Rabu, 26 Desember 2007

MITHOS KERIS DAN MASYARAKAT

Pendahuluan
Pada zaman kerajaan dahulu keris berfungsi sebagai senjata, dan sekaligus sebagai symbol (piayandel) pusaka kebesaran kerajaan. Artinya kerajaan akan kehilangan kepercayaan jika tidak punya keris pusaka yang diandalkan. Sebuah kerajaan jika mempunyai keris pusaka yang andal akan selalu disegani oleh kerajaan pesaingnya, bahkan keberadaannya akan menjadi panutan bagi kerajaan taklukannya. Keris yang dianggap menjadi symbol kerajaan biasanya keris keris yang bertuah dan mempunyai nilai magis (kesaktian) tertentu.
Sebagian keris yang diyakini bertuah pada zamannya, misalnya “Keris Empu Gandring” sebuah keris sakti yang dibuat oleh Empu Gandring pada abad VIII, karena membuatnya hanya di pijit-pijit dengan menggunakan mantra-mantra sakti pada bulan yang kesekian kalinya ternyata keris pesanan Ken Arok itu belum jadi, maka Ken Arok marah besar dan kemudian menusuk Empu Gandring sampai mati. Sebelum menghembuskan nafas terakhirnya Empu Gandring sempat berpesan kepada Ken Arok, bahwa keris tersebut akan memakan korban 7 orang lagi setelah sang Empu Gandring. Dalam ceritera dunia jagat pakeliran atau pewayangan kita pahami banyak tokoh memiliki pusaka keris sebagai piandel, misalnya Arjuna memiliki keris pulanggeni, sarutama, Durna memiliki keris cunda manik dsb. Hariya Penangsang Adipati Jipang memiliki keris “setan kober’ dan sejenisnya. Tradisi seperti itu masih sering kita dapatkan pada masyarakat suku jawa yang sebagian meyakini memiliki keris yang baik akan terjaga keselamatan dan rezekinya. Sekelompok komunitas mereka ini masih menganggap keris menjadi benda pusaka yang harus di pelihara kelestariannya. Ketika itu keris di produksi semata mata hanya untuk memenuhi kepentingan persenjataan dan pasarnya terbatas pada kelas sosial tertentu, diantaranya kelompok bangsawan dan mereka yang mampu saja. Keris di beli sebagai symbol status sosial yang mana antara orang yang satu dengan lainnya berbeda beda, karena keris di buat harus sehati (sajiwo) dengan sang pemiliknya. Oleh sebab itu keris yang cocok pada seseorang belum tentu cocok dan bisa di gunakan oleh orang lain. Kini fenomena tentang keris telah pergeser baik secara sosial dan budaya, orang memburu keris karena kepentingan ekonomi (bisnis). Artinya keris yang baik dalam ukuran sekarang adalah yang mempunyai nilai ekonomi, sedangkan nilai seni, arstistik dan lainnya hanyalah sebagai pendukung semata. Meski demikian benda pusaka seperti keris sampai saat ini masih saja di cari oleh orang tertentu baik kolektor maupun para pembisnis pusaka seperti keris, sehingga pengetahuan masyarakat terhadap keris bervaritif.
Misalnya, pengetahuan masyarakat katagori menengah dan atas diperkotaan yang bergerak di kelompok praksis, seperti ekonomi, sosial dan pemerintahan yang mempunyai hubungan dekat dengan kelompok sosial yang menjadi patron tradisi pusat kebudayaan jawa biasanya memahami keris dari lingkungan terdekatnya. Mereka mempunyai keris karena alasan tradisi pewaris leluhur, atau keperluan praksis lain dimasyarakat. Jaringan kelompok seperti itu teridentifikasi dari banyaknya orang orang yang menjadi kolektor atau pecinta keris1.
Hal tersebut tidak sebatas kalangan masyarakat tetapi juga mereka pejabat tinggi pemerintahan dan kalangan pengusaha besar di berbagai daerah. Keris atau di Jawa lebih dikenal dengan sebutan khasnya “tosan aji”mengandung sebuah nilai sebagai barang antik, karya seni dan bahkan ada sebagian orang yang menyakini mempunyai daya spiritual tertentu (bertuah). Nilai seni pada keris terdapat pada ukiran serta lukisan logam yang terdapat pada bilah keris (jawa = pamor), ukiran dan bahan yang dipakai pada pegangan keris, logam mulia dan emas yang ditempel pada sarung (warangka), serta tahun pembuatannya. Misalnya meski keris berpenampilan jelek tetapi jika pernah dimiliki oleh punggawa kerajaan seperti Patih Gadjah Mada di zaman kerajaan Majapahit harganya bisa mencapai ratusan juta rupiah. Keris kuno semacam itu menjadi buruan para kolektor benda kuno karena memiliki nilai jual cukup tinggi dan langka di pasaran.
Mahal tidaknya harga keris sangat relative tergantung dari kecocokan dan keyakinan pembeli, sehingga tidak ada standard harga yang baku seperti penjualan produk industri kebanyakan. Sekali lagi bahwa keris dianggap baik jika bisa menyatu dengan pemiliknya. Ukuran menyatu atau cocok tidaknya sebuah keris bagi seseorang ditentukan untuk kepentingan apa keris yang akan di belinya, misalnya keris yang cocok untuk pertanian, perdagangan, bisnis, jabatan tertentu, untuk perang, keselamatan dsb. Kreteria seperti itu hanya bisa di tentukan oleh Empu (pembuat keris) atau orang yang memang memiliki keahlian tentang dunia “tosan aji” yang biasanya mereka sebagai kolektor keris keris kuno yang terdapat di (Nganjuk, Blitar, Pacitan, Surakarta, Magelang, Bantul, Yogyakarta, Cirebon, Tuban, Bali, Lombok, Padang, Aceh dan lainnya). Kota kota tersebut yang terdapat jaringan perdagangan keris yang tergabung dalam asosiasi kolektor benda benda kuno. Dalam setiap even tertentu mereka mengadakan pameran dan penjualan koleksi keris mereka. Sedangkan tempat yang sering di gunakan untuk ruang pameran kolektor keris kuno misalnya pada bulan tertentu di Gedung Kebudayaan Trowulan, Mojokerto Jawa Timur.
Estetika Dalam Keris
Terdapat tiga perbedaan pandangan terhadap dunia keris dilihat dari sisi estetika2 diantaranya : (1). keris dianggap sebagai hasil kebudayaan, atau sebuah karya seni. (2).keris dianggap sebagai senjata pusaka dikarenakan mempunyai daya gaib, atau tuah yang dimilikinya. (3).keris dianggap sebagai pusaka dengan bervariasi pemaknaannya dan dinyatakan dengan istilah-istilah yang hanya dikenali oleh kalangan tersebut. Kajian terhadap keberadaan keris dalam konteks yang pertama yakni keris dipandang sebagai benda seni masih diperlukan dan perlu di eksplorasi lebih mendalam lagi. Hal ini bisa untuk mengungkap pandangan istetika para ahli di bidang keris serta berbagai wujud keris yang terdapat pada komunitas masyarakat.
