Kamis, 27 Desember 2007

NEO-LIBERALISI TELEVISI KOMERSIAL

NEO-LIBERALISI TELEVISI KOMERSIAL

Oleh : S. Arifianto1

Abstraksi

Pengelolaan televisi komersial lebih cenderung mengarah pada konsep neo-liberalisme. Mereka tidak lagi memperhitungkan intervensi negara, apakah KPI atau lembaga abusmen lainnya memberikan tegoran, sepanjang pasar menghendaki mereka akan jalan terus. Setidaknya studi rating memberikan penjelasan betapa kuatnya tekanan mekanisme pasar televisi komersial dalam konteks pasar nasional maupun lokal yang mengadopsi konsep Neo-liberalisme.


Pendahuluan

Sejak regulasi dibidang penyiaran bergulir, dengan pemberlakuan Undang Undang No: 32/2002 tentang Penyiaran, perkembangan industri televisi komersial versi “neo-liberalisme” semakin berkembang pesat.Industri televisi itu bukan saja yang menyandang predikat siaran nasional tetapi juga yang menyatakan dirinya bersiaran regional dan local. Industri televisi komersial yang bersiran nasional itu sapai saat ini sebagian besar berdomisili di Jakarta. Ketika diberlakukannya Peraturan Pemerintah No:50 tentang pelaksanaan penyiaran komersial yang mengharuskan televisi di Jakarta yang semula bersiaran nasional untuk beralih ke-siaran berjaringan masih belum tampak adanya persiapan hingga saat ini. Mereka itu antara lain, RCTI, SCTV, IDOSIAR, TRANS TV, TPI, STAR TV, GLOBAL TV, LATV, METRO TV DAN TRA 7. Sedangkan televisi lain yang bersiaran regional berada di masing masing kota Propinsi seperti Jogya Tv,JTV, BaliTv, dan lainnya. Kelompok inilah yang bersaing secara kompetitif di dunia pertelevisian nasional untuk memperebutkan pangsa pasar dengan mengembangkan konsep neo-liberalisasi dibidang pertelevisian. Ketatnya persaingan dunia pertelevisian komersial dengan konsep neo-liberal dengan penggunaan teknologi modern menjadikan persaingan industri televisi semakin tidak terkendali, dan cenderung mengabaikan kode etik pertelevisian sebagai rambu rambu media penyiaran televisi yang mereka sepakati bersama. Etika bisnis semacam itu penting untuk di lakukan agar penyiaran televisi komersial bisa terjaga kualitasnya.Bagi televisi yang tidak terjaga kualitasnya cepat atau lambat pasti akan di tinggalkan pemirsanya. Sebaliknya televisi komersial yang mampu menjaga kulitas siarannya akan di cari konsumennya. Harapan itu sekarang jauh panggang dari api, khalayak hanya di buat mimpi untuk bisa menikmati kualitas siaran televisi komersial. Bahkan yang terjadi khalayak di paksa untuk mengikuti selera semu produk televisi yang bersangkutan untuk mendapatkan sekelumit hiburan. Pada hal media televisi yang di anggap ideal seharusnya mengutamakan kebutuhan khalayak akan informasi, pengetahuan dan hiburan yang berkualitas. Konsep media televisi yang berkualitas jika setiap program siarannya mengandung banyak manfaat bagi khalayaknya.Sejujurnya sisi manfaat itulah yang menjadi tolok ukur keberadaan televisi komersial dewasa ini.Namun demikian realitasnya tidak demikian, karena tolok ukur kekuatan dan kualitas televisi hanya tergantung pada modal yang di investasikan di dalamnya. Semakin besar nilai investasi yang ditanam semakin kuat posisi beraning mereka dalam mersbut pasar, sebaliknya televisi yang bermodal pas pasan akan semakin kolep dan programnya semakin tidak jelas. Pada hal mereka harus bersaing ketat untuk merebut simpati khalayak yang semakin kritis.
Implikasinya industri televisi yang mampu bertahan, hanyalah mereka yang ditopang modal besar oleh konglomerasi dibidang bisnis media,sehingga sebagian dari mereka saling melakukan marger atau akuisisi guna menyehatkan posisi tawarnya. Menurut Curran,(1999) “dengan para konglomerat ini menjadikan media sebagai bisnis besar untuk meraup keuntungan dengan wilayah garapan yang lebih luas”.Apa yang dilakukan para kongklomerasi bisnis media televisi ini tidak ada bedanya dengan mereka yang berbisnis bidang manufacturing, yang memproduksi barang komuditas pada umumnya. Dalam hal ini James Lull (1995),berpendapat bahwa :
kita bisa saja menganalisis implikasi politik konglomerasi media sebagai proses distribusi ideology dominan, dimana para prodosen ideology tersebut menjadi elite informasi. Mereka bisa mempengaruhi media massa dengan mensponsori berbagai program unggulan dengan mengiklankan produknya. Dominasi kekuasaan mereka yang begitu kuat itu difokuskan pada industri media dan hiburan, sehingga dapat jaminan ideology dan perspektif mereka secara terus menerus untuk disampaikan kepada khalayak”.

Bagi konglomerasi pemilik industri media hegemoni kekuasaan semacam ini bukan sekedar berasal dari akses informasi, tetapi karena posisinya atas kepemilikan media itu sendiri memberikan mereka kekuasaan yang mempunyai potensi untuk mempengaruhi produk informasi yang mereka jual kepada khalayak.Televisi bukanlah cerminan dari sebuah realitas, tetapi realitas yang seharusnya bisa di ketahui khalayak telah di konstruksi sedemikian rupa sesuai dengan keinginan pemilik modal. Ideologi media televisi yang semula untuk memenuhi kebutuhan informasi public sudah semakin berkurang karena terhegemoni oleh kekuasaan melalui system keagenan yang di ciptakan. Bentuk nyata keagenan itu terkait dengan program siaran televisi yang mengelompok dan bersaing secara kompetitif berdasarkan genre masing masing. Meski dalam tataran kualitas program siaran yang diunggulkan rendah, tetapi jika retingnya tinggi tetap saja di pertahankan untuk di siarkan karena akan meraup iklan lebih banyak.Semakin tinggi perolehan iklan semakin tinggi pula benefit yang di hasilkan untuk mendukung biaya operasional. Tetapi di lain pihak larisnya program televisi komersial sebagai ajang promosi semakin memperkeruh kompetisi yang tidak sehat bahkan jauh dari etika bisnis antar media televisi, karena mereka bukan lagi mempertahankan kualitas program siarannya sebagai bentuk layanan kepada khalayak, tetapi mereka lebih mengejar rating tertinggi setiap programnya. Artinya program mana yang menduduki rating tinggi itulah yang harus dipertahankan, meski kualitas dan implikasinya kepada khalayak sering di permasalahkan. Dalam posisi ini konsumen hanya dijadikan obyek sebuah penyiaran media televisi yang kurang berkualitas, bukan ditempatkan sebagai subyek yang harus mendapatkan layanan informasi dan hiburan yang sehat dan berkualitas sebagaimana diamanatkan dalam UU No:32/2002 tentang penyiaran. Berangkat dari latar belakang permasalahan tersebut tulisan ini ingin mendiskusikan mengapa model program siaran televisi komersial menjadi seragam, dan bagaimana implikasinya terhadap khalayak pemirsanya. Permasalahan ini menjadi menarik karena, televisi komersial keberadaanya sangat tergantung dari iklan, sementara penejualan iklan akan semakin kompetitif pada acara yang mempunyai rating tertinggi pemirsanya. Implikasinya meski tidak suka dengan mata acara televisi yang bersangkutan khalayak telah di giring bahkan dipaksa untuk melihat acara televisi meskipun sebenarnya mereka tidak menghendakinya. Dalam lingkaran ini pihak yang dirugikan adalah konsumen pemirsa televisi komersial, karena kuatnya hegemoni kekuasaan konglomerasi media televisi,konsumen dibuat tidak berdaya menghadapinya. Sebenarnya solusinya sangat mudah, misalnya dengan matikan cenel televisi habis perkara. Persoalannya sekarang khalayak menempatkan televisi bukan sekedar untuk mendapatkan informasi, tetapi yang paling dominan adalah untuk memperoleh hiburan, khususnya bagi masyarakat di kawasan perdesaan. Sementara kalangan pembisnis melihat televisi komersial merupakan lahan yang paling potensial untuk melakukan promosi segala macam produk yang di hasilkannya, baik berupa barang jasa maupun industri. Ada paradok yang dikonstruksi televisi komersial versi neo-liberalisme, yakni di satu sisi televisi komersial memberikan berbagai macam hiburan, informasi dan pengetahuan, tetapi pada sisi yang lain membawa khalayak ke arah terciptanya budaya komersial terhadap produk kapitalisme yang di konstruksi oleh televisi komersial itu. Pada konteks ini sangat tipis bedanya apakah khalayak pemirsa televisi komersial itu di bawa ke alam hiburan, berpengetahuan dan informasi atau justru sebaliknya di jerumuskan. Pada titik inilah dialektika perlu dibangun dan di kaji lebih jauh bagaimana sebenarnya praktik operasional televisi komersial dilihat dari pendekatan neo-liberalisme.

Praktik Neo-Liberalisme Televisi Komersial
Belajar dari tulisan Mosco (1996:27) ekonomi politik media massa merupakan studi yang menguraikan relasi social,politik dan ekonomi yang mempengaruhi produksi, distribusi, konsumsi dan sumber daya dalam pengelolaan media. Meski konsep ini sudah sering digunakan untuk kerangka teori berbagai penelitian untuk melihat kecenerungan media massa, tetapi masih tetap relevan untuk di gunakan sampai sekarang. Maka dari itu dalam konteks teori ekonomi politik model keseragaman dalam program siaran televisi komersial menjadi penting dan menarik untuk di diskusikan dalam perspektif neo-liberalisme. Studi yang pernah dilakukan Wibowo,dkk (2003) menunjukkan bahwa “perkembangan kapitalisme sekarang ini tengah memasuki apa yang disebut neo-liberalisme. Pada dasarnya ideology neo-liberalisme adalah, ”menjadikan ekonomi sebagai kunci untuk memahami dan mendekati berbagai masalah penggusuran arena hidup sosial menjadi urusan individu dan pemindahan regulasi dari arena sosial ke urusan personal”. Aliran ini percaya bahwa tidak hanya produksi, distribusi dan konsumsi yang tunduk pada hukum pasar tetapi juga seluruh kehidupan di masyarakat. Gagasan besar neo-liberalisme lebih di titik beratkan pada tata-cara bertransaksi dalam kegiatan ekonomi bukanlah satu dari berbagai model hubungan antar individu, melainkan satu satunya model yang mendasari semua tindakan dan relasi antar individu baik berupa persahabatan, keluarga,hukum, tata negara, maupun hubungan lainnya.
Menurut pendekatan teori neo-liberalisme semua tindakan tersebut hanya dipahami sebagai model hubungan menurut kalkulasi transaksi ekonomi. Sedangkan aktivitas penyiaran dalam media televisi komersial menurut paham neo-liberalisme harus dilihat sebagai entitas ekonomi yang bermuara pada kalkulasi untung dan rugi. Tulisan Priyono, dalam Wibowo dkk (2003:54) mengidentivikasikan secara ontologis manusia sebagai homo ekonomicus mencakup dua hal, yakni : (1).Hubungan antar pribadi dan sosial, harus dipahami dengan menggunakan konsep dan tolok ukur ekonomi. Artinya ontology ekonomicus mempunyai implikasi juga terhadap epistimologi ekonomi. (2).Prinsip ekonomi merupakan tolok ukur untuk melakukan evaluasi dalam berbagai tindakan dan kebijakan kekuasaan suatu negara. Sehingga akibatnya ontology dan epistimologi economicus akan juga melahirkan etika economicus pula. Tokoh lain seperti Lerner (1972) melihat jika dalam liberalisme klasik menuntut pemerintah untuk menghormati kinerja pasar sebagai salah satu cara dalam kehidupan ekonomi, neo-liberalisme menuntut kinerja pasar bebas sebagai suatu tolok ukur untuk menilai berhasil tidaknya semua kebijakan pemerintah.
Dalam hal ini penelitian Wibowo dkk (2003:62) membagi tiga faktor yang mendorong munculnya neo-liberalisme antara lain,(1).Berkembangnya perusahaan multinasional (Multinational Corporation-MNC) sebagai kekuatan yang nyata bahkan memiliki asset lebih besar dari negara kecil didunia. Mereka umumnya memiliki kantor pusat dinegara-negara maju seperti di (AS,Uni Eropa,Kanada,Jepang dan Australia) sekaligus memanfaatkan insfrastruktur negara yang bersangkutan, dan industri penyiaran seperti media televisi bukan pengecualian (misalnya ANTV di akuisisi oleh STARTV dari Australia). (2).Munculnya rezim internasional yang berfungsi sebagai surveillance system, untuk menjamin bahwa negara-negara didunia patuh menjalankan prinsip pasar bebas dan perdagangan bebas (WTO,IMF, dan World Bank) untuk membuat evaluasi dan laporan tahunan atas negara di seluruh dunia. Dalam konteks ini Hidayat (2003:1) meng-istilahkan World Bank dan IMF sebagai dua institusi yang telah menjalankan fungsi ideology neo-liberalisme sebagai …built in systemic mechanism of economic liberation,opposing not only socialism but olso nationalism as well,in favor of the progressive extention of international market force. (3). Terjadinya revolusi bidang teknologi informasi komunikasi dan transfortasi. Tanpa kemajuan ini tidak mungkin terjadi kemajuan neo-liberal. Gaplin & Gaplin (2002:176) menyebut sebagai perubahan teknologi menjadi basis perubahan peran multinational corporation dalam ekonomi global, termasuk didalamnya media televisi komersial yang cenderung mengadopsi konsep pendekatan neo-liberalisme dalam operasionalisasinya.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi seperti internet secara teknis memungkinkan pengorganisasian bisnis dan pengelolaan system industri dan distribusi global, dimungkinkan bisa mengurangi biaya industri barang dan jasa manufakturing. Sedangkan pada saat yang sama neo-liberalisme mengidealkan internasionalisasi kekuatan pasar. Artinya bukan hanya mekanisme pasar yang harus dipakai untuk mengatur industrialisasi pertelevisian tetapi juga kebijakan negara terhadap dunia pertelevisian seperti semangat dalam UU No: 32/2002 Tentang Penyiaran yang sebenarnya lebih banyak mengadopsi konsep neo-liberalisasi negara maju seperti Amerika, Inggris, Eropa Barat dan sebagian negara Asia Tenggara yang industri pertelevisiannya sudah maju di banding Indonesia.
Industri televisi komersial dalam konteks ini dimungkinkan untuk membentuk jaringan kemana saja baik yang berskala lokal, regional, nasional dan internasional, sepanjang pasar menghendakinya. Dengan demikian penetrasi pasar internasional dalam dunia penyiaran, khususnya media televisi komersial di Indonesia menjadi tidak bisa terhindarkan lagi, mengingat industri pertelevisian memang syarat modal dan teknologi tinggi yang harus dipenuhi demi tututan pasar bebas tersebut. Tetapi sayangnya meningkatnya industri televisi komersial dewasa ini masih belum di imbangi dengan meningkatnya multiplier effek yang cukup memadai di kalangan masyarakat lingkungannya. Misalnya berkorelasi dengan semakin meningkatnya rumah-rumah produksi film yang bisa menyerap tenaga kerja di lingkungannya dsb. Pada hal meningkatnya multiplier effek suatu industri akan memperkuat posisi tawar bagi media televisi yang bersangkutan. Kepedulian lingkungan untuk pembangunan sebuah industri, termasuk industri televisi menjadi sangat penting untuk mempertahankan kredibilitasnya dalam mengawal pasar baik secara domestic, nasional maupun internasional. Konsep ini yang semakin dinggalkan oleh industri televisi komersial di tanah air belakangan ini. Mereka melakukan akuisisi hanyalah untuk memperkuat posisi modal dan kekuatan perusahaan, dan belum banyak menyentuh kepentingan public atau khalayak sebagai konsumennya untuk mempertahankan posisi pangsa pasar.
Jika dewasa ini akuisisi dan marger sudah dimulai untuk memperkuat pasar, bukan tidak mungkin dimasa mendatang kebijakan privatisasi industri pertelevisian juga diberlakukan ketika pasar global mengharuskannya. Karena kebijakan privatisasi sangat kental dengan ideology bisnis yang menganut aliran neo-liberalisme, konsep neo-liberalisme melihat bahwa negara tidak punya alasan apapun untuk mencampuri dan mengawasi pasar, dan pasar yang justru mendasari semua kebijakan negara dan masyarakat, keberhasilan tidaknya kebijakan negara ditentukan oleh mekanisme pasar.
Apa bila ada kebijakan sosial masyarakat dalam welfare system yang mengganggu kinerja pasar harus dihapus, bahkan paling tidak kebijakan itu harus diubah agar sesuai dengan prinsip pasar bebas. Dalam konteks ini semua kebijakan neo-liberalisme berusaha memangkas peran pemerintah, karena sejujurnya regulasi penyiaran khususnya media televisi dan radio sudah cenderung mengarah pada konsep neo-liberalisme. Hidayat (2003:2) mencatat,:

Semua trasformasi dalam sector media sebenarnya sudah mencerminkan peralihan dari state regulation dimana operasional industri media tidak lagi didasarkan atas intervensi pemerintah, tetapi sudah cenderung mengarah pada bentuk mekanisme pasar, bahkan keberadaannya ditentukan oleh kekuatan pasar.

Kuatnya tekanan neo-leberalisasi pada perkembangan industri televisi komersial di tanah air yang ditandai dengan pengurangan peran negara (pemerintah) seperti tercermin dalam kebijakan regulasi penyiaran, setidaknya telah membebaskan media televisi dari control negara, tetapi pada sisi yang lain akan semakin memperbesar kerentaan media dari represi kapitalis yang mengarah pada suatu kediktatoran pasar (market dictatorship). Selanjutnya menurut Hidayat (203:3) semakin besar peran pasar semakin besar kebebasan media, semakin besar kebebasan media semakin besar pula kebebasan audience untuk memilih media. Dogma semacam itulah yang diyakini kaum fundamentalis pasar baik dikalangan pemilik modal industri media televisi, jurnalis industri media dan berbagai segmen media televisi itu sendiri. Tuntutan kebebasan yang selalu ditekankan kepada public sejujurnya merupakan neo-liberalisme yang lebih cenderung mengadopsi kekuatan pasar, yang memiliki kekuatan modal.
Dalam kasus ini Deliarnov (2005:175) menyimpulkan bahwa ajaran neo-liberalisme menghendaki peran negara harus surut,meski sebenarnya ada kontroversi dalam hal ini, karena di era globalisasi seperti sekarang ini peran pemerintah justru dibutuhkan sebagai regulator. Saat ini investor nasional maupun internasional menanti aturan yang jelas tentang kepastian hukum, agar pertumbuhan media televisi komersial yang sekarang lagi carut marut itu dapat dibenahi demi kepentingan masyarakat bukan sekelompok pembisnis media yang harus dilindungi, tetapi kepentingan public terabaikan. Persoalannya bisakah ideology politik media televisi komersial seperti itu ditaklukkan oleh para pelaku bisnis dibidang pertelevisian ?

Interaksi Kekuasaan Dalam TV Komersial
Jika di kaji lebih jauh carut marutnya pertelevisian di Indonesia saat ini dapat dilihat dari kebijakan regulasi televisi komersial yang tercermin di Undang Undang No: 32/2002 Tentang Penyiaran. Dimana dalam konstelasi tersebut ada tiga komponen yang saling tarik menarik dan mempengaruhi berdasarkan kepentingan mereka masing masing, yakni negara, pelaku pasar, dan publik. Kontroversi di antara ketiga unsur itu sering terjadi karena masing masing mempunyai tolok ukur yang berbeda. Misalnya masyarakat sebagai khalayak (konsumen media televisi) punya ukuran tersendiri yakni demokratisasi media televisi yang ditandai dengan desentralisasi system penyiaran televisi, pembukaan seluas luasnya terhadap akses public terhadap penyiaran (televisi) serta deversivikasi keluaran (output) tayangan untuk pemberdayaan public secara universal.Tuntutan public ini menjadi kontradiktif dengan konsep neo-liberal yang sebagian besar digunakan paradigma pengelolaan televisi komersial. Maka dari itu sampai kapanpun tuntutan public yang demikian menjadi sulit terealisasi karena landasan berpikirnya memang berbeda.Pemaksaan hanya akan membuahkan konflik konflik baru diantara mereka yang memiliki konsep yang berbeda tersebut. Atau dengan kata lain masing masing punya tolok ukur yang bervariasi. Varian konsep itu sendiri tidak mungkin di persandingkan karena memang berangkatnya berbeda konsep kerangka pemikirannya.
Sementara media televisi komersial sebagai pelaku pasar juga mempunyai tolok ukur tersendiri yakni bagaimana agar investasinya bisa kembali sekaligus mendapatkan propit yang sebesar besarnya bahkan berusaha untuk menguasai pasar pertelevisian. Sedangkan negara berusaha untuk melakukan hegemoni terhadap pertelevisian melalui regulasi dan kebijakan yang dituangkan dalam peraturan pemerintah, agar televisi komersial bisa dikendalikan dengan dalih demokrasi yang kebablasan. Berbagai kepentingan politik seperti itu kadang kala sering mengalami benturan benturan dalam implementasi operasionalnya. Ketiga kekuatan tersebut masing masing berkeinginan menanamkan ideologinya dalam undang undang No:32/2002 Tentang Penyiaran, sehingga akibatnya kebijakan politik di dunia pertelevisian menjadi silang sengkurat seperti yang terjadi dewasa ini. Masing masing berkepentingan untuk memasukkan ideologinya, agar bisa memberikan konstribusi bagi perubahan nasional, padahal di dalamnya tidak bisa diterima secara utuh. Perbedaan pandangan itu muncul karena masing masing pihak ingin tampil secara bersamaan dalam konstelasi politik dan ekonomi yang tidak memberikan wadah atas pola pemikiran yang berbeda konsep tersebut.
Implikasinya sejauh relasi kekuasaan antar kelompok tersebut bersifat asimetris dan tidak seimbang maka kebijakan pada tataran implementasi di dunia pertelevisian selalu didominasi kelompok tertentu yang memiliki surplus sumber daya ekonomi dan politik. Tetapi suatu hal yang menarik untuk di kaji lebih jauh bahwa dalam banyak kasus ketiga kekuatan tersebut berbagi dominasi sehingga terjadi dinamisasi operasionalnya di masyarakat. Karena di dalam proses mengunstruksi regulasi penyiaran sebagai realitas obyektif dilakukan melalui eksternalisasi yang melibatkan interaksi berbagai kelompok kepentingan, dan realitas sosial itu di reproduksi melalui proses sosial yang sejenis pula. Dalam suatu relasi tertentu pihak yang menempati posisi menguntungkan cenderung akan melakukan proses legitimasi. Realitas sosial dalam implementasi penyiaran televisi itu di difinisikan sebagai symbolic reality yang terinstitusionalisasi sehingga melahirkan suatu realitas yang alami, dan obyektif. Misalnya negara mengunstruksi publik dalam kontek penyusunan regulasi penyiaran, sebagai pihak yang mendapatkan perhatian khusus, karena aktivitas dunia penyiaran menggunakan ranah public, tetapi sebaliknya pemerintah menganggap public sebagai pihak yang lemah dan tidak berdaya, maka tidak perlu bimbingan. Maka tidak heran jika hasil yudicial review UU No: 32/2002 tentang penyiaran memangkas peran KPI sebagai regulator dunia penyiaran, seperti yang di kehendaki pembisnis pertelevisian.
Namun sebaliknya publik melihat negara lebih bersikap represif dan otoriter terhadap regulasi penyiaran, sehingga harus dipangkas agar public yang lebih dominan dalam dunia penyiaran atau media televisi komersial. Publik melihat media televisi komersial yang condong kearah neo-liberal merupakan suatu realitas yang tidak kalah membahayakannya dibanding negara, maka dalam regulasi penyiaran agar bisa memberikan garis yang tegas bagi industri penyiaran atau televisi, sehingga citra public dalam dunia penyiaran tetap terjaga kualitasnya.
Dilihat dari argumen tersebut neo-liberalisasi media televisi komersial dianggap bisa memunculkan ancaman terhadap kualitas kebebasan media selama ini. Pertama dengan semakin berkembangnya media televisi komersial yang semakin kompetitif, maka perilaku media televisi semakin ditentukan dengan apa yang disebut Kellner (1990:6) sebagai the logic of accumulation and exclusion, logika kepentingan akumulasi modal yang nota bene merupakan konstitusi rezim kediktatoran pasar. Kedua akumulasi modal akan membuat biaya untuk memperoleh akses pada media penyiaran khususnya televisi komersial akan menjadi mahal, karena hanya terjangkau oleh kelompok tertentu. Bagi kelompok public yang tidak mempunyai kekuatan politik atau tidak memiliki sumber daya, peluang untuk memperoleh akses ke media televisi guna menyuarakan issu kepentingan mereka akan dipersempit oleh kepentingan industri media televisi dalam menampilkan issu dan peristiwa yang memiliki nilai jual. Ketiga,logika mekanisme pasar berpotensi besar untuk mendepak keluar bagi institusi media televisi yang tidak mempu mematuhi rezim kapitalis atau neo-liberalisme berupa tekanan dari pasar pengiklan. Konsep alami yang berlaku dalam mekanisme pasar adalah rasionalitas maksimali produksi, akumulasi modal berpotensi memunculkan konglomerasi, konsentrasi pasar, pemusatan kepemilikan modal serta kepemilikan media televisi di sejumlah kecil konglomerasi media yang mempunyai akumulasi modal.
Keempat mekanisme pasar bebas pada industri televisi komersial akan menciptakan sebuah struktur yang memproduksi kesenjangan antar kelas ekonomi di masyakat sebagai khalayak pemirsa televisi. Misalnya masyarakat kelas menengah keatas menjadi sasaran program media televisi komersial, karena berpotensi dan berdaya beli bagi setiap program televisi yang mendatangkan iklan. Sedangkan masyarakat kelas bawah hanya dijadikan pelengkap penderita sehingga berpotensi menciptakan kesenja ngan rasionalitas diantara khalayak di masyarakat.

Rating Sebagai Tolok Ukur Program TV Komersial
Bagi media televisi komersial yang berafiliasi pada aliran neo-liberal,keberhasilan program siarannya sangat tergantung pada perolehan rating.Mereka melihat program siaran yang menghasilkan rating tertinggi akan tetap dipertahankan, meski kualitasnya resisten dengan kepentingan khalayak. Misalnya menurut Amelia Hezkasari Day (KPI) dalam Majalah Cakram (Januari 2006) dalam hasil penelitiannya selama piriode Juli-Desember 2005, kualitas tayangan televisi komersial pada semester kedua tahun 2005 cenderung memburuk jika dibandingkan semester pertama. Acara siaran televisi komersial banyak menayangkan adegan vulgar, seks dan kekerasan, karena persaingan program yang semakin kompetitif dalam menarik pemirsa. Dari setiap jam tayangan prime time yang disiarkan 11 stasiun televisi komersial di Jakarta, 70 % sinetron mengandung kekerasan dan eksploitasi seksual, dan berbagai bentuk pelanggaran lainnya.
Secara berurutan, SCTV dan Trans TV,ditemukan melakukan pelanggaran terbanyak, yang kemudian disusul oleh RCTI dan Global TV, Lativi,TV 7, ANTV serta TPI, Metro TV dan Indosiar. Banyaknya pelanggaran kode etik penyiaran televisi seperti itu mencerminkan bahwa persaingan media televisi komersial dengan konsep neo-liberal tidak bisa dihindari, karena mekanisme pasar telah menuntut, dan membuat industri media televisi komersial melakukan strategi penetrasi pasar, yang kadang kala ditempuh dengan jalan yang sangat riskan mendekati limit pada batasan batasan terjadinya bentuk kearah pelanggaran. Mereka berbuat seperti itu adalah untuk mengejar rating tertinggi agar dapat meraup keuntungan dari pemasang iklan. Sehingga akibatnya banyak diantara televisi komersial hanya menggunakan salah satu lembaga survey bidang rating media sebagai sebuah legalitas untuk menentukan tolok ukur program televisi komersial, seperti AGBNelsen yang banyak menjadi rujukan media komersial dewasa ini.
Data AGBNelsen Media Research menyebutkan urutan pertama dari 10 besar program televisi komersial Bulan Januari sampai dengan Bulan Oktober tahun 2005 sebagai berikut :
Tabel. 1
Urutan Pertama dari (10) Top Rating Televisi Komersial
Tahun 2005

No
Stasiun TV
Nama Program Unggulan
Khalayak
Rating
Pasar
01
RCTI
Bw Merah Bw Putih (seri)
4706.000
12,5 %
35,2 %
02
SCTV
Sholin Soccer
3011.000
8.0 %
22,2 %
03
Indosiar
7U Eiffel..I’m In Love
3736.000
9.9 %
28,9 %
04
Trans TV
Eksklusif Peterpan Utk.Teman
3770.000
10.0 %
27,8 %
05
TV 7
Tiger Cub Ind vs Singa (live)
4662.000
12,4 %
33,3 %
06
TPI
Rahasia Illahi
5326.000
14,2 %
40,0 %
07
Metro TV
4 Jam Menjadi Saksi Sunami
1626.000
4,3 %
12,0 %
08
Global TV
Prison On Fire II
578.000
1,5 %
4,3 %
09
ANTV
Liga Jarum Indonesia Final
2681.000
7,1 %
29,6 %
10
Lativi
The Twin Dragons
1293.000
3,4 %
9,7 %
Sumber : Majalah Cakram Edisi Khusus Televisi Januari 2006.

Dari table 1, terlihat program televisi komersial di tahun 2005 yang dijadikan program unggulan (rating tertinggi) masing masing stasiun televisi komersial untuk menjual iklan di prime time,guna mencari penetrasi pasar. Rating tertinggi ditempati oleh Rahasia Illahi yang ditayangkan TPI,dengan rating 14,2 %, dengan pangsa pasar mencapai 40%. Sejalan dengan paradigma neo-liberalisme yang menghendaki pertimbangan ekonomi sebagai satu satunya orientasi penyiaran media televisi komersial yang berorientasi pada pasar bebas yang harus dipertahankan, maka siaran berjaringan seperti yang diamanatkan oleh regulasi penyiaran akan menjadi suatu hal yang sangat krusial bagi industri televisi komersial yang sekarang bersiaran nasional.
Kebijakan itu baik secara langsung atau tidak langsung akan memangkas perolehan iklan. Jika selama ini kue iklan dinikmati sendiri oleh masing masing televisi tersebut, nantinya harus dibagi dengan televisi jaringan yang berada di daerah. Dengan konsep ini maka televisi komersial yang menggunakan konsep neo-liberalisme akan beranak pinak sampai ke daerah.Mereka nantinya harus bertarung dengan pemain local yang sekarang sudah menguasai pasar di daerah yakni televisi lokal seperti, Bali Tv, Jawa Pos tv Jatim, Jogya televisi,Publik Katulistiwa TV(PKTv), Bandung TV,Jak Tv,Riau Tv, Batam Tv, Cahaya Tv Banten, Cakrawala Tv Semarang,Lombok Tv,Makasar Tv, Borobudur Tv,Jateng, Gorontalo Tv,Chanel Tv Jakarta,Manado Tv,Megaswara Tv Bogor, Tangerang Tv, Srijunjung Tv Bengkalis.
Kelompok televisi lokal yang beroperasi di daerah ini juga menggunakan konsep neo-liberalisme dengan memperebutkan pasar local dengan mengusung budaya local untuk menarik konsumen. Mereka juga menggunakan tolok ukur rating lokal sebagai salah satu mata acara yang harus dipertahankan untuk pengiklan,meski mereka harus bekerja keras dan hanya tv local yang mampu menciptakan cultural dan emotional bonding dengan khalayaknya yang bisa bertahan.Harapan yang terpancar dari keberadaan televisi local ini mengharuskan mereka lebih peka terhadap pelestarian kearifan local dimana televisi local itu berdomisili.Meski komodikasi kebudayaan local menjadi sebuah industri budaya komersial di televisi juga tidak bisa lepas dari konsep neo-liberal, tetapi setidaknya ada kedekatan dengan khalayaknya.

Penutup
Pada akhirnya didapatkan simpulan bahwa pasca regulasi undang undang no : 32/2002 tentang penyiaran pengelolaan televisi komersial di Indonesia lebih cenderung mengarah pada konsep neo-liberalisme.Mereka tidak lagi memperhitungkan intervensi negara, apakah KPI, Lembaga Sosial Keagamaan atau lembaga abusmen lainnya memberikan tegoran, sepanjang pasar menghendaki mereka akan jalan terus. Setidaknya studi rating seperti yang telah dipaparkan pada bagian tulisan ini memberikan penjelasan betapa kuatnya tekanan mekanisme pasar televisi komersial dalam konteks pasar nasional maupun lokal. Neo-liberalisme dalam dunia pertelevisian komersial tidak lagi memberikan dorongan pada pemilihan pasar bagi program televisi komersial untuk bersaing secara sehat., tetapi juga berakibat kualitas layanan kepada konsumen cenderung terabaikan. Konsumen sebagai khalayak pemirsa televisi komersial tidak lagi mendapatkan kesempatan untuk melakukan klaim atas layanan televisi komersial ini, sehingga khalayak sebenarnya hanyalah sebagai obyek yang tidak berdaya atas semua tayangan program televisi komersial yang menganut konsep neo-leberalisme tersebut.


Daftar Pustaka
Curran,James,and Michael Gurevitch,1991,Mass Media and Society,London:
Edward Arnol
Deliarnov, 2005, Ekonomi Politik, Penerbit Erlangga Jakarta
Giplin &Gilpin, Robert Dan Jeans Millis Gilpin 2002,The Challenge of Global
Capitalism, Jakarta Raja Grafindo Persada.
Hidayat, Deddy N,(ed),2000 Pers Dalam Revolosi Mei, Penerbit PT.Gramedia,
Jakarta Tahun
Kellner, Douglas (1990) Television and the Crisis of Democracy and The Mass
Media, Cambridge University Press.
Lull James,1995,Media Communication Culture: A.Global approach Cambridge
:Polity Press
Lerner,Aba,P. 1972,The Economic and Politic of consumer sovereignity dalam
Esay, American Economic Review No: 62 :259
Mosco,Vincent,1996, The Political Economy of Communication,London : Sage
Wibowo, I dan Franciskus Wahono, Neo-liberalisme, Penerbit Cindelaras Pustaka
Yogyakarta Tahun,2003.
…………Majalah Cakram Edisi Khusus Televisi, PT Duta Media Internusa,
Jakarta, Januari, 2006
1 S. Arifianto, pemerhati media dan bekerja sebagai peneliti bidang komunikasi dan media di BPPI Yogyakarta.

Tidak ada komentar: