Rabu, 26 Desember 2007

KEPERKASAAN IKLAN & KETIDAK

KEPERKASAAN IKLAN & KETIDAK
BERDAYAAN KONSUMEN

Analisis Iklan True Tone Lagu Terbaru Indra Lesmana dan Iwan Fals
Pada Hand Phone Nokia NSeries.

Oleh : S. Arifianto

Abstraksi :
Keperkasaan hegemoni kapitalistik yang di reprsentasikan iklan disply Nokia Nseries tidak sekedar untuk menarik keuntungan,tetapi di balik itu menjadikan konsumen tidak berdaya untuk menghadapinya. Ia menempatkan konsumen penggemar kedua musisi itu (Iwan Fals dan Indra lesmana) tidak sekedar untuk menarik simpati masyarakat, tetapi membidik mereka menjadi calon pembeli baru atas produk Nokia Nseries di pasaran. Sementara ideology yang ingin dibangun prodosen adalah ingin menunjukkan bahwa negara Finlandia yang masuk katagori miskin tetapi mampu mengembangkan teknologi komunikasi canggih di dunia. Sebenarnya hal itu bisa di jadikan cerminan bagi Indonesia yang sedang mengembangkan teknologi informasi di masyarakat saat ini.


Pendahuluan
Mengamati perilaku konsumen atas keperkasaan iklan di media massa pada era global ini sungguh menarik, karena konsumen dihadapkan pada dua yang pilihan tidak menguntungkan. Tidak menguntungkan karena konsumen ditempatkan pada posisi yang sangat lemah, artinya di satu sisi konsumen memperoleh informasi yang cukup imajinatif dari sebuah propaganda produk yang di iklankan, tetapi pada sisi yang lain ia bisa terperosok ke arah perilaku konsumtif, jika tidak mampu memahaminya dengan cermat. Tetapi juga di akui bahwa di era global ini, informasi yang masuk ke ruang public melalui media massa telah bergeser menjadi kebutuhan pokok bagi masyarakat. Siapa yang menguasai berbagai jenis informasi ia akan menguasai dunia, khususnya dibidang bisnis.1 Dalam konteks ini di analogikan bahwa dengan informasi yang jelas dan transparan melalui produk yang di iklankan, konsumen bisa mendapatkan informasi serta dapat menentukan sikap untuk memilih dan memilah semua informasi iklan, apakah ia perlu atau tidak mengkonsumsi produk yang bersangkutan. Secara historis masyarakat konsumen di Indonesia telah terbentuk sejak masuknya kebudayaan modern dimasa pemerintahan Kolonial, dan dipernalkan pada masyarakat pribumi sejak diperkenal kannya pendidikan modern di abad IXX. “Kondisi itu telah merubah struktur sosial masyarakat priyayi dan birokrat dengan gaya hidup modrn masyarakat belanda”. Gaya hidup masyarakat modern itulah yang di jadikan sebagai sebuah identitas status sosial tertentu bagi komunitas kalangan masyarakat tertentu. Fenomena seperti itu akhirnya mendorong semakin tumbuh dan berkembangnya budaya modern yang cenderung menuju budaya konsumtif,yang berkembang pesat hingga saat ini.
Dalam kajian historical hal itu terjadi secara bertahap, pada awalnya ia mengkonsumsi barang kebutuhan sehari seperti yang di contohkan oleh masyarakat Belanda, dan akhirnya berkembang semakin meluas menjadi komunitas baru yang memiliki selera seperti masyarakat modern di Eropa”2 bahkan sifat konsumerisme itu sendiri telah muncul pada dekade post colonial. Ketika itu perilaku sosial masyarakat yang berkorelasi dengan gaya hidup secara tidak sadar berhubungan juga dengan masyarakat konsumen modern. Terbangunnya masyarakat konsumen modern pada dasarnya menciptakan keterbukaan baru yang lebih pluralistik3 Dalam konteks ini masyarakat konsumen bukan terbatas pada barang primer, tetapi juga sekunder dan tersier, dan hal itu erat hubungannya dengan gaya hidup masyarakat serta terbangunnya konsumerisme di semua jenjang sosial. Gaya kehidupan masyarakat modern di abad ini di simbolkan dengan kepemilikan alat komunikasi canggih misalnya, telephone seluler (hp), camera digital,dan peralatan elektronik lainnya. Hand phone bagi masyarakat telah bergeser menjadi kebutuhan sarana komunikasi yang tidak bisa di tinggalkan bagi sebagian masyarakat tertentu. Artinya kehidupan masyarakat modern sangat tergantung dengan keberadaan alat komunikasi yang bernama hp tersebut. Barang kali jika seorang yang ketinggalan dompetnya masih tidak merasa terganggu, tetapi ketika hand phone (hp) yang tertinggal ia menjadi kebingungan, karena ada sesuatu yang di anggap kurang lengkap pada dirinya. Ketinggalan hp berarti ia tidak bisa mengakses informasi dari alat bantu tersebut, sehingga merasa tidak percaya diri dalam penampilannya gara gara ketinggalan hand phone (hp) nya.
Tetapi dalam perkembangannya hp bukanlah semata-mata alat komunikasi biasa, hp telah bergeser menjadi computer mini yang bisa digunakan untuk mengakses dan mengirim data,photo,film dan sejenisnya kepada siapapun yang memiliki peralatan yang sama. Oleh sebab itu ia disamping memiliki keunggulan yang bersifat positif juga terdapat dampak negative pada alat tersebut dalam memenuhi segala bentuk informasi kepada khalayaknya.
Suka atau tidak ketergantungan informasi dari peralatan modern seperti hand phone telah membawa dampak kepada sikap dan perilaku sosial di masyarakat. Orang merasa kehilangan sesuatu jika tidak membawa hp kemanapun ia pergi. Jika sebelumnya kebutuhan masyarakat itu hanya terbatas pada kebutuhan pokok yakni sandang, pangan, papan,pendidikan, rekreasi, arloji, dan asesoris lainnya, sekarang harus ditambah dengan hp sebagai alat komunikasi,meski harus menambah beban ekstra biaya pulsa untuk akses internet dan berbagai ragam konvergensi lain yang digantikan oleh hp apakah, camera,televisi, radio, alat perekam dan permainan lainnya, untuk daya tarik pada konsumen dalam penetrasi pasar yang sangat kompetitifnes.
Konsumsi peralatan teknologi komunikasi seperti itu akan semakin berkembang secara kompetitif seiring dengan kemajuan teknologinya. Sedangkan kemajuan teknologi komunikasi seperti itu yang di prediksikan mampu merubah perilaku dan gaya hidup konsumen menjadi semakin realitas. Untuk mempelajari perilaku dan gaya hidup komunitas masyarakat bisa diadopsi dari teori “intertemporal choice”, yang memfor mulasikan kecenderungan komsumsi sekarang dengan konsumsi masa yang akan datang4 seperti yang menjadi pembahasan pokok pada artikel ini.
Tulisan ini akan lebih banyak mendiskusikan pada makna iklan Nokia Nsiries yang di dalamnya berkolaborasi dengan penyanyi Iwan Fals dan Indra Lesmana yang dimuat berbagai madia massa, khususnya surat kabar di tanah air belakangan ini. Pada posisi ini masyarakat selalu ditempatkan pada pihak yang lemah, sebagai sasaran program pemasaran produk nokia (ring tune Indra Lesmana & Iwan Fals) melalui iklan Nokia Nseries di media massa. Dalam hal ini konsumen sekaligus dimotivasi untuk membeli hp Nokia seri tersebut jika menginginkan lagu-lagu kedua komponis beken di blantika musik itu.
Dengan memiliki Nokia yang yang didalamnya terdapat “true tone” karya terbaru hasil kolaborasi Iwan Fals dengan Indra Lesmana, konsumen bisa mendengarkan lagu,”selancar “ dan “haruskah kau pergi” langsung dari ponsel Nokia ( 6020, 6070,6080, 3230,atau 3250), Bentuk narasi iklan tersebut : “segeralah miliki ponselnya karena lagu tersebut tidak ada di kaset maupun di CD”. Bagi konsumen khususnya kalangan remaja memiliki ponsel yang di dalamnya terdapat ring tone lagu-lagu seperti itu tidak sekedar untuk memenuhi tuntutan gaya hidup modern, tetapi dibalik itu lebih dititik beratkan untuk menaikkan status sosial di kalangan komunitas mereka. Fenomena seperti itu bukan suatu hal yang aneh pada saat kita dihadapkan pada kebebasan informasi di abad modern sekarang ini, karena kecanggihan kepemilikan alat komunikasi modern telah masuk di dalamnya, sehingga mendorong munculnya kreator baru pada dunia priklanan untuk mencari peluang pasar yang lebih menjanjikan.Kecanggihan teknologi informasi telah membawa mereka untuk tampil berkualitas di tengah persaingan yang yang sangat ketat. Tekanan itu di sikapi oleh para creator dunia periklanan sebagai lahan baru yang bisa menghasilkan keuntungan bagi mereka.
Perkembangan teknologi informasi pada dunia periklanan ditengah kompetisi pasar menjadikan para kreator iklan untuk berpikir ulang dalam menciptakan karya nyatanya dengan menggunakan teknologi informasi modern. Iklan Nokia Nseries di media massa yang kemudian di jadikan pokok kajian utama artikel ini setidaknya bermakna memberikan alternative pemilihan kepada calon konsumennya. Bahkan ia ingin membentuk image di benak konsumen produk hp Nokia. Pembentukan image ini sangat penting dan merupakan langkah strategis bagi kapitalisme untuk memperluas jaringan hegemoni pasar sebanyak mungkin. Suatu makna yang tersirat atas iklan tersebut bahwa,: ketika nanti calon konsumen akan mengambil keputusan untuk membeli alat komunikasi berupa hand phone (hp) urutan pertama yang ada dibenak konsumen adalah merk Nokia Nseries, atau jika konsumen hendak mendengarkan lagu “selancar, dan haruskah kau pergi” hanya bisa didapatkan di hp Nokia Nseries tersebut. Sebenarnya keputusan konsumen untuk membeli suatu produk di samping ditentukan oleh factor ekonomi, social budaya, psikologis, juga kuatnya tekanan budaya politik yang bisa memberikan kelonggaran terhadap keberadaan perkembangan teknologi informasi yang memunculkan varian produk teknologi ponsel dan perangkatnya. Berbagai varian produk teknologi informasi itulah yang memberikan akselerasi kepada konsumen untuk melakukan pemilihan, meski tidak semuanya menganggap hal itu bersifat aktif, dalam arti menguntungkan konsumen tetapi juga ada diantara mereka yang berpandangan pasif.
Konsumen yang masuk katagori pandangan yang bersifat pasif pada akhirnya akan menerima apa saja yang di iklankan di media massa yang bersangkutan. Namun demikian hal itu berbeda dengan pandangan kognitif, konsumen ditempatkan sebagai pemecah masalah (problem solving) dimana konsumen sering digambarkan sebagai individu yang bersifat pasive, tetapi dilain pihak ia active mencari produk untuk memenuhi kebutuhannya. Artinya membaca iklan bukan untuk membeli, tetapi mendapatkan informasi awal, agar calon konsumen mempunyai pengetahuan awal tentang produk yang akan dibeli, dalam konteks inilah creator iklan menempatkan negosiasi antara kepentingan kapitalis dengan obyek yang akan dibidik dalam sebuah produk yang di-iklankan.

Memahami Teks “Iklan Nokia Nseries”di Media
Untuk memahami iklan Nokia yang menjadi bahan analisis isi ini perlu dicari makna yang terkandung dalam teks iklan Nokia Nseries yang bersangkutan. Tetapi menurut hemat saya makna tidak serta merta berada dalam teks iklan itu sendirian. Pembacaan makna bukan seperti membuka kaleng yang kemudian dengan sendirinya akan memunculkan makna pesan yang terkandung di dalamnya. Makna dihasilkan dari interaksi antara teks dan khalayak.5 Ketika teks iklan Nokia Nseries diluncurkan sebenarnya telah terjadi kontak negosiasi antara khalayak anggota kultur atau subkultur dengan keberadaan kondisi produk yang di iklankan, meski di bagian lain informasi tersebut belum cukup menyakinkannya.
Jadi pembacaan teks iklan Nokia Nseries seperti itu secara bersamaan akan menhasilkan makna terpilih (freffered meaning), dan pada kolaborasi ini disatu sisi pembaca ditempatkan sebagai individu dengan serangkaian relasi tertentu dengan system nilai dominan, dan pada sisi lain pembaca iklan Nokia ditempatkan pada masyarakat konsumennya, dan itulah cara bekerja sebuah ideology dimanapun ia berada. Dalam bekerjanya ideologi akan memberikan bentuk koherensi pada sikapnya, dalam konteks tersebut Maxs selalu menghubungkan ideology dengan relasi social.6 Sedangkan fakta social yang menentukan ideology adalah kelas dalam bentuk pembagian kerja. Karena dalam konsep tersebut kelas yang berkuasa menjaga dominasi terhadap kelas kerja, dan kelaslah yang berkuasa untuk mengontrol ideologi yang ada di masyarakat.
Dalam hal pembacaan iklan “Nokia Nseries” ini kelas kapitalis di representasikan oleh Nokia bersama Iwan Fals dan Indra Lesmana, karena mereka menggunakan kekuatan hegemoni kekuasaannya melalui tekanan ekonomi politik yang dimilikinya kepada calon konsumen Nokia Nseries. Di sini calon konsumen ditempatkan sebagai obyek untuk mendukung kolaborasi kapitalis (Nokia,Iwan Fals dan Indra Lesmana) dalam menjual produknya dengan memunculkan mode tertentu sebagai daya pikatnya.
Mode yang dimunculkan dalam iklan Nokia Nseries tersebut adalah berupa “true tone lagu “selancar” dan “haruskah ku pergi” hasil kolaborasi kedua penyanyi beken tersebut. Pada tataran ini konsumen yang mempunyai keinginan untuk mendengarkan kedua lagu tersebut harus membeli Nokia Nseries yang serinya telah saya paparkan di bagian pendahuluan tulisan ini. Jika tidak membeli Nokia Nseries ini konsumen tidak pernah akan bisa menikmati keindahan kolaborasi kedua lagu tersebut, karena tidak diproduksi dalam bentuk kaset dan CD di dapur rekaman sebagaimana layaknya produk lagu lagu yang bisa di konsumsi masyarakat secara umum di pasaran.
Dalam iklan Nokia ini juga ditampilkan produk Nseries unggulan yang mesti harus dimiliki oleh calon konsumen jika mereka berkeinginan menikmati keindahan true tone yang dikemas didalamnya sekaligus. Produk hp unggulan ditampilkan secara mencolok di bagian depan kedua penyanyi kawakan yang sudah nge-fan itu. Dengan latar belakang berwarna kontras kecoklatan dipandu dengan kemerahan seolah menambah keseimbangan dalam tata warna iklan yang bersangkutan. Pemberian warna kontras pada iklan tersebut memberikan makna bahwa daya imajinasi konsumen setidaknya di tuntun bahkan di arahkan baik pada kondisi fisik hp merk Nokia seri tersebut, maupun natatif iklan yang cenderung menonjolkan kedua lagu hasil elaborasi antara Iwan Fals dan Indra Lesmana untuk menciptakan dominasi perhatian konsumen berupa “lagu”.Bagi kalangan muda lagu mempunyai daya pikat yang luar biasa, dalam hal ini digunakan oleh creator untuk memberikan makna berupa daya tarik konsumen yang bersangkutan.
Elemen yang dominan dimunculkan dalam iklan ini adalah “lagu”, karena lagu juga bisa digunakan sebagai martil pengikat dimana kedua penyanyi tersebut mempunyai penggemar fanatic atau massa pendukung. Massa pendukung itulah yang dibidik Nokia untuk dijadikan calon konsumennya. Nokia tahu jika kedua penyanyi terkenal itu memiliki penggemar di berbagai pelosok tanah air ini,walaupun mungkin hal ini hanyalah suatu trik bisnis periklanan untuk menarik simpati konsumen. Sementara design iklan produk Nokia Nseries yang ditampilkan sebenarnya menggambarkan adanya kejenuhan pasar, karena Nokia Nseries tersebut sudah di susul dengan produk Nokia Nseries terbaru yang lebih modis dengan asesoris teknologi yang lebih lengkap. Sementara elemen pada narasi teks tulisan hanya sebagai bentuk penegasan dari sasaran pasar yang akan dibidik oleh produk Nokia Nseries dengan narasi model ini.
Misalnya dalam narasi iklan itu terdapat teks : ”Bukan dikaset,bukan di CD. Karya terbaru kolaborasi. Iwan Fals dan Indra Lesmana bisa Anda dapatkan di ponsel Nokia” Penegasan dalam bentuk teks lain di tempatkan bagian bawah penempatan produk Nokia Nseries, dengan narasi sebagai berikut : “Ingin menikmati 2 true tone lagu terbaru karya kolaborasi Iwan Fals dan Indra Lesmana ? Dapatkan true tone lagu “Selacar” dan “Haruskah Ku Pergi”langsung* di ponsel Nokia 6020 6070,6080,3230, 3250. Segera miliki ponselnya karena kedua lagu ini tidak tersedia di kaset ataupun CD” Teks tulisan ini sengaja dibuat warna putih agar kontras dengan model photo Iwan Fals dan Indra Lesmana yang berlatar belakang coklat kemerah –merahan itu.
Secara tidak langsung terdapat pesan komunikasi yang tersembunyi di balik iklan Nokia Nseries di media cetak ini. (1). Adanya kekuatan dan kekuasaan kapitalistik untuk melakukan penekanan terhadap subordinat tertentu yakni “penyanyi dan pencipta lagu”untuk dijadikan obyek penjualan produk Nokia Nseries, dengan kemasan kolaborasi pemasukan “true tone” lagu kedua penyanyi yang bersnagkutan dalam produk Nokia Nseries ini. Meski hal tersebut dikemas dalam bentuk kerja sama, tetapi masih tampak adanya pembedaan kelas antara kelompok pemodal kuat (Nokia) dan pemodal menengah (Iwan & Indra). (2). Pihak yang dianggap paling lemah dalam posisi ini adalah konsumen. Dimana konsumen dibuat tidak berdaya untuk menghadapi keperkasaan kapitalis pemilik modal yang di representasikan dalam teks iklan Nokia Nseries ini.
Wacana seperti itu dapat dibaca dari makna yang terkandung dalam visualisasi design iklan produk hp Nokia Nseries tersebut baik dalam bentuk gambar maupun narasi teks bahasa yang digunakannya. Dalam kajian pemahaman terhadap design iklan disamping factor dasar yang menjadi arena kehidupan manusia6 juga selalu memiliki keterkaitan dengan tumbuhnya budaya konsumen dan gaya hidup masyarakat.
Analisis budaya konsumen bermula dari pandangan politik marxisme. Untuk memahami pandangan marxis klasik tentang konsumsi terlebih dulu harus mengetahui suatu hal bagaimana memahami perbedaan antara formasi social kapitalis dan prakapitalis.6 Masyarakat prakapitalis dalam hal ini bukanlah masyarakat konsumen, karena ketika itu barang-barang diproduksi sebagian besar untuk dikonsumsi, atau dibarter dengan barang lainnya.
Setelah runtuhnya feodalisme dan munculnya kapitalisme, maka tumbuh system yang didasarkan pada mekanisme pasar, uang dan margin, sehingga konsumsi menjadi terpisah dari kebutuhan aspek penting dari aktivitas manusia. Bagi Marx dan Frederick Engel7 transisi feodalisme ke kapitalisme yaitu suatu transisi dari produksi yang digerakkan oleh kebutuhan menuju produksi yang digerakkan oleh keuntungan. Dan konsumsi secara artificial dimotivasi oleh iklan, yang akhirnya menumbuhkan budaya konsumerisme di masyarakat modern seperti sekarang ini.
Herbert Marcuse (1968) mengembangkan argumen tersebut untuk menunjukkan bahwa ideology konsumerisme telah mendorong kebutuhan palsu, dan kebutuhan ini bekerja sebagai bentuk control social.8 Jadi pengiklan mendorong kebutuhan palsu pada konsumen untuk mengkonsumsi produk barang tertentu. Perilaku masyarakat seperti itu erat kaitannya dengan budaya konsumtif di berbagai kehidupan. Fenomena konsumtif seperti ini menunjukkan berbagai varian penindasan kemanusiaan dalam bungkus masyarakat perindustrian yang mengejar pertumbuhan meskipun muncul kesadaran semu masyarakat sehingga penindasan itu memuaskan.9 Dengan demikian sebenarnya budaya konsumtif yang didorong oleh maraknya kompetisi industri periklanan itu tidak lebih dari sebuah kepalsuan realitas budaya masyarakat.
Namun demikian suka atau tidak suka budaya semu seperti itu telah menjadi trens kehidupan masyarakat modern abad ini. Tanpa sadar masyarakat terus berkompetisi untuk mengkonsumsi berbagai produk industri sebagai akibat dari motivasi kekuasaan kapitalistik melalui bujuk rayu promosi periklanan. Dalam konteks ini penggunaan hp merk Nokia Nseries yang baru seperti dalam iklan tersebut semata mata bukan karena dibutuhkan. Barangkali masih banyak merk hp lain yang lebih murah dan berkualitas, tetapi dianggap tidak muddies dan ketinggalan zaman. Penggunaan hp merk Nokia, bukan bertitik tolak pada fungsinya sebagai alat komunikasi, tetapi sekaligus mempunyai nilai social lebih jika menggunakan merk hp Nokia Nseries dibanding merk hp lainnya.
Pada tataran inilah iklan, termasuk yang diamati penulis ini mampu mengkunstruksi image (imaginary construction) kepada para calon konsumennya. Dibawah sadar konsumen telah dibuat bertekuk lutut untuk merubah gaya hidup dalam menggunakan alat komunikasi, dari yang realitas menjadi peningkatan gengsi social. Orang akan menilai lebih keren, lebih bergaya, dan kelebihan lainnya jika ia menggunakan hp Nokia Nseries seperti pada iklan Nokia yang bersangkutan.

Ketidak Berdayaan Konsumen
Salah satu diantara perubahan social bidang teknologi informasi yang menyertai kemajuan ekonomi masyarakat Indonesia dalam satu dasa warsa terakhir ini adalah berkembangnya berbagai gaya hidup berkomunikasi dengan perangkat teknologi canggih. Sebagai fungsi diferensiasi sosial yang tercipta dari relasi konsumsi, hal tersebut tidak lagi sekedar berkaitan dengan nilai guna dalam upaya memenuhi fungsi kebutuhan komunikasi dan informasi, “tetapi sudah menjurus pada unsur simbolik untuk menandai kelas, status dan symbol social tertentu”.10 Di sini konsumsi hp merk Noki Nseries bukan lagi ditempatkan pada sekedar kebutuhan alat komunikasi, tetapi merupakan identitas diri dari budaya seseorang ditengah-tengah masyarakat. Jadi Yang di konsumsi oleh mereka bukan lagi obyek, tetapi makna-makna social yang berada dibaliknya.

Kecenderungan perkembangan penggunaan alat teknologi komunikasi (hp Nokia) yang dianggap bukan lagi sebagai pemenuhan sarana komunikasi dan informasi tersebut, oleh pakar pemikir ilmu social budaya Eropa, pada umumnya disebut sebagai “budaya konsumerisme,” meski mungkin istilah yang sama digunakan ditempat lain mengandung makna yang berbeda. Jika kita merujuk pada perkembangan masyarakat post industri dan kebudayaan post modern tentu tidak dapat dipisahkan dari perkembangan konsumerisme dalam diskursus kapitalisme. Pada hubungan ini tampak ada relevansi antara konsumerisme perangkat teknologi informasi dengan praktik estetika post modern.
Artinya perkembangan komunitas masyarakat pengguna perangkat teknologi informasi seperti itu telah mempengaruhi cara pengungkapan estetika, bahasa teknologi pada komunitas masyarakat tertentu. Pengaruh itu muncul akibat dominasi hegemoni kapitalis di semua lini kehidupan. Jika pada awalnya versi aliran Marxis dan sosiologis awal dari konsep ideology membatasi pemakaian ide yang diasosiasikan dengan,dan memelihara kekuatan,kelas dominant.Berbeda dengan argument Giddens11 bahwa ideology harus dipahami dalam hal bagaimana struktur pemaknaan dimobilisasi untuk mengesahkan kepentingan kelompok hegemonis.
Artinya ideology mengacu pada bagaimana makna digunakan untuk menjustifikasi kekuasaan yang mencakup banyak kelas. Althusser melihat ideology sebagai sesuatu yang menjustifikasi tindakan semua kelompok masyarakat, sebagaimana dikatakan oleh Foucault (1980) bahwa kita semua termasuk dalam relasi kekuasaan.
Maka dari itu sebenarnya iklan Nokia Nseries tidak sekedar ditujuakan kepada calon konsumen, tetapi juga kepada siapa saja yang membaca teks iklan itu. Siapa saja artinya bukan didominasi kelas, tetapi khalayak secara universal baik calon pembeli, atau yang bukan sebagai calon pembeli. Kekuasaan ekonomi politik Nokia adalah untuk menanamkan imajinasi (imaginary inculcate) dibenak masyarakat agar ketika suatu ketika orang mengambil keputusan untuk membeli hp yang pertama kali ada dibenak mereka adalah merk Nokia, bukan merk lain. Inilah makna hegemoni dalam konteks iklan Nokia Nseries di berbagai madia massa tersebut.

Bagian Penutup
Pada akhir paper ini saya menutup tulisan ini dari dua sudut pandang yang berbeda, pertama keperkasaan hegemoni kapitalistik, yang direpresentasikan oleh produk Nokia dalam iklan disply di media pers merupakan suatu upaya bukan saja untuk meningkatkan margin penjualan produk Nokia tetapi juga adanya upaya dari pihak Nokia untuk mempertahankan popularitas yang telah mereka capai. Dengan demikian fungsi iklan sebenarnya menjadi multi fungsi yakni,: meningkatkan penjualan produk,mempertahankan popularitas, menanam imajinasi di benak konsumen, memberikan kepercayaan kepada konsumen dan fungsi lainnya.
Kedua dari sisi konsumen memang dirasakan adanya hegemoni ekonomi politik kekuasaan dari kapitalis untuk menjadikan konsumen sebagai obyek kekuasaan. Seperti terlihat dalam disply iklan Nokia Nseies itu tampak betapa lemahnya posisi konsumen yang dijadikan obyek kekuasaan antara Nokia dan sang pencipta lagu. Dalam istilah yang populis sekali dayung dua pulau terlampaui, bagi kapitalis.Tetapi paling tidak dari iklan tersebut kita bisa mendapatkan informasi dan pengetahuan awal tentang produk Nokia dari iklan yang bersangkutan.
Lepas dari dua persoalan tersebut,ideology yang ditanam oleh Nokia, bukanlah suatu hal yang datang dengan serta merta,mereka untuk menjadi negara kapitalis melalui upaya perjuangan yang cukup keras. Dari negara miskin Finlandia bisa menguasai teknologi selular di dunia, dan jika ia selalu menjaga untuk mempertahankan prestasinya bukan suatu hal yang tidak wajar. Justru itu yang seharusnya menjadi cerminan bagi pengembangan teknologi informasi di negeri ini.
Pengembangan teknologi butuh kerja serius dan penguasaan manajemen sumber daya manusia di segala bidang, semoga iklan seperti itu bisa memacu perkembangan ilmu pengetahuan dan perekonomian bangsa yang terpuruk, bukan dipandang sinis dari mereka yang sebenarnya mengerti.

Daftar Pustaka

Agus Sudibyo,Ekonomi Politik Dunia Penyiaran,Penerbit,LKIS,Yogyakarta, Thun,
2004
Sartono Kartodihardjo, Perkembangan Peradapan Priyayi, Penerbit, Gadjah
Mada University Press, 1987

Peter Lloyd Jones,1991, Esay, Taste Today,the Role of Appreciation in
Consumerisme and Design, Pergamon Press, Oxsford


A.Daton, 1992, Esay,Anderstanding Consumtion, Oxford University Press, New
York
John Fiske,Cultural and Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling
Konprehensip, Penerbit Jalasutra Yogyakarta, 2006

Agus Sachari, Sosiologi Design, Penerbit, ITB Bandung, Tahun 2002

John Storey, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Pengantar Konprehensip
Teori dan Metoda, Penerbit Jalasutra Yogyakarta,2007

Heru Nugroho, Pengantar, The Globalization of Nothing,(George Ritzer),
Penerbit, Universitas Admajaya,Yogyakarta,2006

Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Dilipat,Tamasya Melampaui Batas Batas
Kebudayaan, Penerbit,Jalasutra, Yogyakarta,2006

Chris Barker,Cultural Studies, Teori dan Praktik, Terjemahan Nurhadi, Penerbit
Kreasi Wacana Yogyakarta, 2005
1 Lihat tulisan Deddy N.Hidayat, dalam Agus Sudibyo,Buku Ekonomi Politik Dunia Penyiaran, Penerbit LKIS Yogyakarta, 2004 halaman, 8.
2 Lihat Sartono Kartodihardjo, Perkembangan Peradapan Priyayi, Gadjah Mada University Press,1987 hal.4-10.
3 Tulisan, Peter Lloyd Jones,1991, Taste Today, the rule of Appreciation in Consumerisme and Design, Pergamon Press, Oxsford hal. 193.
4 Lihat A.Daton, 1992, Anderstanding Consumtion, Oxsford University Press,New York, page-12.
5 Lihat John Fiske, Cultural and Communication Studies, Sebuah Pengentar Paling Konprehensip, Penerbit Jalasutra Yogyakarta, 2006 - 227
6 Ibid halaman , 229
6 Lihat Agus Sachari, Sosiologi Design, Penerbit ITB, Bandung 2002 hal.30
6 Lihat John Story, Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop, Pengantar Konprehensip Teori dan Metoda, Penerbit Jalasutra, Yogyakarta, 2007 hal.143
7 Ibit halaman 144
8 Pendapat Herbert Marcise, Ibit halaman 145
9 Lihat tulisan,Heru Nugraha,Mengkonsumsi Kehampaan Di Era Global, Dalam The Globalization Of Nothing,,George Ritzer,Penerbit, Universitas Admajaya Yogyakarta, 2006, halalman ,xxiv
10 Yasraf Amir Piliang, Dunia Yang Di Lipat, Tamasya Melampaui Batas Batas Kebudayaan, Penerbit, Jalasutra Yogyakarta, 2006 hal, 179
11 Giddens (1979) dalam Chris Barker,Cultural Studies, Teori dan Pratik, Terjemahan Nurhadi, Penerbit Kreasi Wacana, Yogyakarta,2005,hal.65-66

Tidak ada komentar: