendekatan strukturalis menjadi sangat penting untuk mengetahui dan mengungkap berbagai makna dibalik fakta realitas yang sebenarnya terhadap dunia keris ini. Sebab bagaimanapun juga sebagian diantara keris ini tidak sekedar diyakini sebagai barang seni yang mempunyai nilai jual tinggi, tetapi juga masih ada yang dianggap sakral, karena mempunyai kekuatan magis tertentu.
Maka dari itu pendekatan dengan menggunakan paradigma simiotika sosial diharapkan bisa mengungkap semua macam tanda yang ada pada keris baik sebagai benda pusaka maupun sebagai benda seni yang mempunyai nilai kultural sesuai dengan masa pembuatannya ketika itu. Dengan begitu akan lebih mempermudah untuk memberikan pemaknaan pada masing masing tanda yang terdapat pada keris. Semua upaya seperti hal tersebut salah satunya bisa untuk mengungkap nilai estetika yang terdapat dalam berbagai jenis dan karakter keris. Pada dasarnya keris merupakan perwujudan konsep estitika, dimana dalam istilah jawa disebut dengan kewangunan, Empu (pembuat keris ) dan pengguna keris yang berada dibawah naungan kosmologi jawa serta norma-norma (pakem) pengetahuan dan pemahaman tentang keris atau dalam istilah jawa disebut kawruh paduwungan yang sama.
Jadi konsep tentang estetika dalam keris yang lebih dikenal dengan kewangunan itu tidak lain adalah estetika yang di integrasikan secara parsial maupun integral dengan berbagai orientasi tujuan kepemilikan keris disamping estetik tersebut. Karena ada diantara orang pemilik dan pengguna keris khsusnya aliran kejawen yang menganggap keris masih sebagai ajimat (piandel) artinya dengan keris kepemilikannya itu ia menjadi percaya diri dalam segala hal, bahkan banyak diantara mereka yang menggunakan keris sebagai alat mediasi untuk membantu penyembuhan penyakit, atau mencari barang yang hilang dan sejenisnya. Konsep estetik atau kewangunan seperti itu yang selanjutnya oleh para Empu (pembuat keris) diwujudkan dalam reka-rupa keris yang hasilnya berupa bentuk keris yang tersusun dari berbagai unsur kerupaannya seperti :,”dapur, pamor,guwayaning tosan, condong leleh dan berbagai jenis lainnya yang masing-masing mempunyai makna berbeda, dalam diri keris yang bersangkutan. Dalam banyak hal sebenarnya pembuat keris (Empu) yang paling menentukan nilai estetik dari sebilah keris. Artinya ketika ia mendapat pesanan atau akan membuat keris sang Empu sudah harus berfikir untuk tujuan apa keris yang akan ia buat, dan setelah semua informasi didapatkan dari pemesan atau tujuannya jelas berulah dibuatnya. Mereka inilah sebenarnya yang paham tentang dunia keris, bukan pengguna atau pemilik keris. Pengguna dan pemilik keris adalah orang yang sudah kesekian kali mendapat pengetahuan tentang keris dari seorang Empu si pembuat keris. Naumn demikian baik pengguna maupun pemilik keris masih lebih mengetahui nilai estetik dalam varian keris ketimbang orang awam seperti kita ini. Estetika dalam keris, sangat erat kaitannya dengan estetika jawa, yang merupakan bagian dari kebudayaan Timur. Estetika jawa dapat dilihat dari berbagai bentuk karya seni, baik seni bangunan,seni sastra, seni keris dan seni-seni lainnya,yang mengandung makna tertentu bagi masyarakat etnis jawa. Kebudayaan jawa, terutama mengenai ekspresi estetiknya memiliki cirri-ciri khusus,3 diantaranya kekhususan itu adalah:
(1).bersifat kontemplatif trasedental, yakni masyarakat jawa dalam mengungkapkan rasa keindahan yang dalam selalu mengkaitkannya dengan perenungan (kontemplasi) baik kecintaannya kepada Tuhan, Raja, Negara penghayatan pada alam maupun pengejawantahan dari dunia mistis. Jadi apapun yang diungkapkan selalu mengandung makna untuk mengungkapkan sesuatu, dan tindakannya banyak dipengaruhi oleh berbagai hal, misalnya pengaruh dogma agama,adat, kebiasaan, teknik, pakem dan sejenisnya.
(2). Bersifat simbolik, masyarakat jawa dalam setiap berekspresi selalu mengandung makna simbolistik. Hal seperti itu bisa kita lihat dalam filosofi pedalangan wayang kulit purwa, yang pada dasarnya merupakan rangkuman dari tindakan simbolis terpadu. Misalnya dalam hal penanggapan wayang untuk nadhar, dengan lakon tertentu dengan menampilkan tokoh pewayangan tertentu, merupakan simbolisme falsafah masyarakat jawa. Tindakan simbolis lain misalnya penabuh gamelan dan sinden harus hadir sebagai pengiring untuk menghidupkan suasana serta mencerminkan tataran suatu kehidupan manusia. Dan begitu dalang duduk ditempat, dan ketika gending lagu pantaloon dibunyikan berarti ruh atau jiwa manusia yang akan menghidupi wayang telah memasuki zat kehidupan,4 dan tidak lupa Ki Dalang menggunakan keris sebagai simbulis budaya jawa.
(3). Bersifat Filosofis, masyarakat jawa dalam segala tindakannya selalu didasarkan atas sikap tertentu yang dijabarkan dalam berbagai ungkapan hidup. Ungkapan itu misalnya, “ojo dumeh” artinya jangan sok,”ngono yo ngono ning ajo ngono” begitu ya begitu tapi jangan begitu, “mamayu hayuning bawono” artinya memelihara perdamaian dunia dan lainnya. Berbagai ungkapan filosofis seperti itu pada dasarnya merupakan sebuah sikap masyarakat jawa atau estetik masyarakat jawa yang dikenal adhiluhung itu. Hampir semua estetik jawa tersebut tercermin dalam pusaka tosan aji atau keris yang umumnya menjadi “piandel” mereka yang mengagumi seni keris baik sebagai koleksi, bisnis, ajimat atau benda seni lainnya. Bagi mereka yang masih patuh dengan estetika seperti itu dapat kita lihat dari penempilan keseharian, dalam bersikap dan berperilaku.

Memahami Keris Pusaka
Pada bagian pendahuluan tulisan ini telah di utarakan bahwa seni keris sangat erat kaitannya dengan estetika budaya jawa, dengan demikian untuk memahami keris tentu tidak semudah yang di duga sebelumnya. Dalam memahami dunia perkerisan orang perlu paham dulu jenis keris dan filosofinya, karena disana masing masing keris mempunyai estetika yang berbeda beda. Perbedaan itu sangat tergantung untuk apa sebuah keris itu dibuat oleh pemesan, atau prakarsa Empu si pembuat keris itu sendiri. Lantas bagaimana memahami keris secara fisik kita harus pahan tentang beberapa hal antara lain, mata bilah keris,keadaan mata bilah, panjang mata bilah, tabiat, warangka keris dan lainnya. Sebagai benda budaya ia merupakan visualisasi dari ide/gagasan, nilai-nilai, norma-norma,atau peraturan-peraturan sehingga kehadirannya sebagai salah satu atribut pakaian adat para pemimpin suku dan atribut pengantin laki-laki di Minangkabau merupakan tanda yang mengandung makna tertentu.5 Karena masing-masing tabiat dan mata bilah keris mempunyai makna yang berlainan,satu sama lainnya. Perbedaan itulah yang memperkaya seni budaya keris untuk dikembangkan dalam rangka tujuan apa. Artinya tosan aji atau keris pada umumnya menyimpan nilai-nilai sebagai barang antik, karya seni, serta kelengkapan bahan yang digunakan untuk membuat keris sering dianggap memiliki daya spiritual tertentu. Misalnya nilai seni itu bisa berbeda pada ukiran dan lukisan logam (pamor) pada bilahnya. Pemahaman untuk mengenal karakteristik keris ini menjadi penting sebelum mempelajari tentang keris dan maknanya yang lebih mendasar lagi di era teknologi informasi dewasa ini.
Prodosen Keris di Era Modern
Secara umum prodosen atau pembuat keris tidak hanya didominasi di Jawa saja tetapi juga terdapat di luar Jawa, seperti di Sumatera, Kalimantan, Bali, Madura, Sulawesi dan tempat lainnya. Setahu penulis prodosen keris di jawa antara lain di Blitar, Pacitan, Nganjuk, Pamekasan , Surakarta dan Bantul, Jogyakarta. Seperti di ceriterakan pembuat keris di Banyu Sumurup Bantul, bahwa banyak perbedaan tentang pembuatan keris dizaman kerajaan dahulu dengan di zaman kemerdekaan, dan sekarang ini (wawancara, 16/6/2006). Di zaman kerajaan dulu konon, pembuatan keris erat kaitannya dengan kepentingan negara atau kerajaan untuk senjata pusaka kerajaan jika suwaktu waktu kedatangan musuh dari luar kerajaan. Mungkin di zaman modern ini mirip dengan Pt.Pindat di Bangdung Jawa Barat. Pada zaman dulu produksi keris dan jenis senjata lainnya itu sangat tergantung dari kondisi kebutuhan perang atau tidak. Jika kerajaan akan melakukan penyerangan untuk menaklukkan kerajaan lainnya di butuhkan banyak keris sebagai senjata andalan, tetapi jika kerajaan dalam posisi damai produksi keris menjadi berkurang, dan para Empu pembuat keris banyak yang istirahat. Tetapi pada saat ini produksi keris seperti di Banyu Sumurup Bantul Yogyakarta ini lebih di latarbelakangi dengan pengrajin benda seni untuk kebutuhan ekonomi, atau perdagangan benda souvenir.
Mereka memproduksi keris bukan untuk senjata tetapi sebagai barang seni yang akan dijual ke pasaran, baik berupa pesanan maupun atas prediksi pengrajin sendiri. Meski ia banyak mengeluh karena pembelian bahan baku logam besi dan baja sebagai campuran saat ini sudah mahal, namun penjualan hasil produksinya terasa sepi dari pemesan. Menurutnya banyak pembeli yang menginginkan keris kuno bukan yang di produksi pengrajin seperti saat ini. Jika dalam satu bulan bisa memproduksi 10 keris dan terjual sudah dianggap bagus pada saat ini. Berbeda dengan para pedagang pengepul keris di berbagai daerah, mereka memang mencari keris kuno yang sudah tidak terawat, kemudian ia rawat dan harganya mahal bisa lima kali lipat dari keris produksi pengrajin tersebut. Sementara keris yang dikeramatkan adalah keris yang ada di Kraton Yogyakarta, Surakarta sehingga terjamin perawatan dan ke-antikannya, keris semacam ini tidak sampai di perdagangkan karena keberadaannya di lindungi oleh undang undang cagar budaya. Kalau ada di pasaran barang tersebut pasti elegal dan di perjual belikan secara sembunyi sembunyi, baik oleh penjual maupun pembelinya.
Pada zaman pra kolonial sebagian keluarga suku Jawa rata-rata mempunyai keris, sekarang hanya para kolektor keris dan sebagian kecil keluarga pewaris nenek moyang yang masih menyimpannya. Menurut pengakuan kolektor keris di Alon-alon utara Jogya (wawancara,16/6/2006) banyak keris antic (kuno) yang dijual ke luar negeri. Meski sekarang ini banyak pembuat keris tetapi diproduksi seperti pandai besi yang juga memproduksi benda lain seperti alat pertanian dan sejenisnya. Sedangkan Empu keris yang masih memegang teguh tata cara pembuatan keris secara tradisional di Jawa barang kali tinggal seorang yakni Empu Djeno Harumbrodjo (60 th) di Desa Gatak Yogyakarta. Konon ia masih keturunan ke-15 dari Empu Sopo dari Mojopahit. Menurut Haryono Arumbinang6 keris kuno yang dibuat sebelum abad 19 masih menggunakan bahan bijih logam mentah yang diambil dari alam/tambang (karena belum ada pabrik peleburan bijih besi,perak, nekel tembaga dan berbagai jenis logam lainnya) sehingga logam yang dipakai untuk pembuatan keris masih banyak mengandung jenis logam lain, misalnya bijih besi yang juga mengandung, titanium,cobalt, perak, timah putih,nekel tembaga dan lainnya. Sementara jenis keris yang diproduksi setelah abad 19 biasanya hanya menggunakan bahan besi baja, dan nekel buatan/peleburan pabrik atau besi bekas (per, tiang, jembatan dan lainnya) yang berasal dari pabrikan keasliannya terjamin. Hasil penelitian Haryono Arubinang, Sudyartomo dan Budi Santoso dari BATAN Yogyakarta menunjukkan bahwa, “sebuah keris dengan tangguh Tuban, dapur tilam upih,dan pamor beras wutah ternyata mengandung besi (Fe), arsinikum (warangan) dan titanium (Ti) hal ini dapat dipastikan keris kuno sebagai logam titanium baru ditemukan sebagai unsur logam mandiri sekitar tahun 1940-an dan logam kekerasannya melebihi baja namun jauh lebih ringan dan sekarang banyak digunakan untuk membuat pesawat ruang angkasa, pesawat tempur dan roket, jadi belum ada di Indonesia. Menurut Haryono Cs, titanium banyak ditemukan pada batu meteorit dan pasir besi yang banyak di dapat di pantai selatan Pulau Jawa, dan Sulawesi. Dari 14 keris kuno yang diteliti yang dianggap mempunyai nilai antik (ke-kunoan) sebanyak 13 keris mengandung titanium, dan hanya satu yang mengandung nekel. Berbeda dengan keris yang baru sudah langsung ketahuan karena bahan bakunya dibeli dari took besi (besi, nekel dan kuningan bekas), mereka tidak menggunakan dari bijih besi mentah (diambil dari tambang) atau batu meteor sehingga tidak perlu diteliti dengan peralatan isotop radioaktif seperti keris kuno. Pada hal menurut Empu Djeno, membuat keris jenis “Tangguh Sedayu” dibutuhkan 15 kg besi,1,5 kg besi pamor (batu meteorit),0,5 baja dengan cara pemanasan, penempaan, dan pelipatan untuk menyelesaikannya memerlukan 4098 lipatan, dan bahan yang jumlahnya sekitar 17 kg itu hanya akan tinggal beberapa ratus gram saja, bahkan bisa habis sama sekali. Jumlah berat itu menyusut menjadi sebilah keris hanya karena dipanasi, dilipat dan ditempa bukan ada yang sengaja dibuang.
Menurut Empu Djeno untuk membuat model keris klasik yang mempunyai kandungan seni profane maupun spiritual memerlukan waktu sekitar 6 bulan, dan di bengkelnya sudah banyak pemesan, sedangkan biaya pembuatannya sekitar Rp.5.000.000,-/keris. Dalam perkembangannya antara Empu dan pengrajin keris pada saat ini sudah mengembangkan jenis pamor baru atau kolaborasi beberapa pamor. Untuk keris cindra mata pembuatannya tidak terlalu lama, hanya sekitar satu bulan bahkan dalam hitungan minggu tergantung dari pamor yang dipilih. Pada pasar keris yang menentukan harganya bukan hanya pada keindahan tetapi juga sejarah dan tuah keris, misalnya sebilah keris bisa mencapai ratusan juta karena bekas milik atau kerajaan tempo dulu. Tetapi jika jenis keris cindera mata harganya sudah standart bisa ditentukan, tergantung bahan baku yang digunakan untuk membuatnya.

Pangsa Pasar Keris
Pemasaran keris memang tidak bisa disamakan dengan barang industri lainnya, misalnya untuk kebutuhan lokal nasional dan internasional sudah ada pengepul benda kuno tersebut, mereka umumnya sudah membentuk jaringan sampai ke luar negeri. Di kalangan masyarakat jawa penggunaan keris sudah tidak lagi menjadi pilihan, kecuali pada hari tertentu seperti hajatan pengantin,dan upacara ritual adat lainnya. Sedangkan pemasaran keris lebih banyak melelui pengepul (jaringan) yang ada di beberapa daerah misalnya, untuk wilayah Jateng, ada di Wonosobo, Kebumen, Boyolali, Sragen Ungaran, Pekalongan Temanggung, Magelang, Banjarnegara, Surakarta, Semarang, Jepara dan lainnya. Untuk Jawa Timur ada di Pacitan, Blitar, Mojokerto/Trowulan, Pamekasan, Nganjuk, Tulungagung, Trenggalek, Tuban,Malang, dan lainnya, disamping di bebrapa daerah di Jogyakarta dan sekitarnya yakni pada hari hari biasa pemasaran keris bisa didapatkan di Alon-Alon Utara dan Pasar Tri Windu Surakarta, Pasar Turi Surabaya, Pasar Johar Semarang, Pasar Rawa Bening Jakarta6 Dari hasil penelusuran penulis banyak keris kuno yang dijual ke luar negeri seperti belanda, Malaysia, Thailan, dan berbagai negara Eropa lainnya.
Para pedagang itu berprofesi sebagai penjual keris kuno peninggalan sejarah kebudayaan itu lebih di latar belakangi oleh motif ekonomi. Artinya hanya orang asing yang mau membeli benda pusaka kuno itu dengan harga yang mahal, sedangkan pasaran dalam negeri atau lokal tidak mampu menjangkau harga tersebut. Kondisi inilah yang menyebabkan benda budaya dan situs situs purbakala banyak yang lari ke mosium luar negeri. Bagi orang luar negeri ia membeli benda kuno termasuk keris dari Indonesia bukan dinilai dari komersialitasnya, tetapi nilai sejarah yang tidak didapatkan di negara lain. Benda kuno itu dikembangkan untuk penelitian ilmu pengetahuan mereka terhadap peradapan manusia. Maka tidak heran jika untuk melihat koleksi lengkap terhadap benda kuno asal Indonesia harus datang ke museum di Belanda atau London. Kedengarannya memang sangat ironis tetapi ini merupakan realitas yang terjadi di abad ini, termasuk keris kuno asal Indonesia yang mempunyai nilai historis.
Keris merupakan sebuah penamaan dari jenis senjata tikam tradisional masyarakat jawa yang sekarang telah memiliki jarak kultural dengan komunitas di masyarakat, mereka sebenarnya cukup memahami jika keris sebenarnya merupakan sebuah karya teknologi bangsa kita pada zamannya yang memiliki nilai luhur untuk mempertahankan keamanan komunitasnya. Meski demikian keberadaan keris dan karya logam lainnya hingga dewasa ini masih menjadi misteri, dan belum terungkap dengan teknologi modern bagaimana dizaman itu seorang Empu sudah bisa membuat keris yang berkualitas. Pertanyaannya menggunakan teknologi apa para Empu membuat keris, darimana mereka bisa belajar membuat keris yang berkualitas seperti itu. Di akui atau tidak keris merupakan bagian dari hasil karya yang menonjol pada zamannya yang hingga sekarang masih menjadi bagian khasanah budaya etnik jawa yang sering disebut adhiluhung. Dan apa bila disandingkan dangan jenis senjata tradisional lainnya seperti tombak, parang, golok, clurit,badik,kujang keris masih memiliki eksistensi yang lebih jelas, khusus dan memiliki ikatan kultural yang jauh lebih mendalam. Ikatan kultural itu lebih di sebabkan karena keris memiliki nilai histories dengan mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung di masa lalu.

Memaknai Industri Keris
Persoalan yang dianggap paling mendasar dalam konteks ini adalah bagaimana memaknai keris yang tidak sekedar sebagai komuditas ekonomi semata tetapi bagaimana relasinya dengan masalah sosial dan perkembangan budaya di komunitas masyarakat itu sendiri. Pada bagian lain keris juga dianggap mampu memetakan status sosial tertentu bagi komunitas masyarakat. Ukuran pemetaan status sosial pada setiap individu di masyarakat dapat di identivikasi dari jenis dapur keris dan tahun pembuatannya. Semakin kuno (antik) tahun pembuatan keris biasanya akan membawa konsekuensi harga yang lebih mahal, belum lagi untuk dapur tertentu yang biasanya akan di sesuakan dengan karakter sang pemilik. Misalnya keris buatan abad ke VIII di masa kerajaan Majapahit yang dimilki oleh petinggi kerajaan akan mempunyai nilai yang tidak terbatas.Nilai tidak terbatas artinya di sesuaikan dengan karakteristik pemilik atau calon pembeli (kecocokan) apakah keris tersebut sesuai dengan karakteristiknya atau tidak.
Apabila pembeli merasa senang dan berniat untuk memilikinya harga tidak menjadi soal, berapapun akan di belinya, tetapi sebaliknya meski keris itu dalam katagori antik, jika tidak ada rasa kesenangan tidak akan mungkin terjadi transaksi. Dengan demikian masalah nilai yang terdapat pada benda semacam keris adalah persoalan “rasa” meski secara fisik tidak bisa di rasakan seperti makanan pada umumnya. Rasa itu secara mistis akan menyatu dengan calon atau pemilik keris yang bersangkutan. Menurut penuturan pembuat keris di Banyu Sumurup Bantul (wawancara,16/6/2006) dulu keris hanya bisa di beli oleh orang yang mempunyai karakteristik sama dengan yang menjualnya. Secara fisik keris memang dapat di beli dengan imbalan berupa apapun, tetapi isi keris tidak begitu saja mau berpindah meski sudah ganti pemilik. Dalam mithos isi keris di artikan makluk yang menunggu atau yang menyatu pada keris sehingga keris mempunyai kekuatan magis diluar kekuatan manusia. Jenis keris seperti yang di diskripsikan seperti itu hanya di miliki oleh kalangan tertentu di masyarakat, misalnya jika tidak keturunan bangsawan mereka pasti dari status sosial kelas atas. Karena hanya kelompok mereka inilah yang mampu membeli jenis keris semacam itu. Dalam konteks ini orang memiliki atau membeli keris dapat di kelompokkan,:(1). Ia sebagai pewaris dari generasi sebelumnya, biasanya orang tersebut dari keturunan atau trah kerajaan, kesultanan dan atau orang biasa yang memiliki komitmen kuat untuk melestarikan tradisi adat dan budaya lokal pada komunitas masyarakat tertentu. Kelompok ini biasanya mempunyai ikatan histories dengan dinasti atau trah yang dulunya mempunyai kekuasaan. Mereka memiliki keris sebagai symbol status sosial dalam kehidupan bermasyarakat di lingkungannya.
Sebagian diantara mereka masih percaya jika memiliki keris yang bagus dan sesuai dengan karakter pemiliknya rasa percayaan dirinya tinggi, ketenteraman dan keselamatan hidupnya terjamin. Oleh sebab itu keris bukan sekedar di jadikan benda koleksi, tetapi berfungsi untuk ketenteraman serta kelancaran ekonomi keluarganya. (2).Pengoleksi keris untuk kebutuhan ekonomi (di perdagangkan), kelompok ini memiliki jaringan perdagangan keris di berbagai daerah seperti telah di bahas pada bagian lain tulisan ini. Kelompok ini memburu keris kuno karena memiliki nilai ekonomi tinggi dan sangat menguntungkan untuk di perdagangkan. Sebilah keris kuno yang masih memiliki keterkaitan dengan kerajaan tertentu bisa laku ratusan juta, pada hal harga pembeliannya tidak seberapa mahal. Ia mencari keris keris tersebut pada orang orang di luar jaringan perdagangan keris yang mana mereka tidak banyak informasi tentang perkembangan harga keris kuno di pasaran Nasional. (3). Pembuat keris yang sekarang ini terdapat di berbagai daerah termasuk di Banyu Sumurup Bantul Yogyakarta. Katagori yang terakhir ini tidak ubahnya pandai besi yang membuat alat pertanian seperti cangkul, sabit, sekop dan lainnya. Bedanya yang mereka produksi adalah keris yang menyerupai aslinya, tetapi yang satu ini hanya untuk komuditas setingkat souvenir, tidak memiliki estetika layaknya keris zaman dulu yang masih di jamin keasliannya. Misalnya pengrajin keris di Bantul memasang tarif paling rendah antara Rp.3.000.000 – Rp.8.000.000. untuk sebilah keris pesanan, lengkap dengan sarungnya. Perbedaan harga itu tergantung dengan bahan dan model tingkat kesulitan pembuatannya. Satu unit keris biasanya akan di selesaikan rata rata dalam tiga bulan dari pemesanan, itu sudah tercepat.Bahkan jika terdiri dari model yang paling sederhana, waktu pembuatannya bisa di hitung dalam minggu, atau hari.

Peran Media
Baik sebagai industri maupun artefak budaya “keris” menjadi suatu hal yang sangat menarik untuk di diskusikan dan di eksplorasi menjadi bahan kajian budaya dan media. Menarik bukan berarti penulis meyakini atas mithos pada sebuah keris (Islam mengharamkan hal itu), tetapi tidak lebih sebagai eksplorasi pengetahuan terkait dengan industri budaya. Keris pada zamannya hingga saat ini mampu me-petakan sekat sekat kelas sosial dan budaya pada komunitas masyarakat tertentu. Karena keris bukan sekedar benda yang di gunakan sebagai senjata tikam (gaman) ketika itu, tetapi mengandung mithos yang di yakini bahkan menjadi ideologi komunitas masyarakat tertentu.”Mithos dan ideologi bekerja dengan menaturalkan interpretasi tertentu dari individu yang khas secara histories”6 Artinya mithos memberikan kehendak histories suatu justifikasi alamiah dan menjadikan berbagai peristiwa yang tak terduga tampak abadi. Sebagian orang atau individu yang memiliki ideologi sama tentang dunia per-kerisan akan selalu mencari komunitasnya untuk melakukan negosiasi guna menjaga kelestarian (kesakralan) terhadap benda keris agar tetap memiliki karisma budaya yang tinggi. Ideologi seperti itu yang menimbulkan genre pada keris tertentu, sehingga mampu menciptakan kelas kelas sosial dan budaya di komunitasnya. Pada saat yang sama genre pada motif keris yang di ukur dari keantikan dan relasi dengan kekuasaan di zamannya mampu menetukan sebuah nilai ekonomi. Tentu nilai ekonomi pada genre keris tidak datang dengan sendirinya tanpa komodifikasi media.
Oleh sebab itu peran media dalam konteks ini menjadi sangat strategis dan penting untuk melanggengkan ideologi tentang mithos yang terdapat pada masing masing keris buatan tahun yang berbeda. Media bukan berarti media massa (Tv, Radio, Surat Kabar dan Internet), tetapi ruang publik bisa di katagorikan sebagai media yang di maksud. Secara realitas berbagai produk keris akan muncul di ruang publik (media), tetapi menurut Schlesinger (1978) media bukanlah refleksi atas realitas, sebagamana meletakkan secara ber- sama sama, tetapi sebuah representasi selektif yang di konstruksi untuk membangun realitas.7 Realitas yang dikonstruksi dalam hal ini bisa berupa mithos yang di representasikan keris dengan nilai ekonomi yang di konstruksinya. Mediasi itu bisa berupa ruang pamer yang sering di selenggarakan oleh jaringan kolektor keris untuk melakukan negosiasi perdagangan keris di berbagai daerah tertentu. Pada ruang public i tulah terjadi interaksi antara prodosen dan konsumen berbagai model dan karakteristik keris dari berbagai daerah, yang masing masing membawa nilai kelas sosial dan artefak budaya komunitasnya untuk di pertukarkan dengan nilai ekonomi di antara mereka. Dalam konteks tersebut ada pertanyaan yang paling mendasar seberapa besarkah penghargaan yang diberikan kepada kreator budaya, dalam hal ini para pencipta seni keris. Jika nilai ekonomi yang diberikan kepada hasil seni keris itu mencapai puncak tertinggi, apakah penghargaan yang sama juga di berlakukan kepada sang pencipta seni budaya keris ? Ataukah para pencipta seni budaya keris hanya di ciptakan sebagai obyek kekuasan hegemoni pemilik modal pembisnis keris. Yang terjadi penghargaan nilai estetika kepada kreator seni budaya keris lebih rendah jika dibanding dengan penghargaan terhadap nilai ekonomi yang di berikan kepda pembisnis keris. Kesenjangan semacam inilah yang sering kurang mendapatkan perhatian dari semua pihak termasuk penguasa, sehingga cepat atau lambat akan terjadi degradasi budaya,yang termarginalisasi oleh krkustsn kapitalisme di negeri yang berbudaya adhiluhung ini. Lantas kapan keseimbangan penghargaan semacam itu akan di berikan secara berimbang seperti negara yang sudah maju…?

Penutup
Keris bukanlah sekedar jenis senjata tikam untuk mempertahankan diri bagi prajurit atas serangan musuh di zaman kerajaan masa lampau, tetapi benda yang lebih di kenal dengan “tosan aji” itu merupakan symbol kekuasaan yang dianggap mengandung mithos tertentu yang oleh sebagian dari mereka di jadikan sebuah ideologi. Kuatnya ideologi dan pengakuan mithos terhadap keris mengakibatkan ia mampu membuat sekat sekat sosial dan budaya pada masyarakat komunitasnya. Atas genre yang dibuatnya eksistensi keris yang di komudikasi media menjadi semakin kuat. Bahkan keris di representasikan mampu menggeser nilai budaya yang di anggap sdhiluhung itu menjadi nilai ekonomi bagi komunitas masyarakat yang keberadaannya selalu dipertahankan. Karena keris memiliki nilai mithos baik secara kultural dan histories itulah ia mampu bertahan dan eksis menjadi komuditas ekonomi di tengah masyarakat komunitasnya. Persoalannya akankah produksi keris konvensional di era sekarang ini akan merusak nilai estetika dan nilai ekonomik perdagangan keris ?, ternyata tidak. Logikanya masing masing produk yang berdasarkan genre, dan tahun pembuatannya masing masing telah memiliki pangsa pasar yang konstan.
Demikian produk keris secara konvensional yang hanya di pruntukkan sebagai barang souvenir.Artinya meski keris yang memiliki nilai mithos tinggi dan keris souvenir saling bertemu di pasar konvensional di jamin tidak akan terjadi perusakan pangsa pasar, maupun nilai nilai cultural yang terkandung di dalamnya. Karena masing masing jenis keris mempunyai watak dan karakteristik yang berbeda beda, sesuai dengan tahun pembuatannya, dan untuk apa sebuah keris itu di buatnya ketika itu.

Rujukan/bacaan:
Arifin,MT,Keris Jawa, Bilah Latar Sejarah Hingga Pasar,Penerbit, Hajied
Pustaka,Jakarta, 2004

Budiyono,Filsafat Hidup Orang Jawa Dalam Simbolisme Budaya Jawa,
Penerbit,Hanandita, Yogyakarta, 1987

Barker Chris,Cultural Studies,Terjemahan Nurhadi, Penerbit Kreasi Wacana
Yogyakarta, 2004

Erwin A Keris Pusaka Minangkabau, Suatu kajian fungsi unsure visual dan
makna (studi kasus di Lubuk Tanah Datar Agam Lima puluh kota
dan Padang Propinsi Sumatra Barat, Tesis Program S2 Penerbit,
Fakultas Seni Rupa Jurusan Design ITB Bandung tahun 2000

Haryono Arubinang dkk, Hasil Penelitian Terhadap Keris Kuno, Badan
Atom Nasional, Yogyakarta, Harian kompas Edisi 30 Juni 2005.

Sachari, Agus, Diskonstruksi Nilai Estetik Pada Design Furnitur
Tradisional Masyarakat Jawa Modern, Proyek Penelitian Toyota
Foundention, Bandung 1990

Wiryodirdjo, Budihardjo, Tesis Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi
Bandung tahun 1993
1 Hasil penelitian tentang keris, M.T.Arifin,Keris Jawa,Bilah, Latar Sejarah Hingga Pasar, Penerbit Hajied Pustaka, Jakarta,2004 halaman 2
2 Lihat Budiharjo Wiryodirjo, Tesis Fakultas Seni Rupa Angkatan 1993 Institut Teknologi Bandung 1993
3 Lihat tulisan Budiono.H.Filsafat Hidup Orang Jawa,Dalam Simbolisme Budaya Jawa,Penerbit Hanindita Yogyakarta,1987 hal.73-96
4 Lihat Budiono Harusatoto,ibid halaman 114, dan
Agus Sachari,Diskunstrusi Nilai Nilai Estetik Pada Design Furnitur Tradisional Masyarakat Jawa Modern, Proyek Penelitian Toyota Fundantion, Bandung 1990.
5 Lihat Hasil penelitian : Keris Pusaka Minangkabau, Suatu kajian fungsi unsure visual dan makna (studi kasus di Lubuk Tanah Datar Agam Lima puluh kota dan Padang Propinsi Sumatra Barat, Tesis Program S2 Erwin.A.Fakultas Seni Rupa Jurusan Design ITB Bandung tahun 2000.
6 Haryono Arumbinang Peneliti Badan Atom Nasional Yogyakarta, Harian Kompas 30 Juni 2005 hal 18
6 Lihat tulisan MT.Arifin, lok cit halaman 359
6 Lihat Roland Barthes, (1972) di kutip Chris Barker dalam Cultural Studies, Teori & Praktik, Terjemahan Nurhadi, Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta 2004 halaman 73.
7 Lihat Easy Schlesinger, P.(1978) Putting Reallity Together, London : Constable