Disamping itu juga akan bermanfaat untuk mendapatkan data historis dari berbagai varian keris secara diakronik, yakni pandangan-pandangan para narasumber sebagai subyek maupun kelompok dalam rentang waktu sejarah tentang berbagai macam jenis keris yang berada di jaringan kelompoknya. Karena keris juga dianggap mempunyai makna maka kajian yang menggunakan pendekatan strukturalis menjadi sangat penting untuk mengetahui dan mengungkap berbagai makna dibalik fakta realitas yang sebenarnya terhadap dunia keris ini. Sebab bagaimanapun juga sebagian diantara keris ini tidak sekedar diyakini sebagai barang seni yang mempunyai nilai jual tinggi, tetapi juga masih ada yang dianggap sakral, karena mempunyai kekuatan magis tertentu.
Maka dari itu pendekatan dengan menggunakan paradigma simiotika sosial diharapkan bisa mengungkap semua macam tanda yang ada pada keris baik sebagai benda pusaka maupun sebagai benda seni yang mempunyai nilai kultural sesuai dengan masa pembuatannya ketika itu. Dengan begitu akan lebih mempermudah untuk memberikan pemaknaan pada masing masing tanda yang terdapat pada keris. Semua upaya seperti hal tersebut salah satunya bisa untuk mengungkap nilai estetika yang terdapat dalam berbagai jenis dan karakter keris. Pada dasarnya keris merupakan perwujudan konsep estitika, dimana dalam istilah jawa disebut dengan kewangunan, Empu (pembuat keris ) dan pengguna keris yang berada dibawah naungan kosmologi jawa serta norma-norma (pakem) pengetahuan dan pemahaman tentang keris atau dalam istilah jawa disebut kawruh paduwungan yang sama.
Jadi konsep tentang estetika dalam keris yang lebih dikenal dengan kewangunan itu tidak lain adalah estetika yang di integrasikan secara parsial maupun integral dengan berbagai orientasi tujuan kepemilikan keris disamping estetik tersebut. Karena ada diantara orang pemilik dan pengguna keris khsusnya aliran kejawen yang menganggap keris masih sebagai ajimat (piandel) artinya dengan keris kepemilikannya itu ia menjadi percaya diri dalam segala hal, bahkan banyak diantara mereka yang menggunakan keris sebagai alat mediasi untuk membantu penyembuhan penyakit, atau mencari barang yang hilang dan sejenisnya. Konsep estetik atau kewangunan seperti itu yang selanjutnya oleh para Empu (pembuat keris) diwujudkan dalam reka-rupa keris yang hasilnya berupa bentuk keris yang tersusun dari berbagai unsur kerupaannya seperti :,”dapur, pamor,guwayaning tosan, condong leleh dan berbagai jenis lainnya yang masing-masing mempunyai makna berbeda, dalam diri keris yang bersangkutan. Dalam banyak hal sebenarnya pembuat keris (Empu) yang paling menentukan nilai estetik dari sebilah keris. Artinya ketika ia mendapat pesanan atau akan membuat keris sang Empu sudah harus berfikir untuk tujuan apa keris yang akan ia buat, dan setelah semua informasi didapatkan dari pemesan atau tujuannya jelas berulah dibuatnya. Mereka inilah sebenarnya yang paham tentang dunia keris, bukan pengguna atau pemilik keris. Pengguna dan pemilik keris adalah orang yang sudah kesekian kali mendapat pengetahuan tentang keris dari seorang Empu si pembuat keris. Naumn demikian baik pengguna maupun pemilik keris masih lebih mengetahui nilai estetik dalam varian keris ketimbang orang awam seperti kita ini. Estetika dalam keris, sangat erat kaitannya dengan estetika jawa, yang merupakan bagian dari kebudayaan Timur. Estetika jawa dapat dilihat dari berbagai bentuk karya seni, baik seni bangunan,seni sastra, seni keris dan seni-seni lainnya,yang mengandung makna tertentu bagi masyarakat etnis jawa. Kebudayaan jawa, terutama mengenai ekspresi estetiknya memiliki cirri-ciri khusus,3 diantaranya kekhususan itu adalah:
(1).bersifat kontemplatif trasedental, yakni masyarakat jawa dalam mengungkapkan rasa keindahan yang dalam selalu mengkaitkannya dengan perenungan (kontemplasi) baik kecintaannya kepada Tuhan, Raja, Negara penghayatan pada alam maupun pengejawantahan dari dunia mistis. Jadi apapun yang diungkapkan selalu mengandung makna untuk mengungkapkan sesuatu, dan tindakannya banyak dipengaruhi oleh berbagai hal, misalnya pengaruh dogma agama,adat, kebiasaan, teknik, pakem dan sejenisnya.
(2). Bersifat simbolik, masyarakat jawa dalam setiap berekspresi selalu mengandung makna simbolistik. Hal seperti itu bisa kita lihat dalam filosofi pedalangan wayang kulit purwa, yang pada dasarnya merupakan rangkuman dari tindakan simbolis terpadu. Misalnya dalam hal penanggapan wayang untuk nadhar, dengan lakon tertentu dengan menampilkan tokoh pewayangan tertentu, merupakan simbolisme falsafah masyarakat jawa. Tindakan simbolis lain misalnya penabuh gamelan dan sinden harus hadir sebagai pengiring untuk menghidupkan suasana serta mencerminkan tataran suatu kehidupan manusia. Dan begitu dalang duduk ditempat, dan ketika gending lagu pantaloon dibunyikan berarti ruh atau jiwa manusia yang akan menghidupi wayang telah memasuki zat kehidupan,4 dan tidak lupa Ki Dalang menggunakan keris sebagai simbulis budaya jawa.
(3). Bersifat Filosofis, masyarakat jawa dalam segala tindakannya selalu didasarkan atas sikap tertentu yang dijabarkan dalam berbagai ungkapan hidup. Ungkapan itu misalnya, “ojo dumeh” artinya jangan sok,”ngono yo ngono ning ajo ngono” begitu ya begitu tapi jangan begitu, “mamayu hayuning bawono” artinya memelihara perdamaian dunia dan lainnya. Berbagai ungkapan filosofis seperti itu pada dasarnya merupakan sebuah sikap masyarakat jawa atau estetik masyarakat jawa yang dikenal adhiluhung itu. Hampir semua estetik jawa tersebut tercermin dalam pusaka tosan aji atau keris yang umumnya menjadi “piandel” mereka yang mengagumi seni keris baik sebagai koleksi, bisnis, ajimat atau benda seni lainnya. Bagi mereka yang masih patuh dengan estetika seperti itu dapat kita lihat dari penempilan keseharian, dalam bersikap dan berperilaku.

Memahami Keris Pusaka
Pada bagian pendahuluan tulisan ini telah di utarakan bahwa seni keris sangat erat kaitannya dengan estetika budaya jawa, dengan demikian untuk memahami keris tentu tidak semudah yang di duga sebelumnya. Dalam memahami dunia perkerisan orang perlu paham dulu jenis keris dan filosofinya, karena disana masing masing keris mempunyai estetika yang berbeda beda. Perbedaan itu sangat tergantung untuk apa sebuah keris itu dibuat oleh pemesan, atau prakarsa Empu si pembuat keris itu sendiri. Lantas bagaimana memahami keris secara fisik kita harus pahan tentang beberapa hal antara lain, mata bilah keris,keadaan mata bilah, panjang mata bilah, tabiat, warangka keris dan lainnya. Sebagai benda budaya ia merupakan visualisasi dari ide/gagasan, nilai-nilai, norma-norma,atau peraturan-peraturan sehingga kehadirannya sebagai salah satu atribut pakaian adat para pemimpin suku dan atribut pengantin laki-laki di Minangkabau merupakan tanda yang mengandung makna tertentu.5 Karena masing-masing tabiat dan mata bilah keris mempunyai makna yang berlainan,satu sama lainnya. Perbedaan itulah yang memperkaya seni budaya keris untuk dikembangkan dalam rangka tujuan apa. Artinya tosan aji atau keris pada umumnya menyimpan nilai-nilai sebagai barang antik, karya seni, serta kelengkapan bahan yang digunakan untuk membuat keris sering dianggap memiliki daya spiritual tertentu. Misalnya nilai seni itu bisa berbeda pada ukiran dan lukisan logam (pamor) pada bilahnya. Pemahaman untuk mengenal karakteristik keris ini menjadi penting sebelum mempelajari tentang keris dan maknanya yang lebih mendasar lagi di era teknologi informasi dewasa ini.
Prodosen Keris di Era Modern
Secara umum prodosen atau pembuat keris tidak hanya didominasi di Jawa saja tetapi juga terdapat di luar Jawa, seperti di Sumatera, Kalimantan, Bali, Madura, Sulawesi dan tempat lainnya. Setahu penulis prodosen keris di jawa antara lain di Blitar, Pacitan, Nganjuk, Pamekasan , Surakarta dan Bantul, Jogyakarta. Seperti di ceriterakan pembuat keris di Banyu Sumurup Bantul, bahwa banyak perbedaan tentang pembuatan keris dizaman kerajaan dahulu dengan di zaman kemerdekaan, dan sekarang ini (wawancara, 16/6/2006). Di zaman kerajaan dulu konon, pembuatan keris erat kaitannya dengan kepentingan negara atau kerajaan untuk senjata pusaka kerajaan jika suwaktu waktu kedatangan musuh dari luar kerajaan. Mungkin di zaman modern ini mirip dengan Pt.Pindat di Bangdung Jawa Barat. Pada zaman dulu produksi keris dan jenis senjata lainnya itu sangat tergantung dari kondisi kebutuhan perang atau tidak. Jika kerajaan akan melakukan penyerangan untuk menaklukkan kerajaan lainnya di butuhkan banyak keris sebagai senjata andalan, tetapi jika kerajaan dalam posisi damai produksi keris menjadi berkurang, dan para Empu pembuat keris banyak yang istirahat. Tetapi pada saat ini produksi keris seperti di Banyu Sumurup Bantul Yogyakarta ini lebih di latarbelakangi dengan pengrajin benda seni untuk kebutuhan ekonomi, atau perdagangan benda souvenir.
Mereka memproduksi keris bukan untuk senjata tetapi sebagai barang seni yang akan dijual ke pasaran, baik berupa pesanan maupun atas prediksi pengrajin sendiri. Meski ia banyak mengeluh karena pembelian bahan baku logam besi dan baja sebagai campuran saat ini sudah mahal, namun penjualan hasil produksinya terasa sepi dari pemesan. Menurutnya banyak pembeli yang menginginkan keris kuno bukan yang di produksi pengrajin seperti saat ini. Jika dalam satu bulan bisa memproduksi 10 keris dan terjual sudah dianggap bagus pada saat ini. Berbeda dengan para pedagang pengepul keris di berbagai daerah, mereka memang mencari keris kuno yang sudah tidak terawat, kemudian ia rawat dan harganya mahal bisa lima kali lipat dari keris produksi pengrajin tersebut. Sementara keris yang dikeramatkan adalah keris yang ada di Kraton Yogyakarta, Surakarta sehingga terjamin perawatan dan ke-antikannya, keris semacam ini tidak sampai di perdagangkan karena keberadaannya di lindungi oleh undang undang cagar budaya. Kalau ada di pasaran barang tersebut pasti elegal dan di perjual belikan secara sembunyi sembunyi, baik oleh penjual maupun pembelinya.
Pada zaman pra kolonial sebagian keluarga suku Jawa rata-rata mempunyai keris, sekarang hanya para kolektor keris dan sebagian kecil keluarga pewaris nenek moyang yang masih menyimpannya. Menurut pengakuan kolektor keris di Alon-alon utara Jogya (wawancara,16/6/2006) banyak keris antic (kuno) yang dijual ke luar negeri. Meski sekarang ini banyak pembuat keris tetapi diproduksi seperti pandai besi yang juga memproduksi benda lain seperti alat pertanian dan sejenisnya. Sedangkan Empu keris yang masih memegang teguh tata cara pembuatan keris secara tradisional di Jawa barang kali tinggal seorang yakni Empu Djeno Harumbrodjo (60 th) di Desa Gatak Yogyakarta. Konon ia masih keturunan ke-15 dari Empu Sopo dari Mojopahit. Menurut Haryono Arumbinang6 keris kuno yang dibuat sebelum abad 19 masih menggunakan bahan bijih logam mentah yang diambil dari alam/tambang (karena belum ada pabrik peleburan bijih besi,perak, nekel tembaga dan berbagai jenis logam lainnya) sehingga logam yang dipakai untuk pembuatan keris masih banyak mengandung jenis logam lain, misalnya bijih besi yang juga mengandung, titanium,cobalt, perak, timah putih,nekel tembaga dan lainnya. Sementara jenis keris yang diproduksi setelah abad 19 biasanya hanya menggunakan bahan besi baja, dan nekel buatan/peleburan pabrik atau besi bekas (per, tiang, jembatan dan lainnya) yang berasal dari pabrikan keasliannya terjamin. Hasil penelitian Haryono Arubinang, Sudyartomo dan Budi Santoso dari BATAN Yogyakarta menunjukkan bahwa, “sebuah keris dengan tangguh Tuban, dapur tilam upih,dan pamor beras wutah ternyata mengandung besi (Fe), arsinikum (warangan) dan titanium (Ti) hal ini dapat dipastikan keris kuno sebagai logam titanium baru ditemukan sebagai unsur logam mandiri sekitar tahun 1940-an dan logam kekerasannya melebihi baja namun jauh lebih ringan dan sekarang banyak digunakan untuk membuat pesawat ruang angkasa, pesawat tempur dan roket, jadi belum ada di Indonesia. Menurut Haryono Cs, titanium banyak ditemukan pada batu meteorit dan pasir besi yang banyak di dapat di pantai selatan Pulau Jawa, dan Sulawesi. Dari 14 keris kuno yang diteliti yang dianggap mempunyai nilai antik (ke-kunoan) sebanyak 13 keris mengandung titanium, dan hanya satu yang mengandung nekel. Berbeda dengan keris yang baru sudah langsung ketahuan karena bahan bakunya dibeli dari took besi (besi, nekel dan kuningan bekas), mereka tidak menggunakan dari bijih besi mentah (diambil dari tambang) atau batu meteor sehingga tidak perlu diteliti dengan peralatan isotop radioaktif seperti keris kuno. Pada hal menurut Empu Djeno, membuat keris jenis “Tangguh Sedayu” dibutuhkan 15 kg besi,1,5 kg besi pamor (batu meteorit),0,5 baja dengan cara pemanasan, penempaan, dan pelipatan untuk menyelesaikannya memerlukan 4098 lipatan, dan bahan yang jumlahnya sekitar 17 kg itu hanya akan tinggal beberapa ratus gram saja, bahkan bisa habis sama sekali. Jumlah berat itu menyusut menjadi sebilah keris hanya karena dipanasi, dilipat dan ditempa bukan ada yang sengaja dibuang.
Menurut Empu Djeno untuk membuat model keris klasik yang mempunyai kandungan seni profane maupun spiritual memerlukan waktu sekitar 6 bulan, dan di bengkelnya sudah banyak pemesan, sedangkan biaya pembuatannya sekitar Rp.5.000.000,-/keris. Dalam perkembangannya antara Empu dan pengrajin keris pada saat ini sudah mengembangkan jenis pamor baru atau kolaborasi beberapa pamor. Untuk keris cindra mata pembuatannya tidak terlalu lama, hanya sekitar satu bulan bahkan dalam hitungan minggu tergantung dari pamor yang dipilih. Pada pasar keris yang menentukan harganya bukan hanya pada keindahan tetapi juga sejarah dan tuah keris, misalnya sebilah keris bisa mencapai ratusan juta karena bekas milik atau kerajaan tempo dulu. Tetapi jika jenis keris cindera mata harganya sudah standart bisa ditentukan, tergantung bahan baku yang digunakan untuk membuatnya.

Pangsa Pasar Keris
Pemasaran keris memang tidak bisa disamakan dengan barang industri lainnya, misalnya untuk kebutuhan lokal nasional dan internasional sudah ada pengepul benda kuno tersebut, mereka umumnya sudah membentuk jaringan sampai ke luar negeri. Di kalangan masyarakat jawa penggunaan keris sudah tidak lagi menjadi pilihan, kecuali pada hari tertentu seperti hajatan pengantin,dan upacara ritual adat lainnya. Sedangkan pemasaran keris lebih banyak melelui pengepul (jaringan) yang ada di beberapa daerah misalnya, untuk wilayah Jateng, ada di Wonosobo, Kebumen, Boyolali, Sragen Ungaran, Pekalongan Temanggung, Magelang, Banjarnegara, Surakarta, Semarang, Jepara dan lainnya. Untuk Jawa Timur ada di Pacitan, Blitar, Mojokerto/Trowulan, Pamekasan, Nganjuk, Tulungagung, Trenggalek, Tuban,Malang, dan lainnya, disamping di bebrapa daerah di Jogyakarta dan sekitarnya yakni pada hari hari biasa pemasaran keris bisa didapatkan di Alon-Alon Utara dan Pasar Tri Windu Surakarta, Pasar Turi Surabaya, Pasar Johar Semarang, Pasar Rawa Bening Jakarta6 Dari hasil penelusuran penulis banyak keris kuno yang dijual ke luar negeri seperti belanda, Malaysia, Thailan, dan berbagai negara Eropa lainnya.
Para pedagang itu berprofesi sebagai penjual keris kuno peninggalan sejarah kebudayaan itu lebih di latar belakangi oleh motif ekonomi. Artinya hanya orang asing yang mau membeli benda pusaka kuno itu dengan harga yang mahal, sedangkan pasaran dalam negeri atau lokal tidak mampu menjangkau harga tersebut. Kondisi inilah yang menyebabkan benda budaya dan situs situs purbakala banyak yang lari ke mosium luar negeri. Bagi orang luar negeri ia membeli benda kuno termasuk keris dari Indonesia bukan dinilai dari komersialitasnya, tetapi nilai sejarah yang tidak didapatkan di negara lain. Benda kuno itu dikembangkan untuk penelitian ilmu pengetahuan mereka terhadap peradapan manusia. Maka tidak heran jika untuk melihat koleksi lengkap terhadap benda kuno asal Indonesia harus datang ke museum di Belanda atau London. Kedengarannya memang sangat ironis tetapi ini merupakan realitas yang terjadi di abad ini, termasuk keris kuno asal Indonesia yang mempunyai nilai historis.
Keris merupakan sebuah penamaan dari jenis senjata tikam tradisional masyarakat jawa yang sekarang telah memiliki jarak kultural dengan komunitas di masyarakat, mereka sebenarnya cukup memahami jika keris sebenarnya merupakan sebuah karya teknologi bangsa kita pada zamannya yang memiliki nilai luhur untuk mempertahankan keamanan komunitasnya. Meski demikian keberadaan keris dan karya logam lainnya hingga dewasa ini masih menjadi misteri, dan belum terungkap dengan teknologi modern bagaimana dizaman itu seorang Empu sudah bisa membuat keris yang berkualitas. Pertanyaannya menggunakan teknologi apa para Empu membuat keris, darimana mereka bisa belajar membuat keris yang berkualitas seperti itu. Di akui atau tidak keris merupakan bagian dari hasil karya yang menonjol pada zamannya yang hingga sekarang masih menjadi bagian khasanah budaya etnik jawa yang sering disebut adhiluhung. Dan apa bila disandingkan dangan jenis senjata tradisional lainnya seperti tombak, parang, golok, clurit,badik,kujang keris masih memiliki eksistensi yang lebih jelas, khusus dan memiliki ikatan kultural yang jauh lebih mendalam. Ikatan kultural itu lebih di sebabkan karena keris memiliki nilai histories dengan mereka, baik secara langsung maupun tidak langsung di masa lalu.

Memaknai Industri Keris
Persoalan yang dianggap paling mendasar dalam konteks ini adalah bagaimana memaknai keris yang tidak sekedar sebagai komuditas ekonomi semata tetapi bagaimana relasinya dengan masalah sosial dan perkembangan budaya di komunitas masyarakat itu sendiri. Pada bagian lain keris juga dianggap mampu memetakan status sosial tertentu bagi komunitas masyarakat. Ukuran pemetaan status sosial pada setiap individu di masyarakat dapat di identivikasi dari jenis dapur keris dan tahun pembuatannya. Semakin kuno (antik) tahun pembuatan keris biasanya akan membawa konsekuensi harga yang lebih mahal, belum lagi untuk dapur tertentu yang biasanya akan di sesuakan dengan karakter sang pemilik. Misalnya keris buatan abad ke VIII di masa kerajaan Majapahit yang dimilki oleh petinggi kerajaan akan mempunyai nilai yang tidak terbatas.Nilai tidak terbatas artinya di sesuaikan dengan karakteristik pemilik atau calon pembeli (kecocokan) apakah keris tersebut sesuai dengan karakteristiknya atau tidak.
Apabila pembeli merasa senang dan berniat untuk memilikinya harga tidak menjadi soal, berapapun akan di belinya, tetapi sebaliknya meski keris itu dalam katagori antik, jika tidak ada rasa kesenangan tidak akan mungkin terjadi transaksi. Dengan demikian masalah nilai yang terdapat pada benda semacam keris adalah persoalan “rasa” meski secara fisik tidak bisa di rasakan seperti makanan pada umumnya. Rasa itu secara mistis akan menyatu dengan calon atau pemilik keris yang bersangkutan. Menurut penuturan pembuat keris di Banyu Sumurup Bantul (wawancara,16/6/2006) dulu keris hanya bisa di beli oleh orang yang mempunyai karakteristik sama dengan yang menjualnya. Secara fisik keris memang dapat di beli dengan imbalan berupa apapun, tetapi isi keris tidak begitu saja mau berpindah meski sudah ganti pemilik. Dalam mithos isi keris di artikan makluk yang menunggu atau yang menyatu pada keris sehingga keris mempunyai kekuatan magis diluar kekuatan manusia. Jenis keris seperti yang di diskripsikan seperti itu hanya di miliki oleh kalangan tertentu di masyarakat, misalnya jika tidak keturunan bangsawan mereka pasti dari status sosial kelas atas. Karena hanya kelompok mereka inilah yang mampu membeli jenis keris semacam itu. Dalam konteks ini orang memiliki atau membeli keris dapat di kelompokkan,:(1). Ia sebagai pewaris dari generasi sebelumnya, biasanya orang tersebut dari keturunan atau trah kerajaan, kesultanan dan atau orang biasa yang memiliki komitmen kuat untuk melestarikan tradisi adat dan budaya lokal pada komunitas masyarakat tertentu. Kelompok ini biasanya mempunyai ikatan histories dengan dinasti atau trah yang dulunya mempunyai kekuasaan. Mereka memiliki keris sebagai symbol status sosial dalam kehidupan bermasyarakat di lingkungannya.
Sebagian diantara mereka masih percaya jika memiliki keris yang bagus dan sesuai dengan karakter pemiliknya rasa percayaan dirinya tinggi, ketenteraman dan keselamatan hidupnya terjamin. Oleh sebab itu keris bukan sekedar di jadikan benda koleksi, tetapi berfungsi untuk ketenteraman serta kelancaran ekonomi keluarganya. (2).Pengoleksi keris untuk kebutuhan ekonomi (di perdagangkan), kelompok ini memiliki jaringan perdagangan keris di berbagai daerah seperti telah di bahas pada bagian lain tulisan ini. Kelompok ini memburu keris kuno karena memiliki nilai ekonomi tinggi dan sangat menguntungkan untuk di perdagangkan. Sebilah keris kuno yang masih memiliki keterkaitan dengan kerajaan tertentu bisa laku ratusan juta, pada hal harga pembeliannya tidak seberapa mahal. Ia mencari keris keris tersebut pada orang orang di luar jaringan perdagangan keris yang mana mereka tidak banyak informasi tentang perkembangan harga keris kuno di pasaran Nasional. (3). Pembuat keris yang sekarang ini terdapat di berbagai daerah termasuk di Banyu Sumurup Bantul Yogyakarta. Katagori yang terakhir ini tidak ubahnya pandai besi yang membuat alat pertanian seperti cangkul, sabit, sekop dan lainnya. Bedanya yang mereka produksi adalah keris yang menyerupai aslinya, tetapi yang satu ini hanya untuk komuditas setingkat souvenir, tidak memiliki estetika layaknya keris zaman dulu yang masih di jamin keasliannya. Misalnya pengrajin keris di Bantul memasang tarif paling rendah antara Rp.3.000.000 – Rp.8.000.000. untuk sebilah keris pesanan, lengkap dengan sarungnya. Perbedaan harga itu tergantung dengan bahan dan model tingkat kesulitan pembuatannya. Satu unit keris biasanya akan di selesaikan rata rata dalam tiga bulan dari pemesanan, itu sudah tercepat.Bahkan jika terdiri dari model yang paling sederhana, waktu pembuatannya bisa di hitung dalam minggu, atau hari.

Peran Media
Baik sebagai industri maupun artefak budaya “keris” menjadi suatu hal yang sangat menarik untuk di diskusikan dan di eksplorasi menjadi bahan kajian budaya dan media. Menarik bukan berarti penulis meyakini atas mithos pada sebuah keris (Islam mengharamkan hal itu), tetapi tidak lebih sebagai eksplorasi pengetahuan terkait dengan industri budaya. Keris pada zamannya hingga saat ini mampu me-petakan sekat sekat kelas sosial dan budaya pada komunitas masyarakat tertentu. Karena keris bukan sekedar benda yang di gunakan sebagai senjata tikam (gaman) ketika itu, tetapi mengandung mithos yang di yakini bahkan menjadi ideologi komunitas masyarakat tertentu.”Mithos dan ideologi bekerja dengan menaturalkan interpretasi tertentu dari individu yang khas secara histories”6 Artinya mithos memberikan kehendak histories suatu justifikasi alamiah dan menjadikan berbagai peristiwa yang tak terduga tampak abadi. Sebagian orang atau individu yang memiliki ideologi sama tentang dunia per-kerisan akan selalu mencari komunitasnya untuk melakukan negosiasi guna menjaga kelestarian (kesakralan) terhadap benda keris agar tetap memiliki karisma budaya yang tinggi. Ideologi seperti itu yang menimbulkan genre pada keris tertentu, sehingga mampu menciptakan kelas kelas sosial dan budaya di komunitasnya. Pada saat yang sama genre pada motif keris yang di ukur dari keantikan dan relasi dengan kekuasaan di zamannya mampu menetukan sebuah nilai ekonomi. Tentu nilai ekonomi pada genre keris tidak datang dengan sendirinya tanpa komodifikasi media.
Oleh sebab itu peran media dalam konteks ini menjadi sangat strategis dan penting untuk melanggengkan ideologi tentang mithos yang terdapat pada masing masing keris buatan tahun yang berbeda. Media bukan berarti media massa (Tv, Radio, Surat Kabar dan Internet), tetapi ruang publik bisa di katagorikan sebagai media yang di maksud. Secara realitas berbagai produk keris akan muncul di ruang publik (media), tetapi menurut Schlesinger (1978) media bukanlah refleksi atas realitas, sebagamana meletakkan secara ber- sama sama, tetapi sebuah representasi selektif yang di konstruksi untuk membangun realitas.7 Realitas yang dikonstruksi dalam hal ini bisa berupa mithos yang di representasikan keris dengan nilai ekonomi yang di konstruksinya. Mediasi itu bisa berupa ruang pamer yang sering di selenggarakan oleh jaringan kolektor keris untuk melakukan negosiasi perdagangan keris di berbagai daerah tertentu. Pada ruang public i tulah terjadi interaksi antara prodosen dan konsumen berbagai model dan karakteristik keris dari berbagai daerah, yang masing masing membawa nilai kelas sosial dan artefak budaya komunitasnya untuk di pertukarkan dengan nilai ekonomi di antara mereka. Dalam konteks tersebut ada pertanyaan yang paling mendasar seberapa besarkah penghargaan yang diberikan kepada kreator budaya, dalam hal ini para pencipta seni keris. Jika nilai ekonomi yang diberikan kepada hasil seni keris itu mencapai puncak tertinggi, apakah penghargaan yang sama juga di berlakukan kepada sang pencipta seni budaya keris ? Ataukah para pencipta seni budaya keris hanya di ciptakan sebagai obyek kekuasan hegemoni pemilik modal pembisnis keris. Yang terjadi penghargaan nilai estetika kepada kreator seni budaya keris lebih rendah jika dibanding dengan penghargaan terhadap nilai ekonomi yang di berikan kepda pembisnis keris. Kesenjangan semacam inilah yang sering kurang mendapatkan perhatian dari semua pihak termasuk penguasa, sehingga cepat atau lambat akan terjadi degradasi budaya,yang termarginalisasi oleh krkustsn kapitalisme di negeri yang berbudaya adhiluhung ini. Lantas kapan keseimbangan penghargaan semacam itu akan di berikan secara berimbang seperti negara yang sudah maju…?

Penutup
Keris bukanlah sekedar jenis senjata tikam untuk mempertahankan diri bagi prajurit atas serangan musuh di zaman kerajaan masa lampau, tetapi benda yang lebih di kenal dengan “tosan aji” itu merupakan symbol kekuasaan yang dianggap mengandung mithos tertentu yang oleh sebagian dari mereka di jadikan sebuah ideologi. Kuatnya ideologi dan pengakuan mithos terhadap keris mengakibatkan ia mampu membuat sekat sekat sosial dan budaya pada masyarakat komunitasnya. Atas genre yang dibuatnya eksistensi keris yang di komudikasi media menjadi semakin kuat. Bahkan keris di representasikan mampu menggeser nilai budaya yang di anggap sdhiluhung itu menjadi nilai ekonomi bagi komunitas masyarakat yang keberadaannya selalu dipertahankan. Karena keris memiliki nilai mithos baik secara kultural dan histories itulah ia mampu bertahan dan eksis menjadi komuditas ekonomi di tengah masyarakat komunitasnya. Persoalannya akankah produksi keris konvensional di era sekarang ini akan merusak nilai estetika dan nilai ekonomik perdagangan keris ?, ternyata tidak. Logikanya masing masing produk yang berdasarkan genre, dan tahun pembuatannya masing masing telah memiliki pangsa pasar yang konstan.
Demikian produk keris secara konvensional yang hanya di pruntukkan sebagai barang souvenir.Artinya meski keris yang memiliki nilai mithos tinggi dan keris souvenir saling bertemu di pasar konvensional di jamin tidak akan terjadi perusakan pangsa pasar, maupun nilai nilai cultural yang terkandung di dalamnya. Karena masing masing jenis keris mempunyai watak dan karakteristik yang berbeda beda, sesuai dengan tahun pembuatannya, dan untuk apa sebuah keris itu di buatnya ketika itu.

Rujukan/bacaan:
Arifin,MT,Keris Jawa, Bilah Latar Sejarah Hingga Pasar,Penerbit, Hajied
Pustaka,Jakarta, 2004

Budiyono,Filsafat Hidup Orang Jawa Dalam Simbolisme Budaya Jawa,
Penerbit,Hanandita, Yogyakarta, 1987

Barker Chris,Cultural Studies,Terjemahan Nurhadi, Penerbit Kreasi Wacana
Yogyakarta, 2004

Erwin A Keris Pusaka Minangkabau, Suatu kajian fungsi unsure visual dan
makna (studi kasus di Lubuk Tanah Datar Agam Lima puluh kota
dan Padang Propinsi Sumatra Barat, Tesis Program S2 Penerbit,
Fakultas Seni Rupa Jurusan Design ITB Bandung tahun 2000

Haryono Arubinang dkk, Hasil Penelitian Terhadap Keris Kuno, Badan
Atom Nasional, Yogyakarta, Harian kompas Edisi 30 Juni 2005.

Sachari, Agus, Diskonstruksi Nilai Estetik Pada Design Furnitur
Tradisional Masyarakat Jawa Modern, Proyek Penelitian Toyota
Foundention, Bandung 1990

Wiryodirdjo, Budihardjo, Tesis Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi
Bandung tahun 1993
1 Hasil penelitian tentang keris, M.T.Arifin,Keris Jawa,Bilah, Latar Sejarah Hingga Pasar, Penerbit Hajied Pustaka, Jakarta,2004 halaman 2
2 Lihat Budiharjo Wiryodirjo, Tesis Fakultas Seni Rupa Angkatan 1993 Institut Teknologi Bandung 1993
3 Lihat tulisan Budiono.H.Filsafat Hidup Orang Jawa,Dalam Simbolisme Budaya Jawa,Penerbit Hanindita Yogyakarta,1987 hal.73-96
4 Lihat Budiono Harusatoto,ibid halaman 114, dan
Agus Sachari,Diskunstrusi Nilai Nilai Estetik Pada Design Furnitur Tradisional Masyarakat Jawa Modern, Proyek Penelitian Toyota Fundantion, Bandung 1990.
5 Lihat Hasil penelitian : Keris Pusaka Minangkabau, Suatu kajian fungsi unsure visual dan makna (studi kasus di Lubuk Tanah Datar Agam Lima puluh kota dan Padang Propinsi Sumatra Barat, Tesis Program S2 Erwin.A.Fakultas Seni Rupa Jurusan Design ITB Bandung tahun 2000.
6 Haryono Arumbinang Peneliti Badan Atom Nasional Yogyakarta, Harian Kompas 30 Juni 2005 hal 18
6 Lihat tulisan MT.Arifin, lok cit halaman 359
6 Lihat Roland Barthes, (1972) di kutip Chris Barker dalam Cultural Studies, Teori & Praktik, Terjemahan Nurhadi, Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta 2004 halaman 73.
7 Lihat Easy Schlesinger, P.(1978) Putting Reallity Together, London : Constable

Tidak ada komentar